Shalahuddin Al Ayyubi,
Pelibas Tentara Salib
(1137 -
1193 M)
Sultan Salahuddin Al-Ayyubi,
namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang memiliki jiwa
patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat
Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan tentara salib yang
merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.
Guna membangkitkan kembali ruh
jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu telah tidur nyenyak dan
telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw,
maka Salahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad
Saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan
pantang menyerah yang ditunjukkan melalui "Siratun Nabawiyah".
Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat
Islam.
Jarang sekali dunia menyaksikan
sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian
seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab
terhadap agama (Islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan
tentara ke tanah suci Palestina selama dua puluh tahun. Akhirnya dengan
kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di
bawah pimpinan Richard Lion Heart dari Inggris.
Hendaklah diingat, bahwa Perang
Salib adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat penuh kekejaman dan
kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan korban ratusan ribu jiwa, di mana
topan kefanatikan membabi buta dari Kristen Eropa menyerbu secara menggebu-gebu
ke daerah Asia Barat yang Islam.
Seorang penulis Barat berkata,
"Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah yang paling gila dalam
riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam ekspedisi
bergelombang selama hampir tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan
umat Islam mereka mengalami kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan.
Seluruh Eropa sering kehabisan manusia, daya dan dana serta mengalami
kebangkrutan sosial, bila bukan kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang
tewas dalam medan perang, sedangkan bahaya kelaparan, penyakit dan segala
bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan berkecamuk sebagai noda yang melekat
pada muka tentara Salib.
Dunia Nasrani Barat saat itu memang
dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit
dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum
Muslimin".
"Setiap cara dan jalan
ditempuh", kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan itu. Selagi seorang
tentara Salib masih menyandang lambang Salib, mereka berada di bawah lindungan
gereja serta dibebaskan dari segala macam pajak dan juga untuk berbuat dosa.
Peter The Hermit sendiri memimpin
gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat puluh ribu tentara. Setelah
mereka sampai ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang serbuan
pertama dengan menghancurkan kota itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya
yang tak bersalah, dan melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam
kekejaman yang tak terkendali. Gerombolan manusia fanatik yang menamakan
dirinya tentara Salib itu mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria menjadi
daerah-daerah yang tandus.
"Ketika mereka telah sampai ke
Asia Kecil, mereka melakukan kejahatan-kejahatan dan kebuasan-kebuasan yang
membuat alam semesta menggeletar" demikian tulis pengarang Perancis Michaud.
Gelombang serbuan tentara Salib
ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman, menurut pengarang Gibbon terdiri
dari sampah masyarakat Eropa yang paling rendah dan paling dungu. Bercampur
dengan kefanatikan dan kedunguan mereka itu izin diberikan guna melakukan
perampokan, perzinaan dan bermabuk-mabukan. Mereka melupakan Konstantin dan
Darussalam dalam kemeriahan pesta cara gila-gilaan dan perampokan, pengrusakan
dan pembunuhan yang merupakan peninggalan jelek dari mereka atas setiap daerah
yang mereka lalui" kata Marbaid.
Gelombang serbuan tentara Salib
keempat yang diambil dari Eropa Barat, menurut keterangan penulis Mill,
"Terdiri dari gerombolan yang nekat dan ganas. Massa yang membabi buta itu
menyerbu dengan segala keganasannya menjalankan pekerjaan rutinnya merampok dan
membunuh. Tetapi akhirnya mereka dapat dihancurkan oleh tentara Hongaria yang
naik pitam dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib sebelumnya.
Tentara Salib telah mendapat sukses
sementara dengan menguasai sebagian besar daerah Syria dan Palestina termasuk
kota suci Yerusalem. Tetapi Kemenangan-kemenangan mereka ini telah disusul
dengan keganasan dan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang tak bersalah yang
melebihi kekejaman Jengis Khan dan Hulagu Khan.
John Stuart Mill ahli sejarah
Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal penduduk Muslim ini
pada waktu jatuhnya kota Antiochia. Mill menulis: "Keluruhan usia lanjut,
ketidakberdayaan anak-anak dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama
sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai
tempat berlindung dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu
angkara untuk melakukan kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota
Syria, membunuh penduduknya dengan tangan dingin, dan membakar habis
perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk
"Kutub Khanah" (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur itu.
"Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan
tenaga," kata Stuart Mill. Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk
pasaran budak belian di Antioch. Tetapi yang tua dan yang lemah dikorbankan di
atas panggung pembunuhan.
Lewat pertengahan abad ke-12 Masehi
ketika tentara Salib mencapai puncak kemenangannya dan Kaisar Jerman, Perancis
serta Richard Lionheart Raja Inggris telah turun ke medan pertempuran untuk
turut merebut tanah suci Baitul Maqdis, gabungan tentara Salib ini disambut
oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima
Besar Muslim yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang datang
untuk maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk menghalau
serbuan tentara Salib itu, akan tetapi yang dihadapi mereka sekarang ialah
seorang yang berkemauan baja serta keberanian yang luar biasa yang sanggup
menerima tantangan dari Nasrani Eropa.
Siapakah Shalahuddin? Bagaimana
latar belakang kehidupannya?
Data lengkap tentang Sultan
Salahudin Al-Ayubi bahwa Nama lengkapnya Yusuf Ayyubi dari seorang Muslim
keturunan Kurdi yang lahir 1138 M. di Tikrit, Iraq. Memerintah sejak 1174 M. –
4 Maret-1193 M. Dan dinobatkan pada tahun 1174 M. Meninggal 4 Maret-1193 M. di
Damaskus, Syria. Makamnya berada di dekat Masjid Umayyah, Damaskus, Syria
Ayahnya bernama Najamuddin Ayyub.
Ketika masih kecil, Shalahuddin menerima pendidikan pertama dari ayahnya
sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi. Di samping itu
pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam
membentuk kepribadian Shalahuddin, yakni Asaduddin Shirakuh. Kedua-duanya
adalah pembantu dekat Raja Syria Nuruddin Mahmud.
Asaduddin Shirakuh, seorang
jenderal yang gagah berani, adalah komandan Angkatan Perang Syria yang telah
memukul mundur tentara Salib, baik di Syria maupun di Mesir. Shirakuh memasuki
Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi untuk menghadapi perlawanan Shawir
seorang menteri khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan tentara
Perancis. Serbuan Shirakuh yang gagah berani itu serta kemenangan akhir yang
direbutnya dari Babain atas gabungan tentara Perancis dan Mesir itu menurut
Michaud, ia telah memperlihatkan kehebatan strategi tentara yang bernilai
ringgi.
Ibnu Aziz Al Athir menulis tentang
serbuan panglima Shirakuh ini sebagai berikut: "Belum pernah sejarah
mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan
Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, dengan hanya seribu pasukan
berkuda".
Pada tanggal 8 Januari 1169 M
Shirakuh sampai di Kairo dan diangkat oleh Khalifah Fathimiyah sebagai Menteri
dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Tetapi sayang, Shirakuh tidak ditakdirkan
untuk lama menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan setelah pengangkatannya
itu, dia berpulang ke rahmatullah.
Sepeninggal Shirakuh, keponakannya
Shalahuddin al-Ayyubi diangkat jadi Perdana Menteri Mesir. Tak seberapa lama ia
telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang pemurah dan adil
bijaksana itu. Pada saat khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin telah
menjadi penguasa yang sesungguhnya di Mesir.
Di Syria, Nuruddin Mahmud yang
termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174 Masehi dan digantikan oleh
putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh. Sultan muda ini diperalat
oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin.
Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa
baktinya dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama
raja itu dalam khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam
bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta
segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi itu.
Suasana yang meliputi kerajaan ini
sekali lagi memberi angin kepada tentara Salib, yang selama ini dapat ditahan
oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Shirakuh.
Atas nasihat Gumushtagin, Malikus
Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu
oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan
itu, dan hanya bersedia untuk tidak menghancurkan kota itu jika menerima uang
tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin
al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut
kembali kota itu.
Setelah ia berhasil menduduki
Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan
bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan
tingkah laku Malikus Saleh. dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk
memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama
raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182
Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Sultan Shalahuddin segera
mengadakan gencatan senjata dengan tentara Perancis di Palestina, tetapi
menurut ahli sejarah Perancis, Michaud: "Kaum Muslimin memegang teguh
perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi
peperangan."
Berlawanan dengan syarat-syarat
gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari Castillon
menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah
anggotanya dan merampas harta bendanya. Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang
bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas Sultan Shalahuddin
mengurung pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin pada tahun 1187 M
serta menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar.
Sultan tidak memberikan kesempatan
lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan melanjutkan serangannya
setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat singkat dia telah
dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nasrani, termasuk
kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut. Demikian
juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat
yang diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang
berhati mulia itu.
Sekarang Shalahuddin menghadapkan
perhatian sepenuhnya terhadap kota Jerusalem yang diduduki tentara Salib dengan
kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara salib ini tidak
sanggup menahan serbuan pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193. Sikap
penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani
itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan
perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika
dikalahkan oleh tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Menurut penuturan ahli sejarah
Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib pada tahun 1099
Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya dan di
rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat
Islam yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman
musuh dengan menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari
masuk istana, menara-menara, dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi
mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib.
Tentara Salib yang menduduki masjid
Umar, di mana kaum Muslimin dapat bertahan untuk waktu yang singkat, kini
mengulangi lagi tindakan-tindakan yang penuh kekejaman. Pasukan infanteri dan
kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang langgang. Di tengah-tengah
kekacaubalauan kaum peenyerbu itu, yang terdengar hanyalah erangan dan teriakan
maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat
Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri.
Raymond d' Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa di serambi
masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda
prajurit.
Penyembelihan manusia biadab ini
berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul untuk melakukan misa syukur
atas kemenangan yang telah mereka peroleh. Tetapi setelah beribadah itu, mereka
melanjutkan kebiadaban dengan keganasan. Semua tawanan, kata Michaud, yang
tertolong nasibnya karena kelelahan tentara Salib yang semula tertolong karena
mengharapkan diganti dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa
ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan rumah
kediaman; mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat
persembunyiannya di bawah tanah; mereka dipancing dari tempat perlindungannya agar
keluar untuk dibunuh di atas timbunan mayat.
Cucuran air mata kaum wanita,
pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga kenangan dari tempat di mana
Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu angkara
tentara yang menang itu. Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu.
Dan sejumlah kecil yang dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi
budak yang hina dina.
Seorang ahli sejarah Barat, Mill
menambahkan pula: “Telah diputuskan, bahwa kaum Muslimin tidak boleh diberi
ampun. Oleh karena itu harus diseret ke tempat-tempat umum untuk dibunuh
hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada buah dadanya, anak-anak
laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-Iapangan kota,
jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi
oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota tubuh
anak-anak. Tiada hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat
kebajikan.
Demikianlah rangkaian riwayat
pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem sekira satu abad sebelum
Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci, di mana lebih dari tujuh puluh
ribu umat Islam yang tewas.
Sebaliknya, ketika Sultan
Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun 1193 M, dia memberi pengampunan
umum kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya para prajurit
Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang
ringan. Bahkan sering terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang
tebusan itu dari kantongnya sendiri dan malah memberi alat pengangkutan untuk
kepulangan tentera Salib.
Sejumlah kaum wanita Nasrani dengan
mendukung anak-anak mereka datang menjumpai Sultan dengan penuh tangis seraya
berkata: Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri serta anak-anak perempuan
para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin meninggalkan negeri
ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah tumpuan hidup kami. Bila
kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana Tuan serahkan
mereka kepada kami mereka akan dapat meringankan penderitaan kami dan kami akan
mempunyai sandaran hidup.
Sultan Shalahuddin sangat tergerak
hatinya dengan permohonan mereka itu dan dibebaskannya para suami kaum wanita
Nasrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan kota, diperkenankan membawa
seluruh harta bendanya. Sikap dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh
kemanusiaan serta dari jiwa yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras yang
sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem dalam
tangan tentara Salib satu abad sebe1umnya. Para komandan pasukan tentara
Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib
yang telah dikalahkan itu.
Tragisnya, para pelarian Nasrani
dari kota Jerusalem itu tidaklah mendapat perlindungan dari penguasa kota-kota
yang dilaluinya, kendati mereka itu penguasa Kristen. Banyak kaum Nasrani yang
meninggalkan Jerusalem, kata Mill, pergi menuju Antiochia, tetapi panglima
Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan kepada mcreka,
bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka menuju ke tanah kaum
Muslimin dan diterima di sana dengan baik.
Michaud mcmberikan keterangan yang
panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak berperikemanusiaan ini terhadap
para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli menutup pintu kotanya dari
pengungsi ini, kata Michaud. Seorang wanita karena putus asa melemparkan anak
bayinya ke dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk
memberikan pertolongan kepadanya, kata Michaud.
Sebaliknya Sultan Shalahuddin
bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang ditaklukkan itu. Sebagai
pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak memasuki Jerusalem sebelum
mereka meninggalkannya.
Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin
mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara Salib yang tidak tahu
berterima kasih terhadap Sultan Shalahuddin yang telah mengampuninya di
Jerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan. Sultan Shalahuddin
menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai,
termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah
melepas hulu balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa
dia harus segera pulang ke Eropa. Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani
yang tak tahu berterima kasih ini mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari
janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan yang cukup besar dan mengepung kota
Ptolemais.
Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum
Muslimin menimbulkan kegusaran besar di kalangan dunia Nasrani. Sehingga mereka
segera mengirimkan bala bantuan dari seluruh pelosok Eropa. Kaisar Jerman dan
Perancis serta raja Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan
yang besar untuk merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung
kota Akkra yang tidak dapat direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah
pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan meninggalkan
korban yang cukup besar.
Sekarang yang harus dihadapi Sultan
Shalahuddin ialah berupa pasukan gabungan dari Eropa. Bala bantuan tentara
Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya, dan sungguh pun
kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini
jumlah semakin besar juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan
lamanya menghadapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan
makanan terpaksa menyerah kepada musuh dengan syarat yang disetujui bersama
secara khidmat, bahwa tidak akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan bahwa
mereka diharuskan membayar uang tebusan sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan
pasukan Salib.
Karena kelambatan dalam suatu
penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lion Heart menyuruh membunuh kaum
Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di hadapan pandangan
mata saudara sesama kaum Muslimin.
Perilaku Raja Inggris ini tentu
saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia bernadzar untuk
menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam pertempuran
yang berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin memberikan
pukulan-pukulan yang berat terhadap tentara Salib.
Akhirnya Raja Inggris yang berhati
singa itu mengajukan permintaan damai yang diterima oleh Sultan. Raja itu
merasakan bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang berkemauan baja dan tenaga
yang tak terbatas serta menyadari betapa sia-sianya melanjutkan perjuangan
terhadap orang yang demikian itu. Dalam bulan September 1192 Masehi dibuatlah
perjanjian perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan ransel
untuk membawa barang-barangnya kembali menuju Eropa.
"Berakhirlah dengan demikian
serbuan tentara Salib itu,” tulis Michaud, “di mana gabungan pasukan pilihan
dari Barat merebut kemenangan tidak lebih daripada kejatuhan kota Akkra dan
kehancuran kota Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang
kaisarnya yang besar beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam
ratus ribu orang pasukan Salib mendarat di depan kota Akkra dan yang kembali
pulang ke negerinya tidak lebih dari seratus ribu orang.
Dapatlah dipahami mengapa Eropa
dengan penuh kesedihan menerima hasil perjuangan tentara Salib itu, oleh karena
yang turut dalam pertempuran terakhir adalah tentara pilihan. Bunga kesatria
Barat yang menjadi kebanggaan Eropa telah turut dalam pertempuran ini.
Sultan Shalahuddin mengakhiri
sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan masyarakat
dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi serta
masjid-masjid di seluruh daerah yang diperintahnya.
Tetapi sayang, dia tidaklah
ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Beberapa bulan kemudian dia
pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret tahun 1193. "Hari itu merupakan
hari musibah besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum
Muslimin, semenjak mereka kehilangan Khulafa Ar-Rasyidin" demikian tulis
seorang penulis Islam.
Kalangan Istana seluruh daerah
kerajaan berikut seluruh umat Islam tenggelam dalam lautan duka nestapa.
Seluruh isi kota mengikuti usungan jenazahnya ke kuburan dengan penuh kesedihan
dan tangisan.
Demikianlah berakhirnya kehidupan
Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat dalam perikemanusiaannya dan tak
ada tolok bandingannya, jiwa kepahlawanan yang dimilikinya dalam sejarah kemanusiaan.
Dalam pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang Muslim yang penuh kasih
sayang terhadap kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis dengan keperkasaan
seorang genius dalam medan pertempuran.
Utusan yang menyampaikan berita
kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju perangnya, kudanya, uang
sebanyak satu dinar dan 36 dirham sebagai milik pribadinya yang masih
ketinggalan. Orang yang hidup satu zaman dengannya, serta segenap ahli sejarah
sama sependapat bahwa Sultan Shalahuddin adalah seorang yang sangat lemah
lembut hatinya, ramah tamah, sabar, seorang sahabat yang baik dari kaum
cendekiawan dan golongan ulama yang diperlakukannya dengan rasa hormat yang
mendalam serta dengan penuh kebajikan.
"Di Eropa" tulis Philip K
Hitti, dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis
novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum
kesatria.
Al-Fatih, Pembuka Kemenangan Istanbul, 1453M.
Istanbul atau yang dulunya
dikenal sebagai Costantinople, adalah salah sebuah bandar nostalgia dunia.
Keagungannya tercatat oleh tinta Sejarah Islam, bahkan statusnya sebagai salah
sebuah bandar utama dunia, pasti mengundang decak kagum manusia.
Kedudukannya yang strategis,
mengundang komentar Napoleon Bonaparte, “Kalaulah dunia ini sebuah negara, maka
Costantinople inilah yang paling layak menjadi ibukotanya!”.
Kedudukan Costantinople yang
sedemikian rupa, sungguh memiliki kedudukan yang istimewa bagi umat Islam,
sehingga mereka pun mengagenda kan untuk segera menaklukkan kerajaan Byzantine.
Rasulullah Saw sendiri telah beberapa kali memberikan kabar gembira tentang
penaklukan kota ini di tangan umat Islam seperti yang dinyatakan beliau ketika
perang Khandak:
“Sesungguhnya Costantinopel
itu pasti ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik
tentera adalah tenteranya”
Terdapat banyak lagi hadits
lain seperti ini dan ia menimbulkan gairah para khalifah dan pemimpin Islam
untuk berusaha menaklukkan kota Costantinople. Usaha pertama dilancarkan pada
tahun 44 H yaitu di zaman Muawiyah bin Abi Sufian RA. Akan tetapi, usaha itu
gagal, sedangkan Abu Ayyub Al-Ansari
yang merupakan salah seorang sahabat Nabi yang menyertainya, syahid di pinggir
kota Costantinople. Di zaman Sulaiman bin Abdul Malik pula, Khilafah Umayah
telah menyediakan pasukan terhandal untuk menaklukkan kembali kota itu pada
tahun 98H tetapi masih belum diizinkan oleh Allah SWT. (Al-Ibar, Ibnu Khaldun
3/70 dan Tarikh Khalifah bin Khayyath, hal. 315)
Di zaman pemerintahan kerajaan
Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui kegagalan, termasuk
usaha di zaman Khalifah Harun lah-Rasyid tahun 190H.
Selepas kejatuhan Baghdad
tahun 656H, usaha menaklukkan Costantinople diteruskan pula oleh
kerajaan-kerajaan kecil di Asia Minor (Anatolia) terutamanya Kerajaan Seljuk.
Pemimpin masyhurnya, Alp Arslan (455-465H / 1063-1072M) telah berhasil
mengalahkan Maharaja Rum, Dimonos, pada tahun 463H / 1070M. Beliau telah
menangkap lalu memenjarakannya sebelum dibebaskan dengan persetujuan untuk
membayar jizyah tahunan kepada Kesultanan Seljuk. Peristiwa ini telah
meletakkan sebahgian besar kekaisaran Romawi di bawah pengaruh Kerajaan Islam
Seljuk.
Setelah jatuhnya Kerajaan
Seljuk, terbentuk pula beberapa kerajaan kecil di Anatolia, di antaranya
kerajaan Seljuk Rum yang telah berhasil meluaskan kekuasaannya sehingga ke
pantai Laut Ege di barat, seterusnya melemahkan pengaruh dan kekuasaan
Kekaisaran Rom.
v Daulah Utsmaniyah
Di awal kurun ke-8 hijrah/14M,
Daulah Utsmaniyyah telah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk Rum yang ketika
itu berpusat di bandar Konya. Kesepakatan ini memberikan nafas baru kepada
usaha umat Islam untuk menaklukkan Costantinople. Usaha awal yang dibuat adalah
di zaman Sultan Yildrim Beyazid yang mana beliau telah berhasil mengepung kota
itu pada tahun 796H / 1393M.
Peluang yang ada telah
digunakan oleh Sultan Beyazid untuk memaksa Maharaja Byzantine menyerahkan
Costantinople secara aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya itu menemui
kegagalan dengan kedatangan bantuan Eropah dan dalam masa yang sama, tentera
Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk telah menyerang Daulah Utsmaniyah. Serangan
itu dikenal sebagai Perang Ankara, yang berhasil memaksa Sultan Beyazid untuk
menarik balik tenteranya demi mempertahankan negara dari serangan Mongol.
Dalam peperangan itu, beliau
telah ditawan dan kemudiannya meninggal dunia pada tahun 1402M. Kejadian itu
telah menyebabkan ide untuk menaklukkan Costantinople terhenti untuk beberapa
tahun kemudian.
Selepas Daulah Utsmaniyyah
mencapai ke peringkat yang lebih maju dan tersusun, ruh jihad telah hidup semua
dengan nafas baru. Semangat dan kesungguhan yang ada itu telah mendorong Sultan
Murad II (824-863H/1421-1451M) untuk meneruskan usaha menaklukkan
Costantinople. Beberapa usaha telah dibuat untuk mengepung kota itu, tetapi
dalam masa yang sama berlaku pengkhianatan di pihak umat Islam. Mahajara
Byzantine telah mengambil peluang ini untuk menaburkan fitnah dan
memporakporandakan barisan tentera Islam. Usaha Sultan Murad II itu tidak
berhasil sampai ke sasaran, sehingga di zaman anak beliau, Sultan Muhammad
Al-Fatih, sultan ke-7 Daulah Utsmaniyah.
Semenjak kecil, Sultan
Muhammad Al-Fatih telah meneliti dan meninjau usaha ayahnya menaklukkan
Costantinople. Bahkan beliau terus mengkaji tentang usaha-usaha yang pernah
dibuat sepanjang sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan maksud yang
kuat untuk meneruskan cita-cita umat Islam sejak dahulu.
Ketika naik tahta pada tahun
855H / 1451M, beliau mulai berfikir dan menyusun strategi untuk menaklukkan
Costantinople. Kekuatan Sultan Muhammad Al-Fatih banyak terletak pada
ketinggian peribadinya. Semenjak kecil, beliau telah dididik secara intensif
oleh para ulama kenamaan di zamannya.
Di zaman ayahnya, yakni Sultan
Murad II, Asy-Syeikh Muhammad bin Ismail Al-Kurani telah menjadi pendidik Amir
Muhammad (Al-Fatih). Ketika itu, Amir Muhammad adalah gubernur daerah Manisa.
Sultan Murad II telah menghantar beberapa orang ulama untuk mengajar anaknya
sebelum itu, tetapi tidak diindahkan oleh Amir Muhammad. Lalu, beliau mengutus
Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk memukul Amir Muhammad
jika beliau membantah perintah gurunya. Ketika beliau menemui Amir Muhammad dan
menjelaskan tentang hak yang diberikan oleh baginda Sultan, Amir Muhammad
ketawa lalu dipukul oleh Asy-Syeikh Al-Kurani dengan begitu kuat sekali.
Peristiwa ini telah menimbulkan kesan yang mendalam pada diri Amir Muhammad
lantas selepas itu beliau terus menghafal Al-Quran dalam masa yang singkat.
Tarbiah yang diberikan oleh
para ulama pendidik itu memberikan pengaruh yang besar, bukan hanya kepada
pribadi Sultan, bahkan kepada corak pemerintahan dan adat Daulah Utsmaniyah itu
sendiri. Sekiranya Sultan melakukan kekhilapan, sang ulama akan menegur. Sultan
juga dipanggilnya dengan nama tanpa gelar. Apabila bersalam, Sultan yang akan
mencium tangan ulama yang menjadi gurunya itu. Dengan pendidikan yang teliti
dan penuh rasa hormat seperti ini, tidak heran jika akhirnya Muhammad Al-Fatih
muncul menjadi singa dalam panggung sejarah..
v Kredibilitas Syeikh Ak
Semsettin
Dalam masa yang sama
Asy-Syeikh Ak Samsettin (Syamsuddin) merupakan pendidik Sultan Muhammad
Al-Fatih yang hakiki. Namanya lengkapnya adalah Muhammad bin Hamzah Ad-Dimasyqi
al-Rumi yang nasabnya berkait sampai kepada Abu Bakar As-Siddiq Ra. Beliau
mengajar Amir Muhammad ilmu-ilmu pokok, seperti Al-Qur'an, Al-Hadits, Fiqih,
Linguistik (Arab, Parsi dan Turki), Matematik, Falak, Sejarah, Siasat
Peperangan dan sebagainya.
Semenjak kecil, Syeikh Ak
Semsettin berhasil meyakinkan Amir Muhammad bahwa beliau adalah orang yang
dimaksudkan oleh Rasulullah Saw di dalam hadits penaklukan Costantinople.
Maka ketika Sultan Muhammad
naik takhta, beliau segera menemui Syeikh Ak Semsettin, utamanya untuk
menyiapkan bala tentera menuju Costantinople, demi merealisasikan hadits
Rasulullah Saw Maka terjadilah peperangan yang sangat hebat, sehingga
berlangsung selama 54 hari.
Sultan Muhammad Al-Fatih sangat
menyayangi Syeikh Ak Semsettin. Beliau mempunyai kedudukan yang istimewa pada
diri Sultan Muhammad Al-Fatih dan ini sangat jelas dinyatakan oleh beliau
ketika pembukaan Istanbul, "Sesungguhnya kamu semua melihat saya gembira
sekali. Kegembiraanku ini bukanlah semata-mata karena keberhasilan kita
menaklukkan kota ini, akan tetapi karena hadirnya guruku yang mulia, dialah
pendidikku, Asy-Syeikh Ak Semsettin."
v Persiapan ke Arah
Penaklukan
Sultan Muhammad Al-Fatih telah
membuat persiapan yang besar untuk menaklukkan Costantinople. Beliau telah
menyediakan mujahid kira-kira 250,000 dan ini merupakan angka yang begitu besar
jika dibandingkan dengan tentera negara lain di zaman itu. Para mujahid diberi
latihan intensif dan senantiasa diperingatkan pada pujian Rasulullah Saw kepada
tentera yang akan menaklukkan Costantinople itu nanti
Beliau telah membangun Kota
Rumeli (Rumeli Hisari) di tebing Eropa. Selat Bosphorus di bagian tersempit
antara tebing Asia dan Eropah. Kota yang berhadapan dengan kota binaan Sultan
Beyazid di sebelah tebing Asia ini, mempunyai peranan yang besar dalam usaha
mengawal lalu lintas di selat tersebut. Maharaja Byzantine telah berusaha gigih
untuk menghalangi Sultan Muhammad Al-Fatih darip pembangunan kota ini, tetapi
gagal.
Sultan Muhammad Al-Fatih juga
berusaha untuk meningkatkan kelengkapan senjatanya. Beliau telah memanggil ahli
meriam yang bernama Orban untuk bekerja lebih intensif lagi. Beberapa meriam
telah dibuat, termasuk meriam keirajaan yang masyhur. Catatan menceritakan betapa
meriam ini adalah yang terbesar di zaman itu. Beratnya ratusan ton dan
memerlukan ratusan tentera untuk mengangkutnya. Beliau juga menyediakan
kira-kira 400 buah kapal laut untuk tujuan yang sama.
Sebelum serangan dibuat,
Sultan Muhammad Al-Fatih telah mengadakan perjanjian dengan musuh-musuh yang
lain. Ini merupakan strategi yang penting supaya seluruh tenaga dapat
ditumpukan kepada musuh yang satu tanpa ada sedikit pun ancaman yang berada di
luar jangkauan. Di antaranya, perjanjian yang dibuat dengan kerajaan Galata
yang bertetangga dengan Byzantine. Perkembangan ini sangat membimbangkan
Maharaja Byzantine lantas berbagai siasat dibuat untuk menaklukkan hati Sultan
Muhammad Al-Fatih supaya membatalkan hasratnya. Hadiah dan berbagai uang semir
pun dicoba untuk tujuan itu. Akan tetapi semuanya menemui kegagalan.
Maksud yang begitu kuat pada
diri Sultan Muhammad Al-Fatih telah mendorong Maharaja Byzantine berusaha
mendapatkan pertolongan dari negara-negara Eropa. Tanpa segan, beliau memohon
pertolongan dari pimpinan gereja Katholik, padahal ketika itu semua gereja di
Costantinople bermazhab Orthodoks.
Demi mengekalkan kekuasaannya,
Maharaja Byzantine mengaku setuju untuk menukar mazhab di Costantinople demi
menyatukan kedua aliran yang saling bermusuhan itu. Duta pun telah diutus dari
Eropah ke Costantinople untuk tujuan tersebut. Beliau telah berkhutbah di
Gereja Aya Sofya menyatakan ketundukan Byzantine kepada Katholik. Irnisnya, hal
ini telah menimbulkan kemarahan penduduk Costantinople yang bermazhab Orthodoks.
Sehinggakan ada di antara pemimpin Orthodoks berkata, "Sesungguhnya saya
lebih rela melihat di bumi Byzantine ini berada di serban orang Turki (Muslim)
daripada saya melihat topi Latin!" Situasi ini telah mencetuskan
pemberotakan rakyat terhadap keputusan maharaja yang dianggap berkhianat.
v Serangan Percobaan
Costantinople mempunyai
keistimewaannya yang tersendiri dari aspek geografi. Ia dikelilingi oleh lautan
dari tiga penjuru, yakni Selat Bhosphore, Laut Marmara Dan Perairan Tanjung
Emas (Golden Horn) yang pintu masuknya dihalangi oleh rantai besi raksasa dan
berfungsi penghalang kapal yang akan masuk ke pintu utama Kota Costantinople.
Selepas melalui proses
persiapan yang teliti, akhirnya Sultan Muhammad Al-Fatih telah tiba di hadapan
kota Costantinople pada hari Khamis 26 Rabiul Awal 857H bersamaan 6 April
1453M. Di hadapan 250 ribu tentera, Al-Fatih telah menyampaikan khutbah
mengingatkan para mujahid tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat
dan harapan kemenangan di hadapan Allah SWT dan sebagainya. Beliau juga
membacakan ayat-ayat Al-Quran serta hadits Nabi Saw tentang pembukaan kota
Costantinople. Ini semua memberikan semangat yang tinggi dan jitu pada bala
tentera itu. Lantas mereka menyambutnya dengan zikir, pujian dan doa kepada
Allah SWT. Kehadiran para ulama di tengah-tengah barisan para mujahid itu juga
menebalkan lagi maksud mereka untuk menunaikan kewajiban jihad.
Keesokan harinya, Sultan
Muhammad Al-Fatih telah menyusun dan membagi tenteranya kepada tiga devisi. Pertama,
adalah devisi yang bertugas mengawal kota yang mengelilingi Costantinople. Di
belakangnya, adalah tentera cadangan yang bertugas mendukung tentera utama.
Meriam Diraja telah diarahkankan ke pintu Topkapi. Pasukan pengawal juga
diposisikan di beberapa kawasan strategis, seperti kawasan bukit di sekitar
Kota Byzantine itu. Kapal-kapal laut Utsmaniyah juga diletakkan di sekitar
perairan yang mengelilingi Costantinople. Akan tetapi kapal-kapal berhasil
tidak berhasil memasuki perairan Tanjung Emas sebab terhalang rantai raksasa di
pintu masuk.
Semenjak hari pertama
serangan, tentera Byzantine telah berusaha keras menghalang tentera Utsmaniyah
mendekati pintu-pintu masuk kota. Tetapi serangan strategis tentera Islam telah
berhasil mematahkan halangan itu, ditambah pula dengan serangan meriam dari
berbagai sudut. Bunyi meriam itu telah menimbulkan rasa takut yang luar biasa
pada penduduk Costantinople sehingga memojokkan semangat mereka hanya untuk
bertahan.
Tentera Laut Utsmaniyah telah
mencoba beberapa kali untuk melepas rantai besi di pintu masuk Tanjung Emas.
Dalam masa yang sama, srangan panah diarahkan kepada kapal-kapal Byzantine dan
Eropa yang tiba untuk membantu. Walau bagaimana pun usaha ini tidak berhasil,
dan malah memberi semangat kepada penduduk Costantinople. Para paderi berjalan
di lorong-lorong kota, mengingatkan penduduk supaya memperbanyak sabar serta
terus berdoa kepada Jesus dan Maryam supaya menyelamatkan Costantinople.
Maharaja Byzantine juga berulang kali menuju Gereja Aya Sofya untuk tujuan yang
sama.
v Perjanjian Al-Fatih
dengan Costantine
Maharaja Costantine mencoba
dengan sekuat tenanga untuk menundukkan Al-Fatih. Berbagai hadiah menggiurkan
ditawarkan untuk menyelamatkan kedudukannya. Akan tetapi Al-Fatih menampik
tawaran itu, malah mengultimatum agars Costantinople diserahkan kepada Daulah
Utsmaniyah secara aman. Al-Fatih berjanji, jika Costantinople diserahkan secara
aman, tiada seorang pun akan disiksa, bahkan gereja dan harta benda penduduk
Costantinople akan mendapat perlindungan sepenuhnya.
Suratnya mengatakan,
"Serahkan kekaisaranmu dan kota Costantinople, saya bersumpah bahwa tenteraku tidak akan
merusak apa pun, baik nyawa, harta atau kehormatan. Mereka yang mau terus
tinggal dan hidup sejahtera di Costantinople, bebas berbuat demikian. Dan siapa
yang mau meninggalkan kota ini dengan aman, juga dipersilakan".
Walaupun begitu, kepungan
tentera Al-Fatih masih belum sempurna disebabkan oleh rantai besi yang
melindungi pintu masuk Tanjung Emas itu. Para mujahid pun terus melancarkan
serangan demi serangan, sehingga pada 18 April 1453M, pasukan penyerang
Utsmaniyah telah berhasil memecah tembok Byzantine di Lembah Lycos yang
terletak di sebelah barat kota. Tentera Byzantine telah berusaha untuk
mempertahankan kota itu. Pertempuran sengit berlaku bersama iringan hujan anak
panah yang amat dahsyat.
Pada hari yang sama, beberapa
buah kapal laut Utsmaniyah mencoba melintasi rantai besi di Tanjung Emas. Akan
tetapi, gabungan tentera laut Byzantine dan Eropa telah berhasil menangkis
serangan itu bahkan beberapa buah kapal laut Utsmaniyah musnah menyebabkan yang
lain terpaksa pulang ke posisi masing-masing untuk mengelakkan kerugian yang
lebih tragis..
Dua hari selepas serangan itu,
serangan laut un dilancarkan kembali. Sultan Muhammad Al-Fatih sendiri
mengawasi misi ini dari pantai. Beliau telah mengirimkan utusan kepada tentera
laut dengan mengatakan,"Hendaklah kalian tawan kapal-kapal itu atau kalian
tenggelamkan saja semuanya. Jika kamu gagal, jangan pulang kepada kami dengan
nyawa kalian yang masih menempel di tubuh!".
Ketika itu juga, Sultan
Muhammad Al-Fatih menunggang kudanya sampai di tepi laut saraya berteriak
sekuat tenaga untuk memberi spirit prajurit dengan Palta Oglu sebagai
panglimanya. Kesungguhan Al-Fatih itu terbukti mendongkrak semangat tenteranya.
Namun, tentera Kristen berhasil juga mematahkan serangan mujahidin walaupun
mereka melancarkan serangan demi serangan. Kegagalan tersebut menyebabkan
Sultan Muhammad Al-Fatih menjadi begitu marah lalu memecat Palta Oglu dan
digantikan dengan Hamzah Pasha.
Kegagalan serangan tersebut
telah memberikan kesan yang besar kepada tentera Utsmaniyah. Khalil Pasha yang
merupakan wazir ketika itu mencoba untuk membujuk Al-Fatih supaya membatalkan
serangan serta menerima saja perjanjian penduduk Costantinople untuk tunduk
kepada Daulah Utsmaniyah tanpa menakluknya. Saran itu ditolak mentah-mentah
oleh Al-Fatih. Kini tiba masanya beliau berfikir tentang bagaimana upaya
tentera laut Utsmaniyah agar berhasil menerobos Tanjung Emas.
v Keajaiban Tentera Utsmaniyah
Sultan Muhammad Al-Fatih telah
menemukan satu siasat yang jitu untuk membawa kapalnya masuk ke perairan
Tanjung Emas. Siasat yang tidak pernah dilakukan tentera mana pun sebelumnya.
Beliau telah memanggil tenteranya dan menyarankan kepada mereka supaya membawa
kapal-kapal itu masuk ke perairan Tanjung Emas melalui jalan darat! Malam itu
juga, tentera Utsmaniyah dengan semangat dan kekuatan luar biasa telah berhasil
menarik 70 kapal dari pantai Besiktas ke Galata melalui bukit yang begitu
tinggi dengan jarak melebihi 3 km. Ini sungguh kejadian ini sangat luar biasa
dan di luar bayangan manusia normal hingga ke hari ini.
Pagi 22 April itu, penduduk
Costantinople dikejutkan dengan suara takbir dan nasyid para mujahidin di
Tanjung Emas. Siapa pun tak dapat membayangkan, bagaimana semua itu bisa
terjadi hanya pada satu malam. Bahkan ada yang menyangka bahwa tentera Al-Fatih
mendapat bantuan jin dan setan!
Yilmaz Oztuna di dalam bukunya
Osmanli Tarihi menceritakan bagaimana seorang ahli sejarah Byzantine berkata,
"Tidaklah kami pernah melihat atau mendengar hal ajaib seperti ini.
Muhammad Al-Fatih telah menggantikan darat menjadi lautan, melayarkan kapalnya
di puncak gunung dan bukannya di ombak lautan. Sesungguhnya Muhammad Al-Fatih
dengan usahanya ini telah mengungguli Alexander The Great!"
Costantine pun bermusyawarah
dengan para menteri Byzantine tentang strategi seterusnya, tetapi mereka gagal
mencapai kata sepakat. Costantine menolak cadangan supaya beliau sendiri pergi
mendapatkan pertolongan dari umat Kristen di Eropa, bahkan tetap dengan
keputusannya untuk mempertahankan Costantinople hingga ke titik darah terakhir.
v Serangan Besar-besaran
Dengan kedudukan tentera
Utsmaniyah yang sudah semakin mantap, Sultan Muhammad Al-Fatih kini melancarkan
serangan besar-besaran ke benteng terakhir Byzantine. Tembakan meriam yang
memusnahkan sebuah kapal dagang di Tanjung Emas, menyebabkan tentera Eropa lari
ketakutan. Mereka meninggalkan pertempuran melalui kota Galata. Sejak kejayaan
kapal mujahidin memasuki perairan Tanjung Emas, serangan dilancarkan siang dan
malam tanpa henti.
Gema takbir "Allahu
Akbar, Allahu Akbar!" yang membahana telah memberi semacam serangan
psikologis kepada penduduk kota berkenaan. Seakan mendengar sambaran petir,
semangat menurun drastis ketika mendengar serbuan kalimah tauhid tentera
Al-Fatih itu. Dalam saat yang sama, Al-Fatih dan tenteranya mengejutkan mereka
dengan model perang yang baru sehingga menggentarkan pertahanan tentera salib
itu.
Ketika itu pula penduduk
Costantinople menyadari bahwa tentara Islam telah menjebol terowong untuk masuk
ke pusat kota. Ketakutan melanda penduduk sehingga mereka curiga dengan bunyi
telapak kakinya sendiri. Hati mereka gundah, jangan-jangan tentera Turki muncul
dari perut bumi bagai Ontorejo.
v Usaha Damai Terakhir
Sultan Muhammad Al-Fatih yakin
bahawa kemenangan semakin dekat. Kecintaannya kepada Costantinople yang
dijanjikan oleh Rasulullah Saw, mendorong beliau untuk terus berusaha agar
Costantine menyerah saja tanpa terus membiarkan kota itu musnah. Sekali lagi
Al-Fatih mengirim utusan meminta Costantine supaya menyerahkan Costantinople
secara aman. Dan ketika utusan Al-Fatih itu sampai kepadanya, Costantine telah
bermusyawarah dengan para menterinya. Ada yang menyarankan supaya mereka
menyerah kalah, dan ada pula yang menyarankan agar pertahanan diteruskan hingga
titik darah penghabisan. Costantine akhirnya setuju dengan pandangan kedua
lantas membalas Al-Fatih dengan kalimat, "Syukur kepada Tuhan karena
Sultan mau melindungi keamanan dan bersedia menerima jizyah. Akan tetapi
Costantine bersumpah untuk terus bertahan hingga akhir hayatnya demi takhta,
atau mati dikuburkan di kota ini!".
Ketika jawaban Costantine ini
diterima, Al-Fatih menjawab, "Baiklah, tidak lama lagi Costantinople akan
berada di tanganku, dan engkau boleh jadi tetap naik takhta atau diusung
keranda...!"
Al-Fatih pun terus menerapkan
berbagai strategi. Berbagai kemungkinan dipertimbangkan dan akhirnya keputusan
dibuat untuk meneruskan rencana menaklukkan Costantinople sebagaimana yang
telah disusun.
v Hari Kemenangan
Pada 27 Mei 1453, Sultan
Muhammad Al-Fatih bersama tenteranya telah berusaha keras bertaubat di hadapan
Allah SWT, memperbanyak shalat, doa dan zikir dengan harapan Allah SWT akan
memudahkan kemenangan. Para ulama memeriksa barisan tentera sambil memberi
semangat juang. Mereka diperingatkan tentang kelebihan jihad dan syahid serta
kemuliaan para syuhada terdahulu, khususnya Abu Ayyub Al-Ansari Ra ketika
Rasulullah Saw tiba di Madinah pada awal hijrah. Ketika itu baginda Saw tke
rumah Abu Ayyub Al-Ansari seraya mengatakan: “Sesungguhnya Abu Ayyub telah
datang (ke Costantinople) dan berada di sini!" Kata-kata ini telah
membakar semangat tentera Al-Fatih.
Dalam saat yang sama, penduduk
Costantine melakukan upacara peribadatan secara bersungguh-sungguh dengan
harapan Tuhan akan membantu mereka.. Tepat jam 1 pagi, hari Selasa 20 Jamadil
Awal 857H / 29 Mei 1453M, serangan utama dilancarkan. Para mujahidin
diperintahkan supaya melantangkan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang
kota. Penduduk Costantinople telah berada di puncak ketakutan mereka pagi itu.
Mujahidin yang sejak semula menginginkan syahid, begitu berani menyerbu tentera
salib di kota itu.
Tentera Utsmaniyah akhirnya
berhasil menembus kota Costantinople melalui Pintu Edirne dan segera
mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyah di puncak kota. Costantine yang melihat
kejadian itu merasa putus asa untuk bertahan lantas menanggalkan pakaian
maharajanya supaya tidak dikenali musuh. Akhirnya beliau menemui ajal dalam keadaan
yang amat tragis.
Berita kematian Costantine
telah menmabah spirit tentera Islam untuk menyerang. Begitu juga sebaliknya,
bagaikan pohon tercabut dari akarnya, tentera salib menjadi kocar kacir ketika
mendengar berita kematian maharajanya.
Kesungguhan dan semangat juang yang
tinggi di kalangan tentera Al-Fatih, akhirnya berhasil mengantarkan pada
cita-cita mereka. Kejayaan menguasai Costantinople telah disambut dengan penuh
rasa syukur oleh Al-Fatih, langit dan bumi. Beliau bertitah, "Alhamdulillah,
semoga Allah merahmati para syuhada', memberikan kemuliaan kepada mujahidin,
serta kebanggaan dan terima kasih buat rakyatku"
v Sebaik-baik Pimpinan dan
Tentera
Pada hari itu, mayoritas
penduduk Costantinople bersembunyi di gereja-gereja sekitar kota. Sultan Muhammad
Al-Fatih berpesan kepada tenteranya supaya memperlakukan dengan baik kepada
penduduk Costantinople. Tak lupa beliau selalu mengucapkan terima kasih kepada
tenteranya yang berhasil merealisasikan sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya
Costantinople itu pasti akan berhasil ditaklukkan. Sebaik-baik pimpinan adalah
pimpinannya, dan sebaik-baik tentera adalah tenteranya”
Dengan penuh rasa syukur dan
tawadhu, Sultan Muhammad Al-Fatih sujud ke bumi mengucapkan syukur ke hadirat
Allah atas kemenangan bersejarah itu. Beliau kemudiannya menuju ke Gereja Aya
Sofya yang ketika itu menjadi tempat perlindungan sejumlah besar penduduk kota.
Ketakutan jelas terbayang di wajah masing-masing ketika beliau mendekat ke
pintu. Salah seorang paderi pun membuka pintu gereja, dan Al-Fatih meminta
beliau supaya menenangkan mereka. Dengan toleransi dan kelembutan
Al-Fatih, mereka pun keluar dari tempat
persembunyian masing-masing, bahkan ada di kalangan paderi yang langsung
menyatakan keIslaman mereka. Secara umum, rakyat pun dilindungi keamanannya
dengan tanpa ada darah yang tertumpah.
Setelah itu, Sultan Muhammad
Al-Fatih mengintruksikan supaya gereja itu dijadikan masjid agar hari Jum’at
yang akan datang, iabadah Jum’at dapat diselenggarakan di masjid ini. Ini lebih
terhormat daripada gereja itu diluluhlantakkan. Akhirnya para pekerja pun
menanggalkan dan menurunkan salib, patung dan gambar-gambar untuk maksud
tersebut.
Pada hari Jumaat itu, Sultan
Muhammad Al-Fatih bersama ummat Islam telah mendirikan shalat Jum’at di Masjid
Aya Sofya. Khutbah yang pertama di Aya Sofya itu telah disampaikan oleh Syeikh
Ak Semsettin. Pada hari itu juga Sultan Muhammad Al-Fatih telah bersumpah bahwa
barangsiapa yang menukar Masjid Aya Sofya kembali kepada gereja, maka akan
dilaknat ummat Islam, dirinya dan Tuhan Masjid Aya Sofya itu.
Nama Costantinople kemudiannya
ditukar kepada "Islam Bol", yang bermaksud "Kemenangan
Islam" dan kemudiannya dijadikan sebagai ibukota negara ketiga Khilafah
Utsmaniyah setelah Bursa dan Edirne. Kekallah bumi yang mulia itu sebagai pusat
pemerintahan, kebudayaan, keilmuan dan keagungan Islam berjaya sampai sekian
lamanya, sehinggalah Khilafah Utsmaniyah ditamatkan sejarahnya oleh Mustafa
Kemal Ataturk pada tahun 1924M.
Aya Sofya kembali dikristenkan
oleh Ataturk atas nama mosium. Gambar- gambar syirik kembali bertempelan di
kubah masjid yang berdukacita itu. Sesungguhnya seluruh umat Islam merindukan
suara azan membesarkan Allah kembali berkumandang di menara Aya Sofya. Semoga
Istanbul kembali ke pangkuan Islam dan Muslimin.
Thariq Bin Ziyad, Sang Penakluk Spanyol
Setelah
Rasulullah Saw. wafat, Islam menyebar dalam spektrum yang luas. Tiga benua lama
-Asia, Afrika, dan Eropa-pernah merasakan rahmat dan keadilan dalam naungan
pemerintahan Islam. Tidak terkecuali Spanyol (Andalusia). Ini negeri di daratan
Eropa yang pertama kali masuk dalam pelukan Islam di zaman Pemerintahan
Kekhalifahan Bani Umaiyah.
Sebelumnya, sejak tahun 597 M, Spanyol dikuasai bangsa
Gotic, Jerman. Raja Roderick yang berkuasa saat itu. Ia berkuasa dengan lalim.
Ia membagi masyarakat Spanyol ke dalam lima kelas sosial. Kelas pertama adalah
keluarga raja, bangsawan, orang-orang kaya, tuan tanah, dan para penguasa
wilayah. Kelas kedua diduduki para pendeta. Kelas ketiga diisi para pegawai
negara seperti pengawal, penjaga istana, dan pegawai kantor pemerintahan.
Mereka hidup pas-pasan dan diperalat penguasa sebagai alat memeras rakyat.
Kelas keempat adalah para petani, pedagang, dan kelompok masyarakat yang hidup
cukup lainnya. Mereka dibebani pajak dan pungutan yang tinggi. Dan kelas kelima
adalah para buruh tani, serdadu rendahan, pelayan, dan budak. Mereka paling
menderita hidupnya.
Akibat klasifikasi sosial itu, rakyat Spanyol tidak
kerasan. Sebagian besar mereka hijrah ke Afrika Utara. Di sini di bawah
Pemerintahan Islam yang dipimpin Musa bin Nusair, mereka merasakan keadilan,
kesamaan hak, keamanan, dan menikmati kemakmuran. Para imigran Spanyol itu kebanyakan
beragama Yahudi dan Kristen. Bahkan, Gubernur Ceuta, bernama Julian, dan
putrinya Florinda - yang dinodai Roderick - ikut mengungsi.
Melihat kezaliman itu, Musa bin Nusair berencana ingin
membebaskan rakyat Spanyol sekaligus menyampaikan Islam ke negeri itu. Khalifah
Al-Walid bin Abdul Malik memberi izin. Musa segera mengirim Abu Zar’ah dengan
400 pasukan pejalan kaki dan 100 orang pasukan berkuda menyeberangi selat
antara Afrika Utara dan daratan Eropa.
Kamis, 4 Ramadhan 91 Hijriah atau 2 April 710 Masehi,
Abu Zar’ah meninggalkan Afrika Utara menggunakan 8 kapal dimana 4 buah adalah
pemberian Gubernur Julian. Tanggal 25 Ramadhan 91 H atau 23 April 710 H, di
malam hari pasukan ini mendarat di sebuah pulau kecil dekat Kota Tarife yang
menjadi sasaran serangan pertama.
Di petang harinya, pasukan ini berhasil menaklukan
beberapa kota di sepanjang pantai tanpa perlawanan yang berarti. Padahal jumlah
pasukan Abu Zar’ah kalah banyak. Setelah penaklukan ini, Abu Zar’ah pulang.
Keberhasilan ekspedisi Abu Zar’ah ini membangkitkan semangat Musa bin Nusair
untuk menaklukan seluruh Spanyol. Maka, ia memerintahkan Thariq bin Ziyad
membawa pasukan untuk penaklukan yang kedua.
Thariq bin Ziyad bin Abdullah bin Walgho bin Walfajun
bin Niber Ghasin bin Walhas bin Yathufat bin Nafzau adalah putra suku
Ash-Shadaf, suku Barbar, penduduk asli daerah Al-Atlas, Afrika Utara. Ia lahir
sekitar tahun 50 Hijriah. Ia ahli menunggang kuda, menggunakan senjata, dan
ilmu bela diri.
Senin, 3 Mei 711 M, Thariq membawa 70.000 pasukannya menyeberang
ke daratan Eropa dengan kapal. Sesampai di pantai wilayah Spanyol, ia
mengumpulkan pasukannya di sebuah bukit karang yang sekarang dikenal dengan
nama Gibraltar -diambil dari bahasa Arab “Jabal Thariq”, Bukit Thariq. Lalu ia
memerintahkan pasukannya membakar semua armada kapal yang mereka miliki.
Pasukannya kaget. Mereka bertanya, “Apa maksud Anda?”
“Kalau kapal-kapal itu dibakar, bagaimana nanti kita bisa pulang?” tanya yang
lain. Dengan pedang terhunus dan kalimat tegas, Thariq berkata:
“Kita datang ke sini bukan untuk kembali. Kita hanya
memiliki dua pilihan: menaklukkan negeri ini lalu tinggal di sini atau kita
semua binasa!” Kini pasukannya paham. Mereka menyambut panggilan jihad Panglima
Perang mereka itu dengan semangat berkobar.
Lalu Thariq melanjutkan briefingnya. “Wahai seluruh
pasukan, kalau sudah begini, ke mana lagi kalian akan lari? Di belakang kalian
ada laut dan di depan kalian ada musuh. Demi Allah SWT., satu-satunya milik
kalian saat ini hanyalah kejujuran dan kesabaran. Hanya itu yang dapat kalian
andalkan. Musuh dengan jumlah pasukan yang besar dan persenjataan yang lengkap
telah siap menyongsong kalian. Sementara senjata kalian hanyalah pedang. Kalian
akan terbantu jika kalian berhasil merebut senjata dan perlengkapan musuh kalian.
Karena itu, secepatnya kalian harus bisa melumpuhkan mereka. Sebab kalau tidak,
kalian akan menemukan kesulitan besar. Itulah sebabnya kalian harus lebih
dahulu menyerang mereka agar kekuatan mereka lumpuh. Dengan demikian semangat
juang kita akan bangkit.
Musuh kalian itu sudah bertekad bulat akan
mempertahankan negeri mereka sampai titik darah penghabisan. Kenapa kita juga
tidak bertekad bulat untuk menyerang mereka hingga mati syahid? Saya sama
sekali tidka bermaksud menakut-nakuti kalian. Tetapi marilah kita galang rasa
saling percaya di antara kita dan kita galang keberanian yang merupakan salah
satu modal utama perjuangan kita.
Kita harus bahu membahu. Sesungguhnya saya tahu kalian
telah membulatkan tekad serta semangat sebagai pejuang-pejuang agama dan
bangsa. Untuk itu kelak kalian akan menikmati kesenangan hidup, di samping itu
kalian juga memperoleh balasan pahala yang agung dari Allah SWT. Hal itu karena
kalian telah mau menegakkan kalimat-Nya dan membela agama-Nya.
Percayalah, sesungguhnya Allah SWT. adalah penolong
utama kalian. Dan sayalah orang pertama yang akan memenuhi seruan ini di
hadapan kalian. Saya akan hadapi sendiri Raja Roderick yang sombong itu.
Mudah-mudahan saya bisa membunuhnya. Namun, jika ada kesempatan, kalian boleh
saja membunuhnya mendahului saya. Sebab dengan membunuh penguasa lalim itu,
negeri ini dengan mudah kita kuasai. Saya yakin, para pasukannya akan
ketakutan. Dengan demikian, negeri ini akan ada di bawah bendera Islam.”
Mendengar pasukan Thariq telah mendarat, Raja Roderick
mempersiapkan 100.000 tentara dengan persenjataan lengkap. Ia memimpin langsung
pasukannya itu. Musa bin Nusair mengirim bantuan kepada Thariq hanya dengan
5.000 orang. Sehingga total pasukan Thariq hanya 12.000 orang.
Ahad, 28 Ramadhan 92 H atau 19 Juli 711 M, kedua pasukan
bertemu dan bertempur di muara Sungai Barbate. Pasukan Muslimin yang kalah
banyak terdesak. Julian dan beberapa orang anak buahnya menyusup ke kubu
Roderick. Ia menyebarkan kabar bahwa pasukan Muslimin datang bukan untuk menjajah,
tetapi hanya untuk menghentikan kezaliman Roderick. Jika Roderick terbunuh,
peperangan akan dihentikan.
Usaha Julian berhasil. Sebagian pasukan Roderick menarik
diri dan meninggalkan medan pertempuran. Akibatnya barisan tentara Roderick
kacau. Thariq memanfatkan situasi itu dan berhasil membunuh Roderick dengan
tangannya sendiri. Mayat Roderick tengelam lalu hanyut dibawa arus Sungai
Barbate.
Terbunuhnya Roderick mematahkan semangat pasukan
Spanyol. Markas pertahanan mereka dengan mudah dikuasai. Keberhasilan ini
disambut gembira Musa bin Nusair. Baginya ini adalah awal yang baik bagi
penaklukan seluruh Spanyol dan negara-negara Eropa.
Setahun kemudian, Rabu, 16 Ramadhan 93 H, Musa bin
Nusair bertolak membawa 10.000 pasukan menyusul Thariq. Dalam perjalanan ia
berhasil menaklukkan Merida, Sionia, dan Sevilla. Sementara pasukan Thariq
membagi pasukannya untuk menaklukkan Cordova, Granada, dan Malaga. Ia sendiri
membawa sebagian pasukannya menaklukkan Toledo, ibukota Spantol saat itu. Semua
ditaklukkan tanpa perlawanan.
Pasukan Musa dan pasukan Thariq bertemu di Toledo.
Keduanya bergabung untuk menaklukkan Ecija. Setelah itu mereka bergerak menuju
wilayah Pyrenies, Perancis. Hanya dalam waktu 2 tahun, seluruh daratan Spanyol
berhasil dikuasai. Beberapa tahun kemudian Portugis mereka taklukkan dan mereka
ganti namanya dengan Al-Gharb (Barat).
Sungguh itu keberhasilan yang luar biasa. Musa bin
Nusair dan Thariq bin Ziyad berencana membawa pasukannya terus ke utara untuk
menaklukkan seluruh Eropa. Sebab, waktu itu tidak ada kekuatan dari mana pun
yang bisa menghadap mereka. Namun, niat itu tidak tereaslisasi karena Khalifah
Al-Walid bin Abdul Malik memanggil mereka berdua pulang ke Damaskus. Thariq
pulang terlebih dahulu sementara Musa bin Nusair menyusun pemerintahan baru di
Spanyol.
Setelah bertemu Khalifah, Thariq bin Ziyad ditakdirkan
Allah SWT. tidak kembali ke Eropa. Ia sakit dan menghembuskan nafas. Thariq bin
Ziyad telah menorehkan namanya di lembar sejarah sebagai putra asli Afrika
Utara Muslim yang menaklukkan daratan Eropah.
Asy-Syahid Abdullah Azzam
Dr. Abdullah Yusuf Azzam (1941–1989), dikenal dengan
nama Syekh Azzam, adalah seorang tokoh utama dalam perkembangan pergerakan
Islam. "Ratusan tulisan dan pidatonya mampu menghidupkan ruh baru dalam
diri ummat. Seolah-olah beliau dipilih Allah SWT untuk menegakkan kembali
kewajiban yang telah dilupakan sebagian besar ummat Islam, yaitu jihad."
Demikian komentar DR. Dahba Zahely, cendekiawan Muslim Malaysia tentang DR
Abdullah Azzam. Komentar senada juga datang dari cendekiawan dan ulama dari
berbagai negara.
Seorang tokoh pejuang Islam
menghadap Allah SWT dengan begitu indahnya. Hampir setiap Muslim yang
memperhatikan kondisi dunia Islam di tahun 80-an pasti mengenal nama dan sosok
Abdullah Azzam dengan baik. Dia adalah simbol jihad Afganistan saat mengusir
pasukan beruang merah Rusia. Dan kini, hampir 18 tahun berlalu, namanya masih
lekat dikenang dalam hati para pejuang Islam di dunia.
Meski, label gembong teroris juga
dikaitkan dengan namanya, namun siapapun yang mengetahui kondisi perjuangan
jihad Afganistan ketika itu, tak pernah terbetik sedikitpun bahwa Abdullah
Azzam adalah seorang teroris. Bahkan sebaliknya, ia adalah pejuang sejati yang
begitu tinggi kasih sayangnya kepada kaum Muslimin.
Beberapa waktu lalu, sejumlah tokoh
mengingatkan tentang peringatan syahidnya tokoh jihad Afganistan itu. Salah
seorang muridnya yang kini tinggal di Mesir, bercerita tentang Abdullah Azzam,
saat beliau sedang melakukan perkemahan. Pada suatu acara semua yang mengikuti
mukhayyam itu diperintahkan oleh komandan lapangan.
“Kalian berlarilah mengelilingi
lapangan ini sebanyak yang kalian bisa,” ujar komandan lapangan. Semua peserta
perkemahan berlari. Namun setelah beberapa putaran, sudah ada yang menyerah,
dan mereka yang menyerah beralasan bahwa “Allah tidak akan membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya (2: 286), inilah yang saya mampu,”
Begitu pula orang-orang yang menyerah
selanjutnya, mereka selalu beralasan dengan ayat ke 286 di surat Al-Baqarah
tersebut, dan yang sisa pun semakin banyak yang menyerah, sampai tinggal
Abdullah Azzam sendiri, beliau terus berlari mengelilingi lapangan tersebut,
sampai akhirnya beliau pingsan.
Dan setelah sadar beliau ditanya
oleh komandan lapangan “Mengapa Anda berlari sampai pingsan begini, kan sudah
saya bilang bahwa Anda berlari semampu Anda.”
Abdullah Azzam menjawab: “Inilah
yang saya mampu, sesuai yang Anda perintahkan“ Yang dimaksud oleh Abdullah
Azzam adalah makna sebenarnya dari “Allah tidak akan membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya”, bahwa perintah harus dijalankan sampai
tingkat maksimal.
Di sisi lain, upaya apapun harus
dilakukan dengan optimal di batas kemampuan seseorang. Itulah salah satu
pelajaran yang diberikan Abdullah Azzam.
v
Komitmen Kuat Berjihad
Syekh Azzam lahir pada tahun 1941 di desa Asba'ah
Al-Hartiyeh, provinsi Jenin di sebelah barat Sungai Yordan, Utara Palestina yang dikenal sebagai Selat al-Harithia.
Ayahnya bernama Mustafa yang
meninggal dunia setahun selepas pembunuhan anaknya. Ibunya bernama Zakia Saleh
yang meninggal dunia setahun sebelum Sheikh Abdullah Azzam dibunuh. Abdullah
Azzam berasal dari keluarga yang baik latar belakang keagamaannya. Keluarganya
gembira mempunyai anak lelaki, Abdullah Yusuf Azzam, yang sudah terlihat
istimewa di kalangan kanak-kanak lain dan telah aktif berdakwah pada usia yang
muda.
Rekan-rekannya mengenali Azzam
sebagai seorang yang wara dan sangat hati-hati dengan dosa. Ia menunjukkan
tanda-tanda kecemerlangan pada usia muda. Guru-gurunya melihat keistimewaan ini
sejak Azzam masih duduk di bangku sekolah.
Abdullah Azzam masuk dalam
organisasi al-Ikhwanul-Muslimin sebelum mencapai usia baligh. Sheikh Abdullah
Azzam telah dikenal karena ketabahan dan sifatnya yang sungguh-sungguh sejak
kecil. Ia menerima pendidikan awal peringkat sekolah dasar dan menengah di
kampung sebelum meneruskan pendidikan di College Pertanian Khadorri sampai
tingkat Diploma.
Walau merupakan pelajar termuda di
kalangan teman-temannya, Abdullah Azzam adalah murid yang paling cerdas.
Setelah menamatkan pendidikan di College Khadorri ia bekerja sebagai seorang
guru di sebuah kampung bernama Adder di Selatan Jordan.
Kemudian beliau meneruskan
pendidikan di College Syariah di universitas Damaskus sehingga memperoleh
Ijazah BA. dalam Syariah pada 1966. Setelah pihak Yahudi mendudduki Tepi Barat
pada tahun 1967, Abdullah Azzam muda hijrah ke Jordan, karena ia tidak mau
tinggal di bawah penjajahan Yahudi di Palestina.
Pengalaman melihat tank-tank Israel
bergerak masuk ke Tepi Barat tanpa ada hambatan meningkatkan tekadnya untuk
hijrah dan belajar mendapatkan kemampuan untuk perang.
Tahun 1960-an ia ikut dalam Jihad
menentang penjajahan Israel di Palestina dari Jordan. Ketika itu juga ia
menerima Ijazah Master di dalam bidang Shariah dari Unversitas al-Azhar. Pada
tahun 1970 sesudah Jihad terhenti karena kekuatan PLO dipaksa keluar dari
Jordan, Abdullah Azzam menjadi seorang pensyarah di universitas Jordanian di
Amman.
Pada tahun 1971 ia dianugerahi
beasiswa ke Universitas al-Azhar di Kairo sampai ia memperoleh Ijazah doktor di
dalam bidang Ushul Fiqh pada 1973. Ketika di Mesir itulah, ia telah berkenalan
dengan keluarga Sayid Quthb, keluarga tokoh perjuangan Islam di Mesir. Pada
tahun 1979 ia meninggalkan universitas berpindah ke Pakistan untuk ikut serta
dalam Jihad Afganistan.
Di sana ia berkenalan dengan
pemimpin-pemimpin Jihad. Awal kedatangannya di Pakistan, ia dilantik sebagai
pensyarah di universitas Islam internasional di Islamabad. Setelah beberapa
waktu lamanya, kemudian beliau mengambil keputusan untuk berhenti dari tugas
universitas untuk memfokuskan seluruh waktu dan tenaganya kepada Jihad di
Afganistan.
Pada tahun 1980 ia pindah ke Peshawar. Di sana ia
mendirikan Baitul Anshar, sebuah lembaga yang menghimpun bantuan untuk para
mujahid Afghan. Ia juga menerbitkan sebuah media Ummat Islam. Lewat majalah
inilah ia menggedor kesadaran ummat tentang jihad.
Katanya, jihad di Afghan adalah tuntutan Islam dan
menjadi tanggung jawab ummat Islam di seluruh dunia. Seruannya itu tidak
sia-sia. Jihad di Afghan berubah menjadi jihad universal yang diikuti oleh
seluruh ummat Islam di pelosok dunia. Pemuda-pemuda Islam dari seluruh dunia
yang terpanggil oleh fatwa-fatwa Abdullah Azzam, bergabung dengan para
mujahidin Afghan.
Jihad di Afganistan telah menjadikan Abdullah Azzam
sebagai tokoh pergerakan jihad zaman ini. Ia menjadi idola para mujahid muda.
Peranannya mengubah pemikiran ummat Islam akan pentingnya jihad di Afganistan
telah membuahkan hasil yang sangat mengagumkan. Uni Sovyet sebagai negara
Adidaya harus pulang dengan rasa malu, karena tidak berhasil menduduki
Afganistan.
Abdullah Azzam telah berhasil meletakkan pondasi jihad
di hati kaum muslimin. Penghargaannya terhadap jihad sangat besar bagi dirinya.
Isterinya menjadi pengasuh anak-anak yatim dan pekerja sosial di Afganistan.
Komitmen Abdullah Azzam terhadap Islam sangat tinggi.
Jihad sudah menjadi falsafah hidupnya. Sampai akhir hayatnya, ia tetap menolak
tawaran mengajar di beberapa universitas. Ia berjanji terus berjihad sampat
titik darah penghabisan. Mati sebagai mujahid itulah cita-citanya. Wajar kalau
kemudian pada masa hidupnya dialah tokoh rujukan ummat dalam hal jihad.
Fatwa-fatwanya tentang jihad selalu dinanti-nantikan kaum muslimin.
Abdullah Azzam sangat banyak
dipengaruhi oleh Jihad di Afganistan dan Jihad di Afganistan juga sangat banyak
dipengaruhi Abdullah Azzam sejak beliau memfokuskan seluruh waktunya untuk
Jihad. Ia menjadi seorang yang disegani di arena Jihad Afganistan. Ia
menumpahkan seluruh daya usaha untuk menyebarkan dan mengenalkan Jihad di
Afganistan ke seluruh dunia.
Ia mengubah pandangan umat Islam
tentang Jihad di Afganistan dan menyadarkan bahwa Jihad adalah tuntutan Islam
yang menjadi tanggung jawab semua umat Islam di seluruh dunia. Berkat hasil
usahanya, Jihad Afghan menjadi Jihad universal yang diikuti oleh umat Islam
dari berbagai pelosok dunia. Abdullah Azzam bahkan menjadi idola generasi muda
yang menyahut seruan Jihad.
Pernah ia berkata, "Aku rasa
seperti baru berusia 9 tahun, 7 setengah tahun di Jihad Afghan, satu setengah
tahun di Jihad Palestina dan tahun-tahun yang selebihnya tidak bernilai
apa-apa." Ia juga melatih keluarganya dengan pemahaman dan semangat yang
sama. Isterinya terlibat dengan kegiatan penjagaan anak-anak yatim di
Afganistán. Ia sendiri menolak tawaran pekerjaan sebagai pensyarah dari
beberapa buah universitas sambil berikrar bahwa ia tidak akan meninggalkan
Jihad sehingga gugur syahid.
Ia juga selalu mengatakan bahwa
tujuan utama dan cita-citanya adalah untuk membebaskan Palestina.
v
Terbunuh Saat Hendak Shalat Jumat
Tentu saja komitmen yang begitu
tinggi pada Islam menimbulkan keresahan di kalangan musuh-musuh Islam. Mereka
bersekongkol untuk membunuh beliau.
Pada tahun 1989, sebuah bom
diletakkan di bawah mimbar yang ia gunakan untuk menyampaikan khutbah Jumat.
Bahan letupan itu sangat berbahaya dan ledakannya akan memusnahkan masjid
tersebut bersama dengan semua benda dan jamaah di dalamnya. Tetapi dengan perlindungan Allah, bom tersebut
tidak meledak dan ratusan orang Islam selamat. Musuh-musuh Islam terus berupaya
membunuh Abdullah Azzam.
Pada hari Jum’at, 24 November 1989
di Peshawar, Pakistan, mereka telah menanam tiga buah bom di jalan yang sempit.
Abdullah Azzam meletakkan keretanya di posisi bom pertama dan kemudian berjalan
ke masjid untuk shalat Jum’at.
Bom pun meledak dan Abdullah Azzam
gugur bersama dengan dua orang anak lelakinya, Muhammad dan Ibrahim, beserta
dengan anak lelaki almarhum Sheikh Tamim Adnani (pejuang di Afghan). Ledakan
bom seberat 20 kg TNT dilakukan dengan alat kontrol jarak jauh. Setelah ledakan
kuat itu itu orang-orang keluar dari masjid dan melihat keadaan yang
mengerikan. Hanya bahagian kecil dari mobil tersebut yang kelihatan. Anak
Abdullah Azzam, Ibrahim, terpental 100 meter; begitu juga dengan dua orang
anak-anak lagi.
Serpihan mayat mereka bertaburan di
atas kabel-kabel listrik. Tubuh Abdullah Azzam ditemukan bersandar pada sebuah
tembok, dalam keadaan sempurna dan tiada luka atau cedera kecuali sedikit darah
yang mengalir dari bibirnya. Seperti itulah akhir kehidupan seorang Mujahid di
dunia ini dan insya Allah kehidupannya akan terus berlanjut di sisi Allah SWT.
.Abdullah Azzam dikebumikan di Tanah Perkuburan
Syuhada Pabi di mana beliau menyertai ribuan para syuhada.
Pedang Allah, Khalid bin Walid
Khalid ibn al-Walid (584 - 642),
atau sering disingkat Khalid bin Walid, adalah seorang panglima perang yang
termahsyur dan ditakuti di medan perang serta dijuluki sebagai "pedang
Allah yang terhunus". Dia adalah salah satu dari panglima-panglima perang
penting yang tidak terkalahkan sepanjang karirnya.
Khalid dilahirkan kira-kira 17 tahun sebelum masa
pembangunan Islam. Dia anggota suku Banu Makhzum, suatu cabang dari suku
Quraisy. Ayahnya bernama Walid dan ibunya Lababah. Khalid termasuk di antara
keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah, bibi dari Khalid, adalah isteri
Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara
sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini main
adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan melalui suatu
perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.
Awalnya, Khalid bin Walid adalah panglima perang kaum
kafir Quraisy yang terkenal dengan pasukan kavalerinya. Pada saat Pertempuran
Uhud, Khalid-lah yang melihat celah kelemahan pasukan Muslimin yang menjadi
lemah setelah bernafsu mengambil rampasan perang dan turun dari Bukit Uhud dan
menghajar pasukan Muslim pada saat itu. Tetapi setelah perang itulah Khalid
mulai masuk Islam.
Ayah Khalid yang bernama Walid bin Mughirah dari Bani
Makhzum, adalah salah seorang pemimpin yang paling berkuasa diantara
orang-orang Quraisy. Dia sangat kaya. Dia menghormati Ka'bah dengan perasaan
yang sangat mendalam. Sekali dua tahun dialah yang menyediakan kain penutup
Ka'bah. Pada masa ibadah Haji dia memberi makan dengan cuma-cuma bagi semua
orang yang datang berkumpul di Mina.
Ketika orang Quraisy memperbaiki Ka'bah tidak seorang
pun yang berani meruntuhkan dinding-dindingnya yang tua itu. Semua orang takut
kalau-kalau jatuh dan mati. Melihat suasana begini Walid maju ke depan dengan
bersenjatakan sekop sambil berteriak, "Oh, Tuhan jangan marah kepada kami.
Kami berniat baik terhadap rumah-Mu".
Nabi mengharapkan dengan sepenuh hati, agar Walid masuk
Islam. Harapan ini timbul karena Walid seorang kesatria yang berani di mata
rakyat. Karena itu dia dikagumi dan dihormati oleh orang banyak. Jika dia telah
masuk Islam ratusan orang akan mengikutinya.
Dalam hati kecilnya Walid merasa, bahwa Al Qur-'an itu
adalah kalimat-kalimat Allah. Dia pernah mengatakan secara jujur dan
terang-terangan, bahwa dia tidak bisa berpisah dari keindahan dan kekuatan
ayat-ayat suci itu.
Suku Banu Makhzum mempunyai tugas-tugas penting. Jika
terjadi peperangan, Banu Muhzum lah yang mengurus gudang senjata dan gudang
tenaga tempur. Suku inilah yang mengumpulkan kuda dan senjata bagi prajurit-prajurit.
Tidak ada cabang suku Quraisy lain yang bisa lebih
dibanggakan seperti Banu Makhzum. Ketika diadakan kepungan maut terhadap
orang-orang Islam di lembah Abu Thalib, orang-orang Banu Makhzumlah yang
pertama kali mengangkat suaranya menentang pengepungan itu.
v
Latihan Pertama
Kita tidak banyak mengetahui mengenai Khalid pada masa
kanak-kanaknya. Tetapi satu hal kita tahu dengan pasti, ayah Khalid orang
berada. Dia mempunyai kebun buah-buahan yang membentang dari kota Mekah sampai
ke Taif. Kekayaan ayahnya ini membuat Khalid bebas dari kewajiban-kewajibannya.
Dia lebih leluasa dan tidak usah belajar berdagang. Dia
tidak usah bekerja untuk menambah pencaharian orang tuanya. Kehidupan tanpa
suatu ikatan memberi kesempatan kepada Khalid mengikuti kegemarannya.
Kegemarannya ialah adu tinju dan berkelahi.
Saat itu pekerjaan dalam seni peperangan dianggap
sebagai tanda seorang Satria. Panglima perang berarti pemimpin besar.
Kepahlawanan adalah satu hal terhormat di mata rakyat.
Ayah Khalid dan beberapa orang pamannya adalah
orang-orang yang terpandang di mata rakyat. Hal ini memberikan dorongan keras
kepada Khalid untuk mendapatkan kedudukan terhormat, seperti ayah dan
paman-pamanya. Satu-satunya permintaan Khalid ialah agar menjadi orang yang
dapat mengatasi teman-temannya di dalam hal adu tenaga. Sebab itulah dia
menceburkan dirinya ke dalam seni peperangan dan seni bela diri. Malah
mempelajari keahlian mengendarai kuda, memainkan pedang dan memanah. Dia juga
mencurahkan perhatiannya ke dalam hal memimpin angkatan perang. Bakat-bakatnya
yang asli, ditambah dengan latihan yang keras, telah membina Khalid menjadi
seorang yang luar biasa. Kemahiran dan keberaniannya mengagumkan setiap orang.
Pandangan yang ditunjukkannya mengenai taktik perang
menakjubkan setiap orang. Dengan gamblang orang dapat melihat, bahwa dia akan
menjadi ahli dalam seni kemiliteran. Dari masa kanak-kanaknya dia memberikan
harapan untuk menjadi ahli militer yang luar biasa jenialnya.
v
Menentang Islam
Pada masa kanak-kanaknya Khalid telah kelihatan menonjol
di antara teman-temannya. Dia telah sanggup merebut tempat istimewa dalam hati
rakyat. Lama kelamaan Khalid menanjak menjadi pemimpin suku Quraisy. Pada waktu
itu orang-orang Quraisy sedang memusuhi Islam. Mereka sangat anti dan memusuhi
agama Islam dan penganut-penganut Islam.
Kepercayaan baru itu menjadi bahaya bagi kepercayaan dan
adat istiadat orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy sangat mencintai adat
kebiasaannya. Sebab itu mereka mengangkat senjata untuk menggempur orang-orang
Islam. Tunas Islam harus dihancurkan sebelum tumbuh berurat-berakar. Khalid
sebagai pemuda Quraisy yang berani dan bersemangat berdiri di garis paling
depan dalam penggempuran terhadap kepercayaan baru ini. Hal ini sudah wajar dan
seirama dengan kehendak alam.
Sejak kecil pemuda Khalid bertekad menjadi pahlawan
Quraisy. Kesempatan ini diperolehnya dalam pertentangan-pertentangan dengan
orang-orang Islam. Untuk membuktikan bakat dan kecakapannya ini, dia harus
menonjolkan dirinya dalam segala pertempuran. Dia harus memperlihatkan kepada
sukunya kualitasnya sebagai jago berkelai.
v
Peristiwa Uhud
Kekalahan kaum Quraisy di dalam perang Badar membuat
mereka jadi kegila-gilaan, karena penyesalan dan panas hati. Mereka merasa
terhina. Rasa sombong dan kebanggaan mereka sebagai suku Quraisy telah meluncur
masuk lumpur kehinaan Arang telah tercoreng di muka orang-orang Quraisy. Mereka
seolah-olah tidak bisa lagi mengangkat dirinya dari lumpur kehinaan ini. Dengan
segera mereka membuat persiapan-persiapan untuk membalas pengalaman pahit yang
terjadi di Badar.
Sebagai pemuda Quraisy, Khalid bin Walid pun ikut
merasakan pahit getirnya kekalahan itu. Sebab itu dia ingin membalas dendam
sukunya dalam peperangan Uhud. Khalid dengan pasukannya bergerak ke Uhud dengan
satu tekad menang atau mati. Orang-orang Islam dalam pertempuran Uhud ini
mengambil posisi dengan membelakangi bukit Uhud.
Sungguhpun kedudukan pertahanan baik, masih terdapat
suatu kekhawatiran. Di bukit Uhud masih ada suatu tanah genting, dimana tentara
Quraisy dapat menyerbu masuk pertahanan Islam. Untuk menjaga tanah genting ini,
Nabi menempatkan 50 orang pemanah terbaik. Nabi memerintahkan kepada mereka
agar bertahan mati-matian. Dalam keadaan bagaimana jua pun jangan sampai
meninggalkan pos masing-masing.
Khalid bin Walid memimpin sayap kanan tentara Quraisy
empat kali lebih besar jumlahnya dari pasukan Islam. Tetapi mereka jadi
ragu-ragu mengingat kekalahan-kekalahan yang telah mereka alami di Badar.
Karena kekalahan ini hati mereka menjadi kecil menghadapi keberanian
orang-orang Islam.
Sungguh pun begitu pasukan-pasukan Quraisy memulai
pertempuran dengan baik. Tetapi setelah orang-orang Islam mulai mendobrak
pertahanan mereka, mereka telah gagal untuk mempertahankan tanah yang mereka
injak.
Kekuatannya menjadi terpecah-pecah. Mereka lari
cerai-berai. Peristiwa Badar berulang kembali di Uhud. Saat-saat kritis sedang
mengancam orang-orang Quraisy. Tetapi Khalid bin Walid tidak goncang dan
sarafnya tetap membaja. Dia mengumpulkan kembali anak buahnya dan mencari
kesempatan baik guna melakukan pukulan yang menentukan.
Melihat orang-orang Quraisy cerai-berai, pemanah-pemanah
yang bertugas di tanah genting tidak tahan hati. Pasukan Islam tertarik oleh
harta perang, harta yang ada pada mayat-mayat orang-orang Quraisy. Tanpa pikir
panjang akan akibatnya, sebagian besar pemanah-pemanah, penjaga tanah genting
meninggalkan posnya dan menyerbu ke lapangan.
Pertahanan tanah genting menjadi kosong. Khalid bin
Walid dengan segera melihat kesempatan baik ini. Dia menyerbu ke tanah genting
dan mendesak masuk. Beberapa orang pemanah yang masih tinggal dikeroyok
bersama-sama. Tanah genting dikuasai oleh pasukan Khalid dan mereka menjadi
leluasa untuk menggempur pasukan Islam dari belakang.
Dengan kecepatan yang tak ada taranya Khalid masuk dari
garis belakang dan menggempur orang Islam di pusat pertahanannya. Melihat
Khalid telah masuk melalui tanah genting, orang-orang Quraisy yang telah lari
cerai-berai berkumpul kembali dan mengikuti jejak Khalid menyerbu dari
belakang. Pemenang-pemenang antara beberapa menit yang lalu, sekarang telah
terkepung lagi dari segenap penjuru, dan situasi mereka menjadi gawat.
Khalid bin Walid telah mengubah kemenangan orang Islam
di Uhud menjadi suatu kehancuran. Mestinya orang-orang Quraisylah yang kalah
dan cerai-berai. Tetapi karena gemilangnya Khalid sebagai ahli siasat perang,
kekalahan-kekalahan telah disulapnya menjadi satu kemenangan. Dia menemukan
lobang-lobang kelemahan pertahanan orang Islam.
Hanya pahlawan Khalidlah yang dapat mencari saat-saat
kelemahan lawannya. Dan dia pula yang sanggup menarik kembali tentara yang
telah cerai-berai dan memaksanya untuk bertempur lagi. Seni perangnya yang luar
biasa inilah yang mengungkap kekalahan Uhud menjadi suatu kemenangan bagi orang
Quraisy.
Khalid bin
Walid sangat termashur sebagai panglima Tentara Kaum Kafir Quraisy yang tak
terkalahkan. Baju kebesarannya berkancingkan emas dan mahkota di kepalanya
bertahtahkan berlian. Begitu gagah dan perkasanya Khalid baik di medan perang
maupun ahli dalam menyusun strategi perang. Pada Perang Uhud melawan tentara
Muslimin, tentera yang dipimpin Rasulullah banyak yang mati sebagai syuhada di
tangan Khalid bin Walid. Dengan Suara lantang di atas perbukitan Khalid bin
Walid berkata: “Hai Muhammad, kami sudah menang, kamu telah kalah dalam
peperangan ini. Lihatlah pamanmu Hamzah yang tewas tercabik cabik tubuhnya dan
lihatlah pasukanmu yang telah porak poranda”.
Rasulullah
menjawab: “Tidak aku yang menang dan engkau yang kalah, Khalid. Mereka yang
gugur adalah syahid, sebenarnya mereka tidak mati wahai Khalid mereka hidup di
sisi Allah SWT penuh dengan kemuliaan dan kenikmatan, mereka telah berhasil
pindah alam dari dunia menuju akherat menuju surga Allah karena membela Agama
Allah gugur sebagai syuhada akan tetapi matinya tentaramu, matinya sebagai
Kafir dan dimasukkan ke Neraka Jahannam. Setelah itu Khalid memerintahkan
pasukannya untuk kembali, sejak itu Khalid termenung terngiang selalu akan kata
kata Nabi Muhammad dan penasaran akan sosok Muhammad.
Maka Khalid
mengutus mata-mata (intel) untuk memantau dan mengamati aktivitas Muhammad Saw
setelah perang Uhud tersebut. Setelah cukup lama memata-matai Rasulullah,
akhirnya utusan Khalid melaporkan hasil pengamatan tersebut, kata utusan
tersebut”
Aku mendengar
semangat juang yang dikemukakan Muhammad kepada para pasukannya.
“Aku heran
kepada seorang panglima Khalid bin Walid yang gagah perkasa dan cerdas, tapi
kenapa dia tidak paham dengan agama allah yang aku bawa, sekiranya Khalid bin
Walid tahu dan paham dengan Agama yang aku bawa, dia akan berjuang bersamaku.
Khalid akan aku jadikan juru rundingku yang duduk bersanding di sampingku. Kata
kata mutiara tersebut disampaikan mata-mata Khalid bin Walid di Mekkah kepada
panglimanya.
Mendengar
laporan intel tersebut semakin membuatnya risau, yang akhirnya Khalid
memutuskan untuk bertemu Muhammad dengan menyamar dan menggunakan Topeng
menutup wajahnya hingga tidak di kenali oleh siapapapun. Khalid berangkat
seorang diri dengan menunggang Kuda dan menggunakan baju kebesarnnya yang
berhias emas serta mahkota bertahta berlian namun wajahnya ditutupi Topeng.
Di tengah
perjalanan Khalid bertemu dengan Bilal yang sedang bedakwah kepada para petani.
Dengan Diam-diam Khalid mendengarkan dan menyimak apa yang di sampaikan oleh
Bilal yang membacakan surat al-Hujurat (QS 49:13) yang artinya “Hai manusia
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku suku supaya kamu saling mengenal
dengan baik. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
adalah orang-orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal”
Khalid
terperangah, bagaimana mungkin Bilal yang kuketahui sebagai Budak hitam dan
buta huruf bisa berbicara seindah dan sehebat itu. Tentu itu benar perkataan
dan Firman Allah. Namun gerak gerik mencurigakan Khalid bin walid diketahui Ali
bin Abi Thalib. Dengan lantang Ali berkata ”Hai penunggang Kuda, bukalah
topengmu agar aku bisa mengenalimu, bila niatmu baik aku akan layani dengan
baik, dan bila niatmu buruk aku akan layani pula dengan buruk” Kata Ali bin Abi
Thalib.
Setelah itu
dibukalah Topeng tampaklah wajah Khalid bin Walid seorang Panglima besar kaum
Kafir Quraisy yang berjaya di perang Uhud. Dengan tatapan mata yang penuh
karismatik Khalid berkata” Aku kemari punya niat baik untuk bertemu Muhammad
dan menyatakan diriku masuk Islam” Kata Khalid bin Walid.
Wajah Ali yang
sempat tegang berubah menjadi berseri-seri, “Tunggulah kau di sini, Khalid!,
saya akan sampaikan berita gembira ini kepada Rasulullah Saw” Kata Ali bi Abi
Thalib.
Bergegas Ali
menemui Rasulullah dan menyampaikan maksud kedatangan Khalid bin Walid sang
panglima perang .
Mendengar
berita yang disampaikan Ali, wajah Rasulullah berseri-seri, lalu mengambil
serban hijau miliknya, kemudian dibentangkan di tanah sebagai tanda
penghormatan kepada Khalid bin walid yang akan datang menemuinya. Lalu
Rasulullah menyuruh Ali menjemput Khalid untuk menemuinya. Begitu Khalid
dating, Rasulullah langsung memeluknya.” Ya Rasulullah, Islamkan saya.” Kata
Khalid bin Walid.
Lalu
Rasulullah mengajarkan kalimat syahadat kepada Khalid. Dengan begitu, Khalid
bin Walid telah memeluk agama Islam. Begitu selesai membaca syahadat, Khalid
bin Walid menanggalkan mahkotanya yang bertahtahkan intan diserahkan kepada
Rasulullah. Begitu pula dengan bajunya yang berkancingkan emas diserahkan juga
kepada beliau. Namun begitu Khalid bin Walid akan mencopot pedangnya dan
menyerahkannya kepada Rasulullah, Baginda melarangnya ”Jangan kau lepaskan
pedang itu Khalid, karena dengan pedang itu nanti kamu akan berjuang membela
agama Allah bersamaku” Kata Rasulullah.
Selanjutnya,
Nabi memberi gelar pedang tersebut dengan nama “Syaifullah yang artinya “Pedang
Allah yang terhunus.” Setelah bergabungnya Khalid bin Walid ke dalam Islam,
bertambah kuatlah pasukan Muslim hingga bisa menaklukan kota Mekkah. Pasukan
Kafir Quraiys secara drastis melemah bagaikan ayam kehilangan induknya.
Islamnya Khalid bin Walid amat membahagiakan Rasulullah,
karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat digunakan untuk membela
Islam dan meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak
kesempatan peperangan Islam Khalid bin Walid diangkat menjadi komandan perang
dan menunjukan hasil gemilang atas segala upaya jihadnya.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Khalid diamanahkan
untuk memperluas wilayah Islam dan membuat kalang kabut pasukan Romawi dan
Persia. Pada tahun 636, pasukan Arab yang dipimpin Khalid berhasil menguasai
Suriah dan Palestina dalam Pertempuran Yarmuk, menandai dimulainya penyebaran
Islam yang cepat di luar Arab.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Khalid
diberhentikan tugasnya dari medan perang dan diberi tugas untuk menjadi duta
besar. Hal ini dilakukan oleh Umar agar Khalid tidak terlalu didewakan oleh
kaum Muslimin pada masa itu.
Penjara Suci As Surur, 07/03/12.
heeeeeeemmm maseh seperti kemaren,, oya tulisan yang panjang bagus, tapi singkat padat jelas tentunya lebih bagus lagipula visitor kan suka yang simpel2,,, terus berkarya pak...
BalasHapusSadar mas bro... yang kuasa hanya allah atas semua nikmat yang anda dapatkan.tidak satu makhlukpun yang punya kuasa berikan pertolongan.apa lagi beri rezeki... hanya allah yang maha kaya apa yang ada di langit dan di bumi.. bukan mbah yang anda maksud... istifar sebelum anda syirik....
BalasHapus