Manusia terbagi dalam dua golongan utama, yakni
manusia yang telah bersyahadat dan manusia yang tidak mau bersyahadat.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan
(ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa
saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu
seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan
sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah
kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka
menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para
nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu“. ( QS Ali Imran [3]:81 )
Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata: ‘Setiap
kali Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam
sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah subhanahu wa ta’ala
menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Rasulallah shallallahu alaihi
wasallam. diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji
setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama’.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ataukah
kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq,
Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?”
Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah
yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah
yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa
yang kamu kerjakan. (QS Al Baqarah [2]:140 )
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah
mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan
tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan
masuklah dia ke dalam neraka.”
Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah
dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar,
dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’
Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum
Nasrani.“
Firman Allah ta’ala yang artinya,
Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, kamu tidak
dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat,
Injil, dan Al Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu“. (QS Al
Maa’idah [5]:68 )
“Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka..” (QS.Ali Imran [3] : 110)
Manusia yang telah bersyahadat adalah bersaudara
dan saling mencintai di antara mereka.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah Terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat” ( Qs. Al-Hujjarat :10)
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk
surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian
saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi,
mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota
tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut
merasakan sakitnya).” (HR Bukhari 5552) (HR Muslim 4685)
Jika manusia telah bersyahadat sidqan min qalbihi
(benar-benar keluar dari kalbu) maka mereka akan mengikuti sunnah Rasulullah
untuk tidak mencela, menghujat, memperolok-olok, merendahkan atau
membunuh manusia yang telah bersyahadat tanpa alasan yang dibenarkan oleh
syariat Islam sebagaimana contohnya yang telah dilakukan oleh sebuah “sekte berdarah”
yang diuraikan dalam tulisan pada Klik disini atau pada Klik disini
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”.
(HR Muslim).
Jika manusia tidak bersyahadat maka mereka akan
mempunyai rasa permusuhan dengan manusia yang telah bersyahadat.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-orang
yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang
Yahudi dan orang-orang Musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 )
Kaum Yahudi telah mensesatkan kaum Nasrani dengan
bertindak sebagai “pengikut Rasul” sehingga kaum Nasrani berkeyakinan bahwa
tuhan mereka bertempat di surga dan dekat dengan manusia adalah putera Tuhan
dalam satu kesatuan.
Mereka salah satunya adalah Paulus (Yahudi
dari Tarsus), pengikut Rasul setelah “bertobat” ,
yang mengubah esensi dasar kekristenan. Paulus dijadikan seorang Santo (orang
suci) oleh seluruh gereja yang menghargai santo, termasuk Katolik Roma,
Ortodoks Timur, dan Anglikan, dan beberapa denominasi Lutheran. Dia berbuat
banyak untuk kemajuan Kristen di antara para orang-orang bukan Yahudi, dan
dianggap sebagai salah satu sumber utama dari doktrin awal Gereja, dan
merupakan pendiri kekristenan bercorak Paulin (bercorak Paulus). Surat-suratnya
menjadi bagian penting Perjanjian Baru. Banyak yang berpendapat bahwa
Paulus memainkan peranan penting dalam menjadikan Kristen sebagai agama yang
berdiri sendiri alias “agama turunan”, dan bukan sebagai sekte dari Yudaisme.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya
(agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah
Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul
itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka
(masing-masing).” (QS Al Mu’minun [23] : 52-53)
Kaum Yahudi, pada zaman Rasulullah berusaha untuk
mengadu domba manusia yang telah bersyahadat sehingga timbul perselisihan
sebagaimana kisah suku Aus dan Khajraj.
Pada masa Jahiliyah kedua suku tersebut saling
bermusuhan dan berperang selama 120 tahun. Setelah mereka memeluk Islam Allah
menyatukan hati mereka sehingga mereka menjadi bersaudara dan saling
menyayangi.
Ketika orang-orang Aus dan Khajraj sedang
berkumpul dalam satu majlis, kemudian ada seorang Yahudi yang melalui mereka,
lalu ia mengungkit-ungkit permusuhan dan peperangan mereka pada bani
Bu’ats. Maka permusuhan diantara kedua suku tersebut mulai memanas
kembali, kemarahan mulai timbul, sebagian mencerca sebagian lain dan keduanya
saling mengangkat senjata, lalu ketegangan tersebut disampaikan kepada Nabi
shallallahu alaihi wa salam.
Kemudian Beliau mendatangi mereka untuk
menenangkan dan melunakkan hati mereka, seraya bersabda: “Apakah dengan
panggilan-panggilan jahiliyah, sedang aku masih berada di tengah-tengah
kalian?.” Lalu beliau membacakan Ali Imron ayat 103 yang artinya, ‘Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan
janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua
ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati
kamu maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api
neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan
ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk”. Setelah itu mereka
menyesal atas apa yang telah terjadi dan berdamai kembali seraya
berpeluk-pelukan dan meletakan senjata masing-masing.
Kaum Yahudi , pada masa kini lebih dikenal
sebagai kaum Zionis Yahudi atau juga dikenal dengan lucifier, freemason atau
iluminati adalah mereka yang mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan
pada masa kerajaan Sulaiman.
Telah dijelaskan tentang adanya kaum Zionis
Yahudi dalam firman Allah ta’ala yang artinya “Dan setelah datang kepada
mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada
mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan
kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui
(bahwa itu adalah kitab Allah) dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh
syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa
Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).”
(QS Al Baqarah [2]: 101-102 )
Jadi pada hakikatnya kaum Zionis Yahudi adalah
pengikut syaitan yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla. Kaum Zionis
Yahudi berupaya menjerumuskan manusia kedalam kekufuran.
Salah satu cara fitnah/hasutan atau ghazwul fikri
(perang pemahaman) yang dilakukan oleh kaum Zionis Yahudi agar kaum muslim
terjerumus kedalam kekufuran dan timbulnya perselisihan di anatara sesama
muslim adalah dengan mengangkat kembali pemahaman ala pemahaman ulama Ibnu
Taimiyyah.
Salah satu yang terhasut adalah ulama Muhammad
bin Abdul Wahhab sebagaimana contoh yang diriwayatkan dalam tulisan pada Klik disini
berikut kutipannya
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling
terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau
adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu
Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan
duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan
semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau
dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu
`Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan
Madinah, kemudian beliau berpindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih
lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadith
danmusthalahnya, fiqh dan usul fiqhnya, gramatika (ilmu qawa’id) dan tidak
ketinggalan pula lughatnya semua.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh
seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak
(belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan
ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang
selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan.
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi pengikut
ulama Ibnu Taimiyyah yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak
(belajar sendiri) melalui muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan
akal pikiran sendiri karena ulama Ibnu Taimiyyah telah wafat 350 tahun lebih
ketika masa kehidupan beliau.
Para ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami
Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui
cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri,
kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah
yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah
dengan makhluq Nya
Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) ditimbulkan
dari kesalahpahaman misalkan kesalapahaman tentang bid’ah yang dapat
menjerumuskan kedalam kekufuran sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada Klik disini
atau kesalahpahaman berakibat pengingkaran hadits Rasulullah sebagaimana contoh
yang diuraikan dalam tulisan pada Klik disini
Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah
dengan makhluq Nya berakibat terjerumus kedalam kekufuran.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin
As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia
(ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna
yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain
dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan,
mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam
kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma
Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah
aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal
itu salah satu pangkal kekufuran”.
Begitupula peringatan yang disampaikan oleh
khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata :
“Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali
menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul
Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau
karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka
menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah
Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan
anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab
Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Ulama-ulama terdahulu juga telah memperingatkan
agar menghindari kitab-kitab ulama Ibnu Taimiyyah karena pemahamannya telah
menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang Empat, sebagaimana yang disampaikan
dalam tulisan pada Klik disini
maupun pada Klik disini
Begitu juga ulama-ulama negeri kita telah
memperingatkan kita untuk meninggalkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para
pengikutnya seperti contohnya Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar
Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram,
sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Menurut Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, ulama-ulama seperti ulama Ibnu
Taimiyyah, Ibnu Qoyyim al Jauziah dan Muhammad bin Abdul Wahhab telah keluar
daripada pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah dan dan menyalahi pemahaman para
pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab. Antara
lain tulisannya ialah ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala
Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ dan
lain-lain.
Kaum Zionis menghasut (ghazwul fikri) kaum muslim
agar berijtihad masing-masing terhadap Al Qur’an dan Hadits tanpa
memperdulikan kompetensi, dipergunakanlah semangat ” mendobrak” pintu
ijtihad ala ulama Ibnu Taimiyah walaupun beliau tidak dikenal sebagai
Imam Mujtahid Mutlak.
Ibnu Taimiyah menulis buku Araddu ‘alã
al-Hululiyyah wa al-Ittihadiyyah. Dia ingin membersihkan
pemikiran-pemikiran kaum muslim yang dikatakannya tidak mencerahkan. Dia
kemudian mengembangkan perlunya membuka kembali pintu ijtihad. Selengkapnya
baca tulisan yang berasal dari kaum liberal pada Klik disini
Kaum SEPILIS (Sekulerisme, Pluralisme,
Liberalisme) turut merasa senang dengan upaya Ibnu Taimiyah membuka pintu
ijtihad tanpa mempermasalahkan kompetensi agar mereka dapat menyampaikan
pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dan Hadits dengan sebebas-bebasnya. Mereka
katakan pemahaman menyesuaikan zaman atau peradaban.
Kaum SEPILIS (Sekulerisme, Pluralisme,
Liberalisme) adalah korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan
oleh kaum Zionis Yahudi. Sebagaimana yang telah kami sampaikan pada Klik disini
Dikatakanlah ada urusan agama atau ibadah dan ada
pula “urusan dunia” atau peradaban.
Padahal sebagai hamba Allah maka seluruh sikap
dan perbuatan kita adalah untuk beribadah kepada Allah ta’ala karena itulah
tujuan kita diciptakanNya. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada Klik disini
Firman Allah ta’ala yang artinya “Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS
Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian
menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)
Ibadah terbagi dalam dua kategori yakni amal
ketaatan dan amal kebaikan
Amal ketaatan adalah segala apa yang telah
diwajibkanNya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi meliputi menjalankan
kewajibanNya (ditinggalkan berdosa), menjauhi laranganNya (dikerjakan berdosa)
dan menjauhi apa yang telah diharamkanNya (dikerjakan berdosa)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan
berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa
larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah
mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia;
dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia
tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni,
dihasankan oleh an-Nawawi).
Ibadah dalam perkara amal ketaatan wajib sesuai
dengan apa yang telah dicontohkan/dilakukan oleh Rasulullah. Tidak boleh ada
perkara baru (bid’ah) dalam perkara amal ketaatan.
Ibadah di luar amal ketaatan adalah amal kebaikan
selama tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah
Ibadah dalam perkara amal kebaikan tidak harus
sesuai dengan apa yang telah dicontohkan/dilakukan oleh Rasulullah. Boleh ada
perakara baru (bid’ah) selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As
Sunnah.
Hukum asal amal ketaatan adalah haram/terlarang
selama tidak ada dalil yang menetapkannya
Hukum asal diluar amal ketaatan adalah
mubah/boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya
Kullu bid'atin dholalah
Pengertian kullu ada 3 macam yakni
1. Syay’in artinya setiap satu
2. Ba’din artinya setiap sebagian
3. Jam’in artinya setiap semua.
Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm
Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian
maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat
(bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim
ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi
lima macam.
أن البدع خمسة أقسام
واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam
; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram),
makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi
‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]
Pembagian bid'ah kedalam 5 macam disampaikan pula
oleh Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam dalam kitab “Qawa’idul Ahkam fi Mashalihul
Anam”. Selengkapnya diuraikan dalam tulisan pada Klik disini
Imam Nawawi berkata: “Jika telah dipahami apa
yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits
umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits
serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn
al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan
berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Rasulullah mencontohkan kita untuk menghindari
perkara baru dalam kewajiban (jika ditinggalkan berdosa). Rasulullah
meninggalkan sholat tarawih berjama’ah dalam beberapa malam agar kita tidak
berkeyakinan bahwa sholawat tarawih adalah kewajiban (ditinggalkan berdosa)
selama bulan Ramadhan.
Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila shalat
malam (tarawih) itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari
687). Sumber: Klik disini
Bid’ah hasanah , jika yang melakukan sholat
tarawih berjamaah sebulan penuh berkeyakinan bahwa itu adalah amal kebaikan
selama bulan ramadhan walaupun Rasulullah tidak mencontohkan/melakukannya
sebulan penuh.
Bid’ah dholalah, jika mereka berkeyakinan bahwa
sholat tarawih berjamaah sebulan penuh adalah kewajibanNya atau perintahNya
(ditinggalkan berdosa) karena sholat tarawih sebulan penuh tidak pernah
ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa).
Yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan
berdosa) yang harus dikerjakan sebulan penuh pada bulan Ramadhan adalah
berpuasa.
Bid'ah dholalah adalah perkara baru (bid'ah)
dalam perkara amal keataatan atau dalam perkara agama atau dalam perkara
syariat (syarat sebagai hamba Allah) yakni mengada-ada dalam perkara
kewajibanNya (ditinggalkan berdosa), perkara laranganNya (dikerjakan berdosa)
dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, "di dalam agama itu tidak ada
pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan,
perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke
tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk
Islam– setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang
alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka
(juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah [9] :
31) , kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak
menyembah para pastor dan pendeta itu“. Maka jawab Nabi shallallahu alaihi
wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan
haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram,
kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada
mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Bid’ah dholalah adalah perbuatan syirik karena
penyembahan kepada selain Allah, penyembahan diantara pembuat bid’ah (perkara
baru) dengan pengikutnya.
Bid’ah dholalah adalah perbuatan yang tidak ada
ampunannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
إِنَّ اللهَ حَجَبَ
اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua
ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Oleh karenanya para hakim agama, para mufti atau
mereka yang akan berfatwa dalam perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa),
larangan (dikerjakan berdosa) atau pengharaman (dikerjakan berdosa) wajib
berdasarkan atau turunan dari apa yang telah ditetapkanNya.
Sebaiknyalah berpegang pada pendapat atau
pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab
yang empat sebagaimana yang dicontohkan oleh mufti Mesir Profesor Doktor Ali
Jum`ah sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada Klik disini
Jadi kesalahpahaman tentang bid'ah, justru dapat
menjerumuskan kedalam kekufuran karena menjadi ahi bid'ah yakni mereka
yang mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) sehingga mengubah-ubah apa
yang telah ditetapkanNya (diwajibkanNya) dengan akal pikirannya sendiri.
Ahli bid’ah adalah mereka yang membuat perkara baru atau mengada-ada yang bukan
kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya, tidak
diharamkan menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya dan tidak
dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya.
Contohnya mereka membuat-buat larangan yang tidak
pernah dilarang oleh Allah Azza wa Jalla maupun oleh RasulNya. Mereka membuat
larangan berdasarkan kaidah yang tidak berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah
yakni “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu
mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya). Kesalahpahaman
kaidah ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
Hal yang harus kita ingat selalu bahwa tidak
boleh ada perkara baru dalam amal ketaatan atau dalam perkara syariat atau
dalam perkara agama.
Sedangkan perkara baru diluar amal ketaatan, jika
bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah adalah keburukan atau bid'ah
dholalah sedangkan jika tidak bertentangang dengan Al Qur'an dan As Sunnah maka
termasuk amal kebaikan atau bid'ah hasanah
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah berkata “Apa
yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’
atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang
baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut,
maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya
Jarir bin Abdillah , bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam
pernah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي
اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ
شَيْءٌ
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah
dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang
mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka
sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia
mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut
setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”
Hadits di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim
no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu
Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga
diriwayatkan oleh yang lainnya.
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi
1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan
sayyiah adalah adanya kesesuaian dengan pokok-pokok syar’i atau tidak”.
Sunnah hasanah adalah suri tauladan atau
contoh atau perkara baru yang tidak bertentangan dengan pokok-poko syar’i
(tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah)
Sunnah sayyiah adalah suri tauldan atau
contoh atau perkara baru yang bertentangan dengan pokok-pokok syar’i
(bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah)
Keseimpulannya kenapa dikatakan kullu
bid’atin dholalah atau kebanyakan bid’ah adalah dholalah karena bid’ah
dalam amal ketaatan pasti bid’ah dholalah. Sedangkan bid’ah diluar amal
ketaatan, bisa menjadi bid’ah dholalah jika bertentangan dengan Al Qur’an dan
As Sunnah dan bid’ah hasanah/mahmudah jika tidak bertentangan dengan Al Qur’an
dan As Sunnah.
Dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan
definisi dari bid'ah dholalah dan bid'ah hasanah/mahmudah
Bid'ah dholalah adalah bid'ah (perkara baru)
dalam amal ketaatan dan bid'ah (perkara baru) diluar amal ketaatan yang
bertentangan Al Qur'an dan As Sunnah
Bid'ah hasanah/mahmudah adalah bid'ah (perkara
baru) diluar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As
Sunnah.
Penjara Suci As Surur, 06/03/2012.
la nek kawen ki bidngah pora kang??
BalasHapuskawin di syariatkan.
BalasHapusdalam sebuah ayat diqur'an:"dan gaulilah para isteri isterimu dengan cara yang baik".