BAB I
Sebagian kawan kita yang menyatakan Allah berada di
langit atau bersemayam di atas `arsy berdalil dengan sebuah hadits yang
menceritakan tentang kisah seorang budak wanita yang berdialog dengan Rasul
Saw.. Dalam hadits tersebut Rasul Saw. melakukan dialog untuk mengetahui
keimanan atau indikasi yang menunjukkan bahwa budak wanita yang dimaksud sudah
beriman atau belum? Budak dimaksud apakah telah memenuhi persyaratan untuk bisa
menjadi kafarah, berupa pembebasan seorang budak beriman bagi muslim yang
melanggar perbuatan tertentu di dalam syariat atau tidak?!
Pada penghujung sebuah hadits riwayat Imam Muslim
dengan sanad Mu`awiyah bin Hakam direkamkan dialog antara Rasul Saw. dengan
budak seperti redaksi berikut:
Rasulullah Saw. berkata: “datangkanlah ia kesini”.
Kemudian akupun mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapaan beliau. Beliau
kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau
bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah” Lalu beliau
bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim)
Secara umum jumhur umat menolak hadits ini, disebabkan
karena faktor:
1. Hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang
lebih kuat secara naqli dan `aqli[1].
1. Diantara dalil naqli:
a. QS: An Nahl: 17
Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan
yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?
b. QS: Al Syura: 11:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia
c. Banyak hadits yang menyatakan bahwa Rasul Saw.
ketika menanyakan atau menguji keimanan seseorang selalu dengan menggunakan
syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan syahadat Muhammad adalah utusan
Allah. Hadits seperti ini mencapai kapasitas mutawatir!
2. Dalil `aqly
a. Allah mahasuci dari tempat dan bertempat pada
sesuatu apapun dari makhluqNya. Allah mahasuci dari waktu dan pengaruh ruang
waktu. Karena keduanya adalah milik Allah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Imam al Razi di dalam menafsirkan firman Allah QS: Al An`am: 12: “Katakanlah:
“Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “Kepunyaan
Allah”.”
Ayat ini menjelaskan bahwa tempat dan semua yang
berada pada tempat adalah milik Allah.
Dan firman Allah QS: Al An`am: 13:
“Dan kepunyaan Allah-lah segala yang ada pada malam
dan siang hari.”
Ayat ini menjelaskan bahwa waktu yang bergulir dan
semua yang masuk ke dalam ruang waktu adalah kepunyaan Allah, bukan sifatNya.
b. Akal manusia secara pasti dan tegas menyatakan
bahwa Allah, al Khaliq pasti beda dengan makhluqNya. Bila makhluq
bertempat/tidak terlepas dari tempat tertentu, maka Allah tidak bertempat
tertentu. Karena Allah beda dengan makhluqNya. Bila makhluq berada atau
dipengaruhi oleh dimensi waktu, sedangkan Allah tidak!
c. Allah bersifat qadim, oleh karena itu Allah tidak
berada pada ruang tempat tertentu, baik sebelum diciptakan `arsy dan langit
ataupun setelahnya. Apabila Allah berada di atas langit atau di atas `arsy
setelah Allah menciptakan keduanya, berarti Allah memiliki sifat hadits, karena
keberadaan Allah di atas langit dan `arsy telah didahului oleh ketiadaan langit
dan `arsy dan Allah tidak berada di atas langit dan `arsy sebelum diciptakan
keduanya. Setelah ada, baru kemudian bersemayam diatasnya. Ini artinya kita
menyifati Allah dengan sifat hadits. Sedangkan secara kaidah dinyatakan: bahwa
semua yang bisa dihinggapi oleh sifat hadits adalah hadits.
2. Hadits ini merupakan hadits yang menjadi
perbincangan para ulama sejak dahulu dan sampai kini, yang tidak diterima oleh
sebagian orang karena bid`ah yang mereka lakonkan[2]. Para hafiz di bidang
hadits dan para pakar hadits yang mu`tabar sepanjang sejarah sepakat menyatakan
bahwa hadits ini adalah hadits mudltharib, yang disebabkan oleh banyaknya versi
dari hadits ini, baik secara redaksional maupun secara sanad hadits. Oleh
karena itu sebagian ulama mengatakan hadits ini adalah sahih tapi syadz dan
tidak bisa dijadikan landasan menyangkut masalah akidah!
Mari kita kaji lebih lanjut hadits yang menceritakan
tentang kisah budak wanita ini secara komprehensif, komparatif dan kritis.
Perhatikanlah redaksi hadits di dalam Sahih Muslim
secara lengkap:
روى عن
معاوية بن الحكم السلمي قال: بينا أنا أصلي مع رسول الله صلى الله عليه و سلم إذ
عطس رجل من القوم فقلت يرحمك الله فرماني القوم بأبصارهم فقلت واثكل أمياه ما
شأنكم ؟ تنظرون إلي فجعلوا يضربون بأيديهم على أفخاذهم فلما رأيتهم يصمتونني لكني
سكت فلما صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فبأبي هو وأمي ما رأيت معلما قبله ولا
بعده أحسن تعليما منه فوالله ما كهرني ولا ضربني ولا شتمني قال إن هذه الصلاة لا
يصلح فيها شيء من كلام الناس إنما هو التسبيح والتكبير وقراءة القرآن أو كما قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم قلت يا رسول الله إني حديث عهد بجاهلية وقد جاء الله بالإسلام
وإن منا رجالا يأتون الكهان قال فلا تأتهم قال ومنا رجال يتطيرون قال ذاك شيء
يجدونه في صدورهم فلا يصدنهم (قال ابن المصباح فلا يصدنكم ) قال قلت ومنا رجال يخطون
قال كان نبي من الأنبياء يخط فمن وافق خطه فذاك قال وكانت لي جارية ترعى غنما لي
قبل أحد والجوانية فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [ الذئب ؟ ؟ ] قد ذهب بشاة من غنمها
وأنا رجل من بني آدم آسف كما يأسفون لكني صككتها صكة فأتيت رسول الله صلى الله
عليه و سلم فعظم ذلك علي قلت يا رسول الله أفلا أعتقها ؟ قال ائتني بها فأتيته بها
فقال لها أين الله ؟ قالت في السماء قال من أنا ؟ قالت أنت رسول الله قال أعتقها
فإنها مؤمنة
Diriwayatkan dari Mu`awiyah Bin Hakam Al Sulamiy:
Ketika saya shalat bersama Rasulullah Saw. ada seorang laki-laki yang bersin,
lantas saya mendo`akannya dengan mengucapkan yarhamukaLlah. Semua orang yang
shalat lantas melihat kepadaku dan aku menjawab: “Celaka kedua orangtua kalian
beranak kalian, ada apa kalian melihatku seperti itu?!” Kemudian mereka
memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku untuk
diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasul Saw. menunaikan shalat, demi
ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan sesudahnya seorang guru
yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasul saw.. Demi Allah, beliau tidak
menjatuhkanku, tidak memukulku, dan juga tidak mencelaku. Beliau hanya berkata:
“Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada perkataan manusia di dalamnya. Di
dalam shalat hanyalah terdiri dari tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an.” Atau
sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul saw.. Aku kemudian menjawab: “Wahai Rasul
Saw. sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam
kejahiliyahan kemudian datang islam. Dan sesungguhnya diantara kami masih ada
yang mendatangi para dukun. Beliau berkata: “Jangan datangi mereka!” Aku
kemudian menjelaskan bahwa diantara kami masih ada yang melakukan tathayyur (percaya
terhadap kesialan dan bersikap pesimistis). Beliau mengatakan: “Itu hanyalah
sesuatu yang mereka rasakan di dalam diri mereka, maka janganlah sampai membuat
mereka berpaling (Kata Ibnu Shabbah: maka janganlah membuat kalian berpaling).
Kemudian ia melanjutkan penjelasan: Aku berkata: dan sesungguhnya diantara kami
ada yang menulis dengan tangan mereka. Rasul Saw. berkata: dari kalangan Nabi
juga ada yang menulis (khat) dengan tangan, barangsiapa yang sesuai apa yang
mereka tulis, maka beruntunglah ia. Dia kemudian berkata: saya memiliki seorang
budak perempuan yang mengembalakan kambing di sekitar bukit Uhud dan
Jawwaniyyah. Pada suatu hari aku memperhatikan ia mengembala, ketika itu seekor
srigala telah memangsa seekor kambing. Aku adalah seorang anak manusia juga.
Aku bersalah sebagaimana yang lain. Kemudian aku menamparnya (budak wanita)
dengan sekali tamparan. Maka kemudian aku mendatangi Rasul Saw.. Rasul Saw.
menganggap itu adalah suatu hal yang besar bagiku. Akupun berkata: “Apakah aku
mesti membebaskannya?” Rasul Saw. menjawab: “Datangkanlah ia kesini!”. Kemudian
akupun mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapan Rasul Saw.. Rasul Saw.
kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia (budak wanita) menjawab: “Di
langit”, Rasul Saw. bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul
Allah”. Lalu Rasul Saw. bersabda: “Bebaskanlah ia karena ia adalah seorang yang
beriman” (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan beberapa hal penting kepada
kita, diantaranya
1. Sekelumit pelajaran yang bisa dipetik dari hadits,
diantaranya;
a. Rasul Saw. mencontohkan metode mengajar yang
tauladan.
b. Hadits ini menceritakan tentang masalah membayar
kafarah berupa pembebasan seorang budak yang disyaratkan mesti beriman. Rasul
Saw. memastikan apakah budak yang akan dibebaskan sudah beriman?!
c. Di dalam hadits menceritakan tentang status
periwayat hadits yang baru masuk islam.
d. Di dalam hadits menceritakan keadaan kaum si
periwayat hadits.
e. Di dalam hadits diceritakan cara Rasul Saw.
mengetahui bahwa si budak seorang beriman atau bukan? Berdasarkan indikasi yang
nampak oleh Rasul Saw..[3]
2. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim pada bab
“Haram berbicara di dalam shalat”. Beliau tidak meriwayatkan pada bab “iman”,
bab “kafarah dengan pembebasan budak beriman”, dan juga bukan pada bab
“pembebasan budak”. Artinya hadits ini beliau kelompokkan ke dalam
masalah-masalah `amaliyah, bukan bersifat masalah akidah. Karena hadits ini
tidak cukup kuat untuk berdalil di dalam masalah akidah.
3. Imam Nawawi dalam menjelaskan penghujung hadits
yang merupakan dialog antara Rasul Saw. dengan budak wanita, mengatakan bahwa
ulama memiliki banyak persepsi dalam memahaminya, secara ringkas ulama
memahaminya dengan 2 metode;
a. Mengimani hadits sebagaimana yang disampaikan oleh
Rasul Saw. tanpa mengkaji lebih jauh makna yang dimaksud dan meyakini bahwa
tidak ada yang semisal dengan Allah sesuatupun serta mensucikan Allah dari
segala sifat makhluq.
b. Takwil dengan makna sesuai dengan sifat yang layak
bagi Allah.[4]
BAB II
Berkenaan dengan hadits Muslim ini, Imam Baihaqi
berkomentar di dalam kitabnya Al Asma` Wa Al Shifat[5]:
وهذا صحيح ،
قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الأوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة
الجارية ، وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف الرواة في لفظه . وقد ذكرت في كتاب
الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث
“Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim secara terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al
Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita.
Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya
perbedaan riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab
zhihar di dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat
para periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi
redaksi hadits.”
Dari pernyataan Imam Baihaqi ini dipahami secara jelas
bahwa pemaparan kisah budak wanita yang merupakan bagian dari hadits[6];
1. Tidak terdapat di dalam sahih Muslim menurut versi
Imam Baihaqi.
2. Bahwa kisah ini terjadi perbedaan riwayat dari segi
redaksi hadits.
Penjelasan lebih lanjut dari pernyataan Imam Baihaqi;
1. Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah
dengan naskah yang lain tentang kisah budak wanita ini. Boleh jadi Imam Muslim
menarik kembali hadits ini dan merevisinya pada periode selanjutnya serta
menghapusnya atau redaksi hadits yang ada tidak ditemui pada naskah Sahih
Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi[7]. Sebagaimana juga dilakukan oleh imam
Malik di dalam kitab Muwatha` riwayat Laits, yang tidak menyebutkan redaksi
“sesungguhnya ia adalah seorang yang beriman”. Samahalnya dengan Imam Bukhari yang
menyebutkan potongan hadits ini pada bab af`al al `ibad, dan hanya mengambil
potongan yang berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa
mengisyaratkan sedikit pun tentang masalah “Allah berada di langit”. Imam
Bukhari meringkas hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasnya. Namun
beliau tidak berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak wanita ini, karena
melihat perbedaan riwayat tentang kisah ini yang menunjukkan bahwa periwayat
hadits tidak kuat hafalan (dhabit) dalam periwayatan.
2. Terjadinya perbedaan riwayat antara riwayat yang
bersumber dari Mu`awiyah Bin Hakam dengan riwayat yang lain. Bahkan menurut DR.
Umar Abdullah Kamil terjadi perbedaan riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah bin
Hakam sendiri. Sebagaimana penjelasan berikut:
DUA RIWAYAT YANG BERSUMBER DARI MU`AWIYAH BIN HAKAM:
RIWAYAT PERTAMA[8]
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Muslim diatas
dengan menggunakan redaksi:
فقال لها:
أين الله ؟ قالت: في السماء. قال: من أنا ؟ قالت: أنت رسول الله. قال: أعتقها فإنها مؤمنة
Beliau (Rasul Saw.) kemudian bertanya: “Dimanakah
Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”,
maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia,
karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim)
RIWAYAT KEDUA
أوردها
الذهبى وذكر سندها الحافظ المزى من طريق سعيد بن زيد عن توبة العنبرى عن عطاء بن
يسار قال حدثنى صاحب الجارية نفسه -يشير إلى معاوية بن الحكم- وذكر الحديث وفيه: (
فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده إليها وأشار إليها مستفهما: (من فى السماء؟)
قالت: الله
Diriwayatkan oleh Imam Al Dzahaby dan ia menyebutkan
bahwa pada sanad riwayat ini terdapat al Hafiz Al Mizziy dari jalur Sa`id bin
Zaid dari Taubah al `Anbarry dari Atha` bin Yassar, ia berkata: disampaikan
kepadaku oleh pemilik budak -mengisyaratkan kepada Mu`awiyah Bin Hakam- dan
menyebutkan hadits, dan di dalam hadits terdapat redaksi: kemudian Nabi Saw.
menjulurkan tangannya kepadanya (budak) seraya mengisyaratkan pertanyaan,
“siapa di langit?” ia menjawab: “Allah”
Untuk mengkaji lebih jauh tentang jalur-jalur hadits
secara komprehensif, silahkan rujuk kitab al `Uluww, Imam Dzahaby, Kitab
Tauhid, Ibnu Khuzaimah dan syarah-syarah dari kitab Al Muwatha`, Imam Malik.[9]
Sebagaimana diketahui pada riwayat ini, Rasul Saw.
tidak mengatakan “dimana Allah?” dan juga tidak mengatakan “siapa yang ada di
langit?”, namun Rasul Saw. hanya menggunakan bahasa isyarat! Perkataan Rasul
Saw dan budak wanita pada kedua riwayat merupakan pengungkapan dan redaksi dari
periwayat hadits dan pemahamannya, bukan dari Rasul Saw.![10]
Sanad hadits ini insya Allah berderajat hasan. Sa`id
Bin Zaid merupakan periwayat hadits yang tsiqah dan beliau merupakan salah
seorang rijal Imam Muslim. Beliau juga dinyatakan tsiqah oleh: Ibnu Ma`in, Ibnu
Sa`ad, Al `Ajaly dan Sulaiman Bin Harb. Imam Bukhari dan Al Darimy berkomentar
tentangnya: “Ia adalah seorang yang sangat bisa dipercaya dan ia adalah seorang
yang hafiz”. Meskipun Yahya Bin Sa`id dan yang lainnya menyatakannya sebagai
seorang periwayat yang dha`if. Oleh karena itu hadits yang diriwayatkannya
tidak akan turun, kecuali kepada derajat hasan.
Pada riwayat pertama yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim terdapat Hilal Bin Ali Bin Usamah (Hilal Bin Abi Maimunah). Abu Hatim
berkomentar tentangnya: “Beliau merupakan seorang syaikh yang ditulis
hadits-haditsnya”. Imam Nasa`i juga mengomentari: “tidak apa-apa dengannya,
artinya sanad darinya adalah berderajat hasan”. Sebagaimana juga diisyaratkan
oleh Al Hafiz Ya`cub Bin Sofyan Al Qasawy. Al Hafiz Ibnu `Abdil Barr pun
berkomentar senada dengan itu.[11]
Dari dua riwayat ini tidak bisa dielakkan bahwa
terjadi idlthirab (keraguan karena banyak versi) di dalam riwayat dan tentang
kepastian adanya lafaz “dimana Allah?” Beghitu juga dengan pernyataan: “berada
di langit”. Keduanya merupakan redaksi yang bersumber dari periwayat hadits.
Sangat perlu dipahami bahwa periwayat hadits,
Mu`awiyah Bin Hakam bukanlah seorang ulama, bukan seorang fuqaha di kalangan
sahabat serta jarang menyertai Rasul Saw. sehingga tidak mempelajari banyak
ilmu secara lebih mendalam. Bahkan sebagaimana disebutkan di dalam riwayat
hadits pada sahih Muslim di awal, “saya baru saja terlepas dari kaum jahiliyah
dan masuk islam”. Ketika itu beliau tidak tahu bahwa menjawab (mendo`akan) orang
yang bersin dapat menyebabkan batal shalat dan berbicara dengan orang lain juga
membatalkan shalat. Oleh karena itu beliau belum memahami syariat -yang di
dalamnya termasuk masalah tauhid- secara lebih matang.
Tentang keadaan periwayat hadits, Muawiyah Bin Hakam
ini, akan semakin jelas ketika kita melakukan komparasi dengan riwayat hadits
lain, yang diriwayatkan bukan melalui jalur beliau.[12]
Selanjutnya mari kita perhatikan pemaparan Imam
Baihaqi:
Ada riwayat lain yang disebutkan oleh Imam Baihaqi di dalam
kitab sunan kubra di dalam Bab zhihar pada sub bab “membebaskan budak yang bisu
ketika mengisyaratkan bahwa dirinya telah beriman”.
Riwayat ini dari jalur `Aun bin Abdullah dari Abdullah
bin Uthbah dari Abu Hurairah;
عَنْ عَوْنِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
بِجَارِيَةٍ سَوْدَاءَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَىَّ عِتْقَ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَقَالَ لَهَا
:« أَيْنَ اللَّهُ؟ ». فَأَشَارَتْ إِلَى السَّمَاءِ بِإِصْبَعِهَا
فَقَالَ لَهَا :« فَمَنْ أَنَا؟ ». فَأَشَارَتْ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
وَإِلَى السَّمَاءِ تَعْنِى : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- :« أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ».
Dari Abi Hurairah Ra. bahwasanya seorang laki-laki
datang kepada Nabi Saw dengan seorang budak wanita yang berkulit hitam dan ia
berkata kepada Nabi Saw: Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya saya memiliki
kewajiban untuk membebaskan seorang budak beriman. Kemudian Rasul Saw. berkata
kepadanya (budak wanita): “dimana Allah?” kemudian ia (budak wanita) memberi
isyarat ke arah langit dengan jarinya. Rasul Saw. kemudian bertanya lagi
kepadanya “dan saya siapa?” Ia kembali mengisyaratkan kepada Nabi Saw. dan
selanjutnya menunjuk ke arah langit, maksudnya “engkau adalah seorang utusan
Allah”. Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada laki-laki tadi: “Bebaskanlah
ia, karena ia adalah seorang yang beriman”.[13]
Jika melihat kepada keumuman riwayat, ini sama dengan
riwayat yang sebelumnya, menceritakan tentang kisah yang sama dan di dalam
riwayat juga disebutkan bahwa ada redaksi:
فمد النبى
صلى الله عليه وسلم يده اليها وأشار اليها مستفهما وقال (من فى السماء) قالت: الله
Berarti dialog terjadi dengan bahasa isyarat dari
kedua sisi dan redaksi yang didakwakan sebenarnya tidak ada. Hujjatul Islam,
Abu Hamid Al Ghazali menambahkan bahwa budak wanita ini adalah seorang yang
bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang
Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. Dialog
ini dilakukan oleh Rasul Saw. karena para sahabat menyangka budak wanita
sebagai seorang penyembah berhala di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasul
Saw. ingin mengetahui kebenaran prasangka mereka terhadap keyakinan sang budak,
maka sang budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya
bukanlah berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala,
sebagaimana yang disangkakan terhadapnya[14]. Isyarat ini selain menujukkan
bahwa budak adalah seorang yang bisu juga mengisyaratkan bahwa si budak adalah
seorang non arab sebagaimana disebutkan oleh sebagian riwayat. Isyarat ke
langit ini juga adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh orang awam dan
mereka tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan Tuhan mereka. Jikalaupun
dialog ini benar terjadi sesuai dengan redaksi pada Sahih Muslim, maka Rasul
Saw. menyetujui dialog ini sebagai perwujudan metode dakwah yang menempatkan
seseorang sesuai dengan kemampuan akal mereka[15]
Bagaimana mungkin kita berpegang kepada riwayat yang
menjadi perbincangan sepanjang sejarah ini dan realitanya menyatakan tidak
adanya redaksi dari Rasul Saw. dan budak secara tegas dan pasti, seperti yang
didakwakan?![16]
BAB
III
ANALISA RIWAYAT DARI JALUR SELAIN MU`AWIYAH BIN HAKAM
YANG MENCERITAKAN KISAH YANG SAMA DENGAN MENGGUNAKAN REDAKSI أَتَشْهَدِينَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ؟ “(APAKAH ENGKAU BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH?)”
RIWAYAT PERTAMA:
Bersumber dari periwayat Atha` bin Yassar -juga
terdapat di dalam kitab Mushannaf Abdul Razzaq-:
عن ابن جريج
قال: أخبرنى عطاء أن رجلا كانت له جارية فى غنم ترعاها وكانت شاة صفى- يعنى غزيرة
فى غنمه تلك- فأراد أن يعطيها نبى الله صلى الله عليه وسلم فجاء السبع فانتزع
ضرعها فغضب الرجل فصك وجه جاريته فجاء نبى الله صلى الله عليه وسلم فذكر ذلك له
وذكر أنها كانت عليه رقبة مؤمنة وافية قد هم أن يجعلها إياها حين صكها، فقال له
النبى صلى الله عليه وسلم: إئتنى بها! فسألها النبى صلى الله عليه وسلم: أتشهدين أن لا إله إلا الله؟ قالت:
نعم. وأن محمدا عبد الله ورسوله؟ قالت: نعم. وأن الموت والبعث حق؟ قالت: نعم. وأن
الجنة والنار حق؟ قالت: نعم. فلما فرغ، قال: اعتق أو أمسك!
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku dikhabarkan oleh
`Atha`, bahwasanya seorang laki-laki memiliki seorang budak perempuan yang
dipekerjakannya untuk mengembalakan kambingnya dan kambing-kambing ini
merupakan kambing pilihan – yakni dari kambingnya yang banyak itu-. Kemudian ia
bermaksud memberikannya (kambing tersebut) kepada Nabi Saw.. Lalu tibalah
binatang buas dan menerkam kambingnya. Si laki-laki kemudian marah dan menampar
wajah budak perempuan. Si lak-laki lantas mendatangi Nabi Saw. dan menyebutkan
semua yang terjadi kepada Nabi Saw.. Ia juga menyebutkan bahwa ia mesti membebaskan
seorang budak yang beriman sebagai kafarah dan ia bermaksud untuk menjadikan
budak ini sebagai budak yang dibebaskannya ketika ia menamparnya itu. Maka
Rasul Saw. berkata kepadanya: “Datangkanlah ia kepadaku!”. Rasul Saw. kemudian
menanyainya (budak wanita): “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan
selain Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “bahwasanya Muhammad adalah utusan
Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “kematian serta kebangkitan adalah sesuatu yang
haq?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “surga dan neraka dalah haq?” Ia menjawab: “Iya”.
Ketika selesai dialog tersebut, Rasul Saw. mengatakan: “Bebaskanlah ia atau
tetap bersamamu!”[17]
Ini adala riwayat dengan sanad shahih, `aliy (paling
dekat) kepada `Atha` (periwayat hadits Mu`awiyah bin Hakam), sebagaimana telah
diketahui!
Ini adalah riwayat ketiga tentang hadits yang
menceritakan kisah budak wanita yang diriwayatkan dari jalur Atha`.
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa dari segi redaksi,
hadits diriwayatkan dengan redaksi:
1. Riwayat pertama diriwayatkan dengan redaksi: ” أين الله
(dimana Allah)?”.
2. Sedangkan riwayat kedua diriwayatkan dengan
redaksi: فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده إليها وأشار
إليها مستفهما وقال (من فى السماء) قالت: الله (Menggunakan isyarat kepada si budak untuk bertanya, “siapa yang
berada di langit?”).
3. Dan riwayat ketiga dengan redaksi “أَتَشْهَدِينَ
(Apakah engkau bersaksi)?”.
Beghinilah kita lihat, redaksi hadits menyatakan bahwa
Rasul Saw. tidak mengatakan “dimana Allah?”
Pembaca budiman cobalah perhatikan secara lebih
seksama ada keraguan lagi yang ditemui pada riwayat lain tentang hadits budak
perempuan ini, yang bersumber dari jalur selain periwayat Atha`. Bahkan riwayat
berikut ini lebih meragukan lagi dibandingkan dengan riwayat `Atha` yang sedang
kita bahas ini.
RIWAYAT KEDUA
- وَحَدَّثَنِى مَالِكٌ عَنِ
ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ
أَنَّ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِجَارِيَةٍ لَهُ
سَوْدَاءَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَىَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً فَإِنْ
كُنْتَ تَرَاهَا مُؤْمِنَةً أُعْتِقُهَا. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « أَتَشْهَدِينَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ؟ ». قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ «
أَتَشْهَدِينَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ «
أَتُوقِنِينَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ؟ ». قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَعْتِقْهَا ».
Disampaikan kepadaku oleh Imam Malik: dari Syihab dari
`Ubaidillah Bin Abdullah Bin `Uthbah Bin Mas`ud bahwasanya seorang laki-laki
dari kalangan Anshar mendatangi Rasul Saw. ia memiliki seorang budak wanita
berkulit hitam dan berkata: Wahai Rasul Saw. sesungguhnya saya mesti
membebaskan seorang budak beriman, jikalau engkau melihatnya beriman, maka
bebaskanlah ia. Maka Rasul Saw. berkata kepadanya (budak wanita) “Apakah engkau
bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “apakah
engkau bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?” ia menjawab: “Iya”.
Dan “apakah engkau meyakini adanya kebangkitan setelah kematian?! Ia menjawab:
“Iya”. Rasul Saw. kemudian mengatakan : “bebaskanlah ia”[18]
Dan diriwayatkan oleh Imam Abdur Razaq[19], ia
berkata: saya dikhabarkan oleh Ma`mar dari Zhuhry dari Ubaidillah dari seorang
laki-laki dari kaum Anshar dengan hadits ini. Dan dari jalurnya (Abdul Razaq)
juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad[20], sebagaimana juga diriwayatkan oleh
periwayat lain.
Adapun tentang `Ubaidillah Bin `Abdullah Bin `Uthbah
Bin Mas`ud, maka beliau adalah salah seorang dari tujuh fuqaha di Madinah yang
terkenal dan merupakan rijal ahli hadits yang enam juga. Selain itu, beliau
termasuk seorang imam yang tsiqah. Berkata Al Hafiz Ibnu Hajar di dalam kitab
Al Taqrib tentang beliau: “Ia adalah seorang yang tsiqah, seorang faqih,
diterima riwayatnya, kuat hafalannya, tidak diketahui bahwa beliau seorang yang
mudallis dan riwayat beliau yang diriwayatkan dengan riwayat `an `anah bisa
diterima sebagai riwayat yang bersumber dari pendengaran langsung (sama`). Dan
ia benar-benar telah berkomentar tentang seorang laki-laki yang berasal dari
kaum Anshar ini.
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya: “Sanadnya
(hadits diatas) adalah sahih dan sifat jahalah (tidak dikenal) seorang sahabat
yang melekat pada dirinya tidak mempengaruhi periwayatannya.”
Berkata Ibnu Abdil Barr, di dalam kitabnya Al Tamhid
Lima Fie Al Muwatha` Min Al Ma`anie Wa Al Asanid: “Secara zhahir haditsnya
adalah hadits mursal, akan tetapi dipercayai bahwa haditsnya adalah terjadi
ketersambungan riwayat (ittishal), karena adanya pertemuan `Ubaidillah dengan
sekelompok sahabat.
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Al Haitsami, di dalam
kitab Majma` Al Zawaid: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para
rijalnya adalah rijal yang sahih.”
Jelaslah bagi kita bahwa hadits tentang kisah budak
wanita di dalam kitab Sahih Muslim dan pertanyaan Nabi kepadanya, minimal
merupakan riwayat yang mudltharib secara redaksional. Jikalau kita ambil dengan
cara mentarjih dengan berdasarkan syahid[21] dan indikasi yang mendukungnya,
maka riwayat dengan redaksi: أَتَشْهَدِينَ (apakah engkau bersaksi)?” adalah riwayat
yang rajih (terkuat). Karena riwayat ini sesuai dengan akidah islam secara
yakin dan merupakan hadits yang paling sahih jika di pandang dari sisi sanad.
Jika dipandang dari seluruh sisi, kita tidak boleh
mengambil riwayat yang mengatakan: “dimana Allah?” berdasarkan zahir (makna
yang langsung dipahami) dari lafaznya. Oleh karena itu riwayat ini ditakwil
oleh para ulama, seperti Imam Nawawi, Qadhi Ibnu Al `Arabi, al Bajiy dan masih
banyak selain mereka.
Imam Nawawi berkata dalam menjelaskan tentang hadits
mudltharib: Hadits mudltharib adalah: hadits yang diriwayatkan dengan pelbagai
redaksi yang berbeda namun berdekatan. Apabila ditarjih salah satu riwayat, maka
tarjih dengan cara melihat hafalan periwayatnya atau melihat banyaknya sahabat
yang meriwayatkan tentang hadits ini, atau dengan cara selain itu. Maka
kemudian baru bisa dihukumi bahwa hadits tersebut adalah hadits yang rajih,
sehingga tidak lagi menjadi hadits yang mudltharib. Dan idlthirab menyebabkan
sebuah hadits menjadi dha`if (lemah) karena hadits menunjukkan ketidak patenan
(dhabit) dalam meriwayatkan. (Idlthirab) ini kadang bisa terjadi pada sanad dan
kadang bisa terjadi pada matan (redaksi) hadits. Pada kedua keadaan,
(idlthirab) bisa jadi bersumber dari satu periwayat atau dari banyak periwayat.
Al Hafidz Ibnu Daqid Al `Id di dalam kitab Al Iqtirah,
memaparkan: Hadits mudltharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan pelbagai
redaksi yang berbeda-beda dan ini merupakan salah satu yang menyebabkan hadits
memiliki illat menurut mereka (kalangan ahli hadits) dan menyebabkan hadits
berkedudukan dha`if (lemah)
DIANTARA SYAHID YANG MEMPERKUAT HADITS DENGAN RIWAYAT أَتَشْهَدِينَ
(APAKAH ENGKAU BERSAKSI)?”
Syahid adalah hadits lain yang diriwayatkan senada
secara makna, namun berbeda secara redaksi. Sedangkan laki-laki yang disebutkan
pada beberapa riwayat hadits yang disebutkan pada pembahasan ini semuanya
dimaksudkan kepada Mu`awiyah Bin Hakam[22]
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Darimiy[23];
أخبرنا أبو
الوليد الطيالسي ثنا حماد بن سلمة عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن الشريد قال :
أتيت النبي صلى الله عليه و سلم فقلت إن على أمي رقبة وإن عندي جارية سوداء نويبية
أفتجزىء عنها قال ادع بها فقال أتشهدين أن لا إله إلا الله؟ قالت: نعم. قال: اعتقها فإنها مؤمنة!
Pada bab “Apabila seseorang mesti membebaskan seorang
budak beriman”
Dikhabarkan kepada kami oleh Al Walid Al Thayalisiy
bersumber dari Hamad Bin Salamah dari Muhammad Bin `Amru dari Abu Salamah dari
Syarid, ia berkata: Aku mendatangi Rasul Saw. dan aku berkata bahwa saya mesti
membebaskan seorang budak perempuan dan saya memiliki seorang budak perempuan
berkulit hitam dari suku Nuwaibah, apakah cukup dengan membebaskannya sebagai
kafarah bagiku? Rasul Saw. berkata: “Panggillah ia!” maka Rasul saw. kemudian
bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Ia menjawab:
“Iya”. Rasul memerintahkan: “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia adalah
seorang yang beriman.”
Berkata Husain Salim Asad: sanadnya hasan karena
adanya periwayat hadits yang bernama Muhammad Bin `Amru.
2. Hadist yang diriwayatkan oleh Al Thabraniy[24];
روى عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
, فَقَالَ: إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً
وَعِنْدِي جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ أَعْجَمِيَّةٌ , فَقَالَ: ائْتِنِي بِهَا, فَقَالَ:أَتَشْهَدِينَ
أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ , قَالَ:أَتَشْهَدِينَ أَنِّي رَسُولُ
اللَّهِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ, قَالَ:فأَعْتِقْهَا!
Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas bahwasanya seorang
laki-laki mendatangi Rasul Saw. dan ia berkata: sesungguhnya saya mesti
membebaskan seorang budak beriman dan saya memiliki seorang budak berkulit
hitam dari kalangan non arab. Rasul Saw. berkata: “Bawalah ia kesini!”. Rasul
Saw. kemudian menanyainya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah? Ia berkata: “Iya”. Kemudian beliau berkata: “Apakah engkau bersaksi
bahwa aku adalah Rasul Allah? Ia menjawab: “Iya”. Rasul Saw. kemudian
memerintahkan: “bebaskanlah ia!”
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Haitsamy di dalam kitabnya
Majma` Al Zawaid, berkomentar:
Pada sanad hadits ada seorang periwayat yang bernama
Muhammad Bin Abi Layla dan beliau adalah seorang yang jelek hafalannya, tetapi
beliau sebelumnya adalah seorang yang tsiqah.
3. Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam
musnadnya dengan redaksi: “siapa tuhanmu?” yang juga merupakan hadits sahih
secara sanad[25];
روى عن
الشريد بن السويد الثقفى، قال: قلت: يا رسول الله إن أمى أوصت أن نعتق عنها رقبة
وعندى جارية سوداء، قال: ادع بها! فجاءت فقال: من ربك؟ قالت: الله، قال: من أنا؟ قالت: رسول الله. قال: أعتقها
فإنها مؤمنة!
Diriwayatkan dari Syarid Bin Suwaid Al Tsaqafiy, ia
berkata: aku berkata: Wahai Rasul saw., sesungguhnya ibuku telah mewasiatkan
kepadaku untuk membebaskan seorang budak atas dirinya dan saya memiliki seorang
budak berkulit hitam. Rasul Saw. berkata: “Panggilah ia!” Maka datanglah budak
itu dan Rasul Saw. bertanya: “Siapa tuhanmu?” Ia menjawab: “Allah”. Rasul Saw.
bertanya lagi: “siapa saya?” Ia menjawab: “Utusan Allah.” Rasul Saw. berkata:
“Bebaskanlah ia, karena ia adalah seorang yang beriman.”
Riwayat ini semakna dengan riwayat yang memiliki
redaksi ” أَتَشْهَدِينَ (apakah engkau bersaksi)?”
BAB IV
HADITS-HADITS INI TIDAK TERDAPAT DI DALAM KUTUB AL
SITTAH
Apabila ada yang mengklaim bahwa hadits-hadits yang
dijadikan rujukan dalam pembahasan ini tidak terdapat di dalam kutub al sittah
(Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmudzi, Sunan Abi Daud, Sunan Nasa`i, dan
Sunan Ibnu Majah) sehingga tidak bisa diterima, dijadikan pedoman dan pijakan
kita, apalagi dalam masalah akidah, mari kita perhatikan komentar Al Hafiz Abu
Al Fadl `Abdillah Muhammad Shiddiq Al Ghumary[26]:
Bila ada yang menolak hadits dengan statement bahwa
“hadits ini tidak ditemui di dalam dua kitab sahih (bukhari-Muslim), atau tidak
diriwayatkan oleh kutub al sittah”. Pernyataan seperti ini, akan disangka oleh
orang-orang yang sedikit ilmu, bahwa setiap hadits yang tidak diriwayatkan di
dalam dua kitab sahih (Bukhari-Muslim) dan juga tidak diriwayatkan di dalam
kutub al sittah lainnya, adalah hadits dha`if atau maudhu`! Pernyataan ini
sesungguhnya adalah statement bathil yang tidak berdasarkan kepada pijakan ilmu
yang benar, akan tetapi sebagai bagian dari bid`ah yang mereka munculkan pada
zaman sekarang ini. Tidak ada di dunia ini seorangpun `alim, fuqaha` mujtahid,
dan para muhadits yang hafiz mensyaratkan bahwa standar kesahihan hadits harus
diriwayatkan di dalam salah satu kutub sittah! Akan tetapi ulama sepakat bahwa
“hadits apabila memenuhi persyaratan sahih, wajib beramal dengan hadits
tersebut, baik diriwayatkan di dalam kutub sittah ataupun tidak.
STUDI KRITIS DAN ANALISA TERHADAP HADITS
Apakah pertanyaan “dimana Allah?” yang biasa digunakan
untuk menanyakan tempat secara indrawi menunjukkan terhadap ketuhanan Zat yang
ditanyakan?
Dengan kata lain: Apakah pertanyaan ini diajukan untuk
mengetahui bahwa si budak wanita seorang yang murni menyembah Allah atau
menyekutukan Allah dengan sembahan lainnya? Si budak wanita -yang ditanya oleh
Rasul Saw.,- adalah seorang yang telah hidup di arab dengan keyakinan penduduk
yang menyektukan Allah dengan sembahan mereka berupa berhala.
Jikalau demikian, bukankah sebagian orang arab juga
menyembah berhala sebagai Tuhan mereka yang berada di bumi dan mereka juga
mengakui adanya Tuhan di langit?! Menilik kepada sejarah, bukankah sudah ada
sebagian umat yang menyembah matahari, bulan dan bintang-bintang, dan ini telah
disebutkan oleh Al Quran?! Ternyata Tuhan-tuhan mereka adalah di langit juga!
Maka pertanyaan yang disebutkan “dimana Allah?” tidak
bisa diklaim untuk menunjukkan terhadap ketuhanan dan jawaban yang ada di dalam
redaksi hadits “di langit” juga tidak tidak menunjukkan terhadap ketauhidan!
Maka atas dasar apa disebutkan riwayat yang syadz dan
tertolak ini, bahwa Rasul Saw bersaksi terhadap keimanan budak wanita?!
Contoh-contoh dari hadits sebelumnya dan sesudahnya
menguatkan bahwa yang diinginkan sebagai bukti terhadap keislaman seseorang adalah
syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan
Allah. Bukan persaksian bahwa Allah -sebagaimana mereka katakan- memiliki
tempat, yaitu di langit! Maka pertanyaannya sebenarnya ditujukan untuk
menyatakan bahwa Allah tinggi secara maknawi bukan secara indrawi, sebagaimana
disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab syarah Sahih Muslim. Hal senada juga
disebutkan oleh Imam Al Ghazali.[27]
BAB V
AKIDAH DAN HADITS AHAD
Sesungguhnya akidah kaum muslim tidaklah dibangun,
kecuali di atas keyakinan yang bersifat qath`iy (tegas) dan yaqiniy (yakin)
serta tidak mungkin dibangun ditas dalil-dalil yang bersifat zhanniy. Para
ulama tauhid sepakat bahwa sumber dalil-dalil pada permasalahan akidah harus
bersifat qath`iy (tegas) dan yaqiniy (yakin), baik diambil dari dalil naqli
maupun dalil aqly.
Zhan sebagaiman diketahui adalah segala sesuatu yang
secara umum adalah benar, akan tetapi ada potensi terdapatnya kesalahan.
Jikalau hadits Ahad termasuk ke dalam kategori zhanniyyat (dalil-dalil yang
bersifat zhanny), maka tidak bisa berdalil dengannya dalam masalah akidah,
sebagaimana dijelaskan pada beberapa statement berikut:
1. Berkata Al Hafiz Al Khatib Al Baghdady, di dalam
kitab Al Faqih wa Al Mutafaqqih: Dan apabila seorang, yang bisa dipercaya, yang
tsiqah meriwayatkan sebuah khabar yang bersambung sanadnya, bisa ditolak
periwayatannya dengan beberapa perkara; salah satunya, apabila riwayatnya
bertentangan dengan dalil `aqli (hukum akal), maka bisa langsung diketahui
bahwa riwayat tersebut adalah bathil!
2. Berkata Imam Nawawi di dalam Syarah Sahih Muslim:
Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits Ahad di
dalam Shahih Bukhari dan Sahih Muslim bisa menghasilkan ilmu, bedahalnya dengan
riwayat selainnya (Bukhari-Muslim) terhadap hadits-hadits ahad. Kami telah
menyebutkan masalah ini sebelumnya dan kami juga membatalkan pendapat ini, pada
beberapa sub bab. Kemudian (Imam Nawawi) berkomentar -setelah beberapa baris-:
dan adapun yang berkata: khabar Ahad menghasilkan ilmu, maka ini adalah
mengabaikan fungsi indra manusia, bagaimana mungkin menghasilkan ilmu,
sedangkan kemungkinan salah, waham, bohong dan selainnya sangat mungkin
disematkan kepadanya. Wallahu a`lam.
KETERANGAN SECARA JELAS PARA IMAM, HUFAZH DAN PAKAR
HADITS TERHADAP STATUS HADITS YANG MENCERITAKAN KISAH BUDAK WANITA INI SEBAGAI
HADITS MUDLTHARIB
1. Imam Baihaqi
Sebagaimana telah disebutkan di awal kajian, Imam
Baihaqi menyatakan: Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
secara terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf
dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita. Saya
mengira ia meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan
riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di
dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para
periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi
hadits. Imam Baihaqi juga menyebutkan secara terang dan jelas bahwa hadits ini
bukan merupakan bagian dari hadits Sahih Muslim.
Dari sisi lain yang sangat penting diperhatikan, Imam
Baihaqi menyebutkan secara terang bahwa hadits ini adalah hadits mudltharib,
maksudnya terjadi perbedaan para periwayat hadits dari segi redaksional hadits.
Jikalaupun diterima riwayat Imam Muslim, maka hadits ini adalah hadits
mudltharib, tanpa diragukan dibimbangkan lagi, sebagaimana telah kita tetapkan
pada bagian-bagian sebelumnya ketika mengkaji jalur hadits.
Dari sisi ketiga, hadits tentang kisah budak wanita
ini juga tidak disebutkan oleh Imam Muslim pada bab pembebasan budak, juga
bukan pada bab sumpah dan nazar. Ini merupakan penguat pernyataan Imam Baihaqi
dan selain beliau.
2. Imam Al Hafiz al Bazzar, di dalam kitab Kasyfu Al
Astar:
Imam al Bazzar juga menyatakan dengan terang bahwa
hadits ini adalah hadits yang mudltharib di dalam kitab musnad beliau. Beliau
berkata setelah meriwayatkan hadits dari salah satu jalur dari pada jalur-jalur
yang ada: “Dan hadits ini juga diriwayatkan semisal dengannya dengan redaksi
yang berbeda-beda”.
3. Al Hafiz Ibnu Hajar :
Ibnu Hajar di Dalam kitab Al Talkhis Al Habir,
menyatakan secara jelas dan terang bahwa hadits ini adalah hadits yang
mudltharib dan beliau berkomentar: “Dan pada lafaz hadits terjadi perbedaan
yang sangat banyak”.
Ibnu Hajar di dalam kitab Fath Al Bari, juga
menyebutkan secara jelas bahwa tidak boleh meyakini “dimana” kepada Zat Allah
dan tidak diamalkan hadits ini, meskipun sanadnya sahih menurut beliau, akan
tetapi ini disebabkan karena idlthirab pada hadits! Karena idlthirab pada
hadits menyebabkan sebuah hadits berkedudukan dha`if, meskipun sanadnya sahih.
Oleh karen itu Al Hafiz berkomentar: Sesungguhnya pengetahun akal terhadap rahasia-rahasia
Ilahi sangatlah terbatas, tidak mungkin dihukumi Allah dengan pertanyaan
“kenapa” dan “bagaimana?” Sebagaimana juga tidak bisa diajukan pertanyaan
“dimana” dan “dalam kondisi apa?”
Oleh karena itu pernyataan Allah berada di langit atau
di atas `arsy adalah konsekuensi dari pertanyaan “dimana?” dan “bagaimana?”,
meskipun tidak menyebutkan secara jelas pertanyaan tersebut! Meskipun
pernyataan Allah berada di langit atau di atas `arsy dikunci dengan pernyataan
“jangan fikirkan bagaimana Allah berada di langit atau di atas `arsy”, ini
tidak menafikan mereka menisbahkan sifat makhluq kepada Al Khaliq, yaitu
keduanya sama-sama berada pada suatu tempat!
Ketika anda menyatakan bahwa Allah berada di atas
`arsy atau di atas langit itu artinya anda sudah duluan menentukan kaifiyah
terhadap Allah dengan menetapkan langit atau `arsy sebagai tempat Allah berada.
Ketika ini disampaikan kepada orang lain maka anda sudah membuat orang
berfikir. Ketika anda sudah dahuluan memikirkan zat Allah dan membuat orang berfikir
kemudian anda melarang orang memikirkan tentang kaifiah zat Allah! Justru
pemikiran anda yang seperti ini sangat sulit dipahami oleh orang lain, karena
kontradiktif secara akal!
Maka dengan pernyataan-pernyataan para ulama hadits
seperti disebutkan, kita bisa meyakini seyakin-yakinnya dan tidak diragukan
lagi terhadap status dan kedudukan hadits tentang budak wanita yang mudltharib,
yang dipandang berdasarkan kaidah ilmu hadits (ilmu Mushtalah Hadits) yang juga
diperkuat oleh keterangan secara jelas para ahli hadits dari dulu sampai
sekarang. Oleh karena itu tidak mungkin lafaz hadits dijadikan `Illat
(pijakan). Sebagaimana juga dijelaskan bahwa hadist yang diriwayatkan dengan
redaksi “apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” adalah
merupakan riwayat yang paling sahih.
Jikalau seandainya dilakukan tarjih, diantara
riwayat-riwayat yang ada, maka riwayat yang paling rajih- tidak diragukan lagi-
adalah riwayat dengan redaksi “apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah?”
Karena riwayat ini merupakan riwayat yang paling sahih
dan yang bisa diyakini sesuai dengan apa yang selalu dilakukan oleh Nabi Saw..
Jikalau kita telisik kembali lembaran sejarah Nabi Saw. akan kita temui bahwa
beliau selalu menyuruh seseorang yang masuk islam atau menanyakan keimanan
seseorang dengan syahadatain (dua syahadat). Kisah-kisah seperti ini telah
diriwayatkan kepada kita secara mutawatir bahwa beliau menyuruh manusia,
memerangi mereka dan menguji keimanan mereka dengan syahadatain (dua syahadat).
Oleh karena itu maka riwayat “dimana Allah?” merupakan riwayat syadz yang
diingkari.
HADITS-HADITS NABI SAW. YANG MENYATAKAN BUKTI
KEISLAMAN SESEORANG, DENGAN “BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH”, BUKAN
MENANYAKAN “DIMANA ALLAH?”
1. Hadits riwayat Bukhari[28]
روى البخارى
عن ابن عمر أن النبى صلى الله عليه وسلم قال لابن الصياد: ( أتشهد أني رسول الله
)؟
Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Ibnu `Umar,
bahwasanya Nabi Saw., berkata kepada Ibnu Shayyad: Apakah engkau bersaksi bahwa
aku adalah utusan Allah?
2. Hadits Bukhari – Muslim[29]
عن ابن عمر
أن رسول الله صلى الله عليع وسلم قال: أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله
إلا الله وأن محمدا رسول الله
Dari Ibnu `Umar bahwasanya Rasul Saw. bersabda: Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah!
Setelah menyebutkan hadits ini, Imam Suyuthi
berkomentar: hadits ini adalah hadits mutawatir[30]
3. Hadits Sahih Muslim[31]
عن ابن عباس
أن معاذا قال بعثني رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: إنك تأتي قوما من أهل
الكتاب فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله
Dari Ibnu `Abbas bahwasanya Mu`adz berkata: Aku diutus
oleh Rasul Saw. , beliau berkata: sesungguhnya engkau akan mendatangi sebuah
kaum dari golongan ahlul kitab. Maka serulah mereka untuk bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah.
4. Hadits Sahih Muslim[32]
روى أن رسول
الله أبا هريرة نعليه، قال: يا أبا هريرة اذهب بنعلي هاتين فمن لقيت من وراء هذا
الحائط يشهد أن لا إله إلا الله مستيقنا بها قلبه فبشره بالجنة.
Diriwayatkan dari Rasul Saw. Wahai Abu Hurairah
pergilah engkau dengan membawa kedua sandalku ini, siapapun yang engkau temui
di balik kebun ini yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan meyakini
(syahadat itu) di hati mereka, maka kabarkanlah mereka dengan surga!
5. Hadits Sahih Muslim[33]
حديث عتبان
بن مالك قال إن جماعة من الصحابة أحبوا أن يدعو النبى صلى الله عليه وسلم على مالك
ابن دخشم ليهلك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أليس يشهد أن لا إله إلا الله
وأني رسول الله ؟ قالوا إنه يقول ذلك وما هو في قلبه. قال لا يشهد أحد أن لا إله
إلا الله وأني رسول الله فيدخل النار أو تطعمه قال أنس فأعجبني هذا الحديث فقلت
لابني اكتبه فكتبه
Hadits `Itban bin Malik, ia berkata: Sesungguhnya
sekelompok sahabat Rasul Saw. berharap agar Rasul Saw. mendoakan Malik Bin
Dukhsyum celaka. Rasul Saw. menjawab: Bukankah ia bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan aku adalah utusan Allah? Mereka menjawab: sesungguhnya ia
mengatakan itu hanyalah di lisan saja dan ia tidak meyakini di hatinya. Rasul
Saw. bersabda: Tidak ada seorangpun yang besaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan Aku adalah utusan Allah akan masuk neraka dan dimakan oleh neraka. Anas
berkata: Hadits ini mengagumkanku, maka aku berkata kepada anakku: Tulislah
hadits ini! Maka ia pun menulisnya.
Inilah sekelumit pemaparan hadits dan selain
hadits-hadits ini sangat banyak sekali -bahkan sampai derajat mutawatir-
semuanya menguatkan kita untuk merajihkan riwayat hadits dengan redaksi: اتشهدين أن لا إله إلا الله (apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)?.
Disamping hadits ini merupakan hadist yang paling sahih sanadnya.
BAB VI
KESIMPULAN
Dari pemaparan tentang hadits budak wanita yang
dibebaskan Rasul Saw. ini kita ketahui bahwa:
1. Hadits yang diriwayatkan dengan redaksi: اتشهدين أن لا إله إلا الله (apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)? Adalah
hadits yang paling sahih secara sanad dan paling kuat pegangan untuk beramal
dengannya, terutama dalam masalah akidah.
2. Hadits Sahih Muslim dengan redaksi pertanyaan Rasul
Saw: أين الله؟ (dimana Allah)? dan jawaban budak wanita: فى السماء adalah
hadits mudltharib -sebagaimana diakui oleh para imam dan pakar hadits- yang
tidak sah dijadikan pijakan di dalam masalah akidah. Pertanyaan Rasul Saw. dan
jawaban budak yang selalu dijadikan pegangan dalil, bisa diyakini bukanlah
bersumber dari Rasul Saw. dan budak wanita, akan tetapi bersumber dari
periwayat hadits.
3. Tidak dijadikannya Hadits Sahih Muslim sebagai
landasan berdalil dikuatkan oleh; bahwa hadits ini bertentangan dengan dalil
yang qath`iy (tegas) dan yaqini (yakin), baik itu secara naqli maupun secara
`aqli serta bertentangan dengan ijma` kaum muslimin dari dulu sampai sekarang
bahwa Allah berbeda dengan makhluqNya dan Allah tidak bertempat/butuh kepada
tempat layaknya makhluq.
Oleh karena itu maka keyakinan bahwa Allah berada di
langit tidak bersandarkan kepada dalil yang sahih dan kuat. Adapun orang awam
dan anak-anak yang biasa mengatakan/mengisyaratkan bahwa Allah berada di langit
tidaklah bisa dijadikan pijakan dalil, karena hanya itulah kemampuan mereka
untuk menunjukkan wujud Allah. Orang awam atau anak-anak kecil ketika
mengucapkan/mengisyaratkkan hal tersebut sangat ditoleransi oleh syariat, tidak
dianggap bid`ah apalagi kafir, akan tetapi dipahami perkataan mereka dengan
makna majaz, bahwa maksud mereka adalah ketinggian Allah Yang Maha Kamal tidak
sama dengan semua makhluq! Apakah mungkin orang-orang yang berilmu akan berdalil
dengan perbuatan orang awam dan anak-anak?! Beghitu juga halnya bahwa ketika
kita berdo`a dengan menengadahkan tangan ke langit, bukan berarti Allah berada
di langit, tapi karena langit adalah kiblatnya do`a, sebagaimana Ka`bah adalah
kiblatnya shalat!
Kepada sahabat-sahabat yang berpegang teguh dengan
hadits tentang budak wanita yang diriwayatkan di dalam sahih Muslim ini saya
ajak untuk tidak fanatis dengan doktrinan sepihak. Bukalah fikiran
sejernih-jernihnya dan lapangkanlah hati untuk menerima dan menganalisa ilmu
yang diperoleh oleh orang lain. Saya yakin bahwa tidak ada yang ma`shum, selain
Rasulullah Saw.. Kenapa tidak mencoba mengkritisi apa yang disampaikan oleh
guru kita dan mencoba menanyakan akal, apakah masih netral dan objektif?
Kita selalu mendakwa bahwa al haq (kebenaran) lebih
didahulukan daripada figuritas seseorang! Jikalau benar demikian, bukankah
kebenaran tidak hanya dimonopoli oleh guru-guru yang semanhaj dengan kita?!
Jikalau kita mengaku bahwa kita adalah orang yang kuat berpegang dengan al
Qur`an dan sunnah -jikalau benar demikian-, adalah tidak layak bila mengambil
secara parsial atau tidak mengkaji secara detail kesahihan nash syariat yang
kita terima? Generasi salaf itu sangat banyak, maka adalah sangat aib bila kita
memilah dan memilih salaf yang kita pedomani dengan mengabaikan salaf yang
lain! Sahabat tidak mesti menerima orang lain, tapi tidak bijak bila menolak
analisa orang lain, hanya karena alasan berbeda dengan apa yang diyakini!
Jikalau sahabat selalu mendakwa bahwa pemahaman
sahabat adalah pemahaman generasi salaf, sekali-kali bertanyalah kepada diri
sahabat, apakah benar pemahaman generasi salaf seperti yang saya pahami dan
seperti yang saya aplikasikan?! Jikalau generasi salaf merupakan orang yang
tunduk kepada kebenaran dan sangat tawadhu`, kenapa kita tunduk kepada guru
doktrinan guru saja dan terlalu sulit menerima orang lain yang beda manhaj?!
Jikalau generasi salaf sangat mendahulukan husnuzhan kepada saudaranya, kenapa
kita justru mendahulukan su`u zhan kepada saudara kita yang sama-sama muslim?!
Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa kita
sama-sama bermaksud untuk menetapkan segala sifat kesempurnaan bagi Allah dan
menafikan segala sifat yang menunjukkan kekurangan, aib dan kelemahan.
Wallahu a`lam
Ya Allah berikanlah kepada kami cahaya kebenaran dan
mudahkanlah kami untuk istiqomah dengan kebenaran serta hilangkan sikap
fanatisme buta dari diri kami sampai akhir hayat kami. Amiin
Referensi
dan rujukan kajian :
1. Al Qur`an Al Karim
2. Kitab-kitab hadits dan sunan
3. DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al
Mu`Ashirah Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib,
Kairo, cet. ke I, 2009
4. Abu Hamid Al Ghazali, Al Iqtishad Fie Al I`tiqad,
Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009, editing dan komentar: DR. Musthafa
`Imran.
5. Abu Hamid Al Ghazaly, Iljam Al `Awwam `An Ilmi Al
Kalam, Al Maktabah Al Azhariyyah li al Turats, Kairo.
6. Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al Shifat, Al Maktabah Al
Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, 2010, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al
Kautsary.
7. Taqiyyuddin Al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd
` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, editing
dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
8. Taqiyyuddin Abi Bakar Al Hishniy Al Dimasqiy, Daf`u
Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo,
editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary, 2010.
9. `Abdurrahman Abi Al Hasan Al Jauziy, Daf`u Syubhat
al Tasybih, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, editing dan
komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary, 2010.
10. Muhammad Zahid Al Kautsary di dalam editing dan
komentar terhadap kitab Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al Shifat, Al Maktabah Al
Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, 2010, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al
Kautsary.
11. Muhammad Zahid al Kautsary di dalam editing dan
komentar terhadap kitab Taqiyuddin Al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd `
Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, editing dan
komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
12. Al Hafiz Abu al Fadl `Abdillah Muhammad Shiddiq Al
Ghumary, Nihayat Al Amal Fie Shihati Wa Syarh Hadits `Ardl Al A`mal, Maktabah
al Qahirah, Kairo, 2006.
13. DR. Thaha Al Dusuqiy Hibisyi, Al Janib Al Ilahy
Fie Fikri Al Imam Al Ghazali, Fak. Ushuluddin Al Azhar University, Kairo, 2010.
14. DR. Muhyiddin Al Shafi, Muhadharat Fie Al `Aqidah
Al Islamiyyah Qism Al Ilahiyyat, Maktabah Iman dan Maktabah Al Jami`ah Al
Azhariyyah, Kairo, cet. ke II, 2010
15. DR. Manshur Muhammad Muhammad `Uwais, Ibnu Taimiyyah
Laisa Salafiyyan, Dar Al Nahdah Al `Arabiyyah, Kairo, cet. ke I, 2010.
16. DR. Muhammad Abdil Fadhil Al Qushy, Hawamisy ` Ala
Al `Aqidah Al Nizhamiyyah Li Al Imam Al Haramain, Maktabah Iman, Kairo, cet. ke
II, 2006.
17. DR. Ahmad `Umar Hasyim, Qawaid Ushul Al Hadits,
Fak. Ushuluddin Al Azhar University, Kairo
Alloh swt tidak butuh tempat, buktinya ketika ruang/tempat belum ada Dia sudah ada….tapi ketika tercipta ruang/tempat (dengan terciptanya Arsy) maka dengan sendirinya Dia swt memiliki posisi berkaitan ruang/tempat itu, yaitu Dia swt diluar ruang/tempat itu…dan posisi itu di atas Arsy….sebab dengan Dia swt berada di luar ruang maka dengan sendirinya Dia swt tidak menempati ruang/tempat, jadi tetap masih bisa dikatakan Dia swt tidak butuh ruang/tempat…..nah kalau sekarang ada pertanyaan “dimana Alloh swt ketika Arsy (ruang/tempat) belum ada?”….ada jawabannya di dalam al-hadits yakni ” fi amaa’, laisa fauqohu hawaa’ wa laisa tahtahu hawaa’ ” artinya ” di amaa’, tidak ada ruang di atas-Nya maupun di bawah-Nya “…..jadi amaa’ adalah kondisi tidak ada ruang…..
BalasHapus