Peringatan Maulid Nabi, selama yang
melaksanakannya berkeyakinan sebagai amal kebaikan tidaklah masalah
Yang bermasalah adalah jika yang melaksanakan
Maulid Nabi berkeyakinan sebagai sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan
berdosa karena Allah Azza wa Jalla tidak pernah menetapkannya sebagai kewajiban
Perkara yang ditinggalkan berdosa (kewajiban)
maupun yang dilanggar berdosa (larangan dan pengharaman) adalah hak Allah Azza
wa Jalla menetapkannya
Perkara yang ditinggalkan berdosa (kewajiban)
maupun yang dilanggar berdosa (larangan dan pengharaman) adalah yang disebut
sebagai perkara syariat atau dibeberapa hadits disebut dengan istilah
"urusan agama" atau "urusan kami"
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya agama itu dari Tuhan,
perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa),
maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan
(dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah
mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia;
dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia
tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni,
dihasankan oleh an-Nawawi)
Perkara Syariat atau "urusan agama"
atau "urusan kami" telah sempurna
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan
menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani
dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban
(ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan
perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Jika ulama berfatwa dalam perkara kewajiban
(ditinggalkan berdosa), perkara larangan (dikerjakan berdosa) dan perkara
pengharaman (dikerjakan berdosa) wajib berlandaskan dengan apa yang telah
ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla
Perkara Syariat harus sesuai dengan apa yang
telah dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Dalam perkara syariat berlaku “hukum asal ibadah
adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’atkannya atau menetapkannya”
Perkara baru dalam perkara syariat adalah bid'ah
dholalah
Sedangkan perkara baru (bid'ah) diluar perkara
syariat, jika bertentang dengan Al Qur'an dan As Sunnah adalah termasuk bid'ah
dholalah dan jika tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah adalah
termasuk bid'ah hasanah.
Imam Syafi’i ~rahimahullah berkata “Apa yang baru
terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat,
maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari
kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah
bid’ah mahmudah (terpuji)”
Imam Syafi’i ~rahimahullah berkata
“Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru
yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini
adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan
dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak
tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib
asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
Perkara diluar perkara syariat tidak harus selalu
sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah
Dalam perkara diluar perkara syariat berlaku
"hukum asal segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya”
Para Hafidh (ahli hadits yang hafal 100.000
hadits dan dapat menshahihkan sanad dan matan hadis dan dapat men-ta'dil-kan
dan men-jarh-kan rawinya) menyampaikan pendapat mereka tentang peringatan
Maulid Nabi
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru
imam Nawawi) : “Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah
perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu
alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara,
seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan
membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur
kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.
Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy
rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif : “Telah
diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia
menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu
semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran
Nabi shallallahu alaihi wasallam dan karena Tsuwaibah menyusuinya ” (shahih
Bukhari hadits no.4813). maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun
mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran
Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad
shallallahu alaihi wasallam yang gembira atas kelahiran Nabi shallallahu alaihi
wasallam?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah
sungguh-sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab
anugerah Nya“.
Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al
Halabiyah berkata “tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga,
tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat Islam di seluruh
pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan
memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang
sangat besar”.
Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah dalam
syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah
adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan
karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang
pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita
gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya
serta merayakannya”.
Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam
kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami
berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan
hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
menyampaikan bahwa di masa kemudian akan ada sekte / firqoh yang memerangi
(memusuhi) kaum muslim pada umumnya, mereka membuat-buat larangan-larangan
ataupun kewajiban berdasarkan akal pikirannya sendiri bukan berlandaskan Al
Qur’an dan As Sunnah
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada
peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya:
“Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang
mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam
perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban,
larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman
berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman
berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan
larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Allah Azza wa Jalla berfirman,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka menjadikan para rahib dan pendeta
mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah
mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”
« أما أنهم لم يكونوا
يعبدونهم ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه
»
“Mereka tidak menyembah para rahib dan
pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi
mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu
mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah
bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram
terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian
mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.”
(Riwayat Tarmizi)
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Katakanlah! Siapakah yang berani
mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan
beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal
yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan
durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan
sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa
yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku
ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah
syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,
dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta
mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak
turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
من حلل حراما او حرم
حلالا فقد كفر
“Barangsiapa menghalalkan sesuatu yang haram
atau mengharamkan sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”
Pada zaman sekarang sudah mulai tampak
orang-orang yang melarang menjalankan peringatan Maulid. Mereka mengada-ada
larangan berdasarkan akal pikirannya sendiri. Mereka adalah korban
hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi. Mereka
terhasut memahami Al Qur'an dan As Sunnah dengan akal pikiran mereka sendiri
dan "meninggalkan" pemahaman Imam Mazhab yang empat, pemimpin atau
imam ijtihad kaum muslim pada umumnya yang bertalaqqi (mengaji) langsung dengan
Salafush Sholeh
Salah satu penghasutnya adalah perwira Yahudi
Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab
sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat
Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan
dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf.
Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis
buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.
Andaikan peringatan Maulid Nabi adalah sesat
tentulah Majelis Ulama Indonesia telah menyampaikan fatwanya.
Kita , kaum muslim khususnya di Indonesia telah
menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi turun temurun yang merupakan hasil
pengajaran ulama-ulama keturunan cucu Rasulullah.
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15
februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 telah menjelaskan bahwa umat
Islam khususnya di Indonesia merupakan buah hasil pengajaran ulama-ulama
keturunan cucu Rasulullah dan menyebarluaskan mazhab Imam Sayfi'i
Berikut kutipannya
“Rasulallah
shallallahu alaihi wasallam mempunyai empat anak-anak lelaki yang
semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak
wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau
shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin
Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua
anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat. Sebab
Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari
pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan
Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya
adalah Asyraf. Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan
Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung
Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.
Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran
Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan
kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan
di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan
Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail,
di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh
keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid
Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja
Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun
menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan
mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa
Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri
kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin
Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin
Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka adalah keturunan dari
Al-Husain dari Hadra- maut (Yaman selatan), ada juga yang keturunan Al-Hasan
yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak
sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib.
Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir,
Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang bertugas
mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang
umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib
dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan
Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan
dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut,
dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah saw.
Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”.
Ulama-ulama kita dahulu bersatu dalam mazhab Imam
Syafi'i. KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan KH Hasyim Azhari pendiri NU
memiliki guru yang sama yaitu KH Sholeh Darat. Di Saudi, mereka juga memiliki
guru yang sama, yaitu Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi – ulama kelahiran
Padang yang di masa itu dapat menduduki posisi Imam di Mekah karena ketinggian
ilmunya. Syekh Ahmad Khatib adalah ulama bermazhab Syafi’i.
Namun belakangan ini ada saja kaum muslim
mengikuti pemahaman ulama-ulama yang mengaku mengikuti pemahaman Salafush
Sholeh namun sudah jelas-jelas mereka tidak bertalaqqi (mengaji) dengan
Salafush Sholeh. Darimana mereka mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh kalau
bukan pemahaman mereka sendiri dengan akal pikiran mereka sendiri.
Seharusnya mereka mengetahui apa yang disampaikan
ulama-ulama terdahulu sekitar abad 12 Hijriah seperti
Dari kalangan ulama madzhab al-Maliki, al-Imam
Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah dan
semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain
sebagai berikut:
هَذِهِ اْلآَيَةُ
نَزَلَتْ فِي الْخَوَارِجِ الَّذِيْنَ
يُحَرِّفُوْنَ تَأْوِيْلَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَيَسْتَحِلُّوْنَ بِذَلِكَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ
وَأَمْوَالَهُمْ كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ اْلآَنَ فِيْ نَظَائِرِهِمْ وَهُمْ فِرْقَةٌ بِأَرْضِ الْحِجَازِ يُقَالُ
لَهُمُ الْوَهَّابِيَّةُ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ عَلىَ شَيْءٍ أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ
الْكَاذِبُوْنَ. (حاشية الصاوي على تفسير الجلالين، ٣/٣٠٧).
“Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij,
yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab
itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang
terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang
disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh
sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi
‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307).
Dari kalangan ulama madzhab Hanafi, al-Imam
Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga berkata dalam
kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar sebagai berikut:
“مَطْلَبٌ فِي أَتْبَاعِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ الْخَوَارِجِ فِيْ زَمَانِنَا :كَمَا وَقَعَ
فِيْ زَمَانِنَافِيْ أَتْبَاعِ ابْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ الَّذِيْنَ
خَرَجُوْا مِنْ نَجْدٍ وَتَغَلَّبُوْا عَلَى الْحَرَمَيْنِ وَكَانُوْايَنْتَحِلُوْنَ مَذْهَبَ الْحَنَابِلَةِ لَكِنَّهُمْ اِعْتَقَدُوْا أَنَّهُمْ هُمُ الْمُسْلِمُوْنَ وَأَنَّ مَنْ خَالَفَاعْتِقَادَهُمْ
مُشْرِكُوْنَ وَاسْتَبَاحُوْا بِذَلِكَ قَتْلَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَقَتْلَ عُلَمَائِهِمْ حَتَى
كَسَرَ اللهُشَوْكَتَهُمْ وَخَرَبَ
بِلاَدَهُمْ وَظَفِرَ بِهِمْ عَسَاكِرُ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِيْنَ وَمِائَتَيْنِوَأَلْفٍ.” اهـ
(ابن عابدين، حاشية رد المحتار، ٤/٢٦٢).
“Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul
Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada
pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai
dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini
bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan
mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh
Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka,
merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233
H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal.
262).
Dari kalangan ulama madzhab Hanbali, al-Imam
Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub
al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul
Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:
عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ
سُلَيْمَانَ التَّمِيْمِيُّ النَّجْدِيُّ وَهُوَ وَالِدُ صَاحِبِ الدَّعْوَةِ الَّتِيْ انْتَشَرَشَرَرُهَا
فِي اْلأَفَاقِ لَكِنْ بَيْنَهُمَا تَبَايُنٌ مَعَ أَنَّ مُحَمَّدًا لَمْ يَتَظَاهَرْ بِالدَّعْوَةِ
إِلاَّ بَعْدَمَوْتِ وَالِدِهِ وَأَخْبَرَنِيْ بَعْضُ مَنْ لَقِيْتُهُ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ
عَمَّنْ عَاصَرَ الشَّيْخَ عَبْدَالْوَهَّابِ هَذَا أَنَّهُ كَانَ غَاضِبًا عَلىَ وَلَدِهِ مُحَمَّدٍ لِكَوْنِهِ لَمْ
يَرْضَ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالْفِقْهِكَأَسْلاَفِهِ
وَأَهْلِ جِهَتِهِ وَيَتَفَرَّسُ فِيْه أَنَّهُ يَحْدُثُ مِنْهُ أَمْرٌ .فَكَانَ يَقُوْلُ لِلنَّاسِ: يَا مَا تَرَوْنَ مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ الشَّرِّ
فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَاصَارَ وَكَذَلِكَ ابْنُهُ سُلَيْمَانُ أَخُوْ مُحَمَّدٍ كَانَ مُنَافِيًا لَهُ فِيْ دَعْوَتِهِ وَرَدَّ
عَلَيْهِ رَدًّا جَيِّداًبِاْلآَياَتِ وَاْلآَثاَرِ
وَسَمَّى الشَّيْخُ سُلَيْمَانُ رَدَّهُ عَلَيْهِ ( فَصْلُ الْخِطَابِ فِي الرَّدِّ عَلىَمُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ
الْوَهَّابِ ) وَسَلَّمَهُ
اللهُ مِنْ شَرِّهِ وَمَكْرِهِ مَعَ تِلْكَ
الصَّوْلَةِ الْهَائِلَةِ الَّتِيْأَرْعَبَتِ اْلأَبَاعِدَ فَإِنَّهُ كَانَ إِذَا بَايَنَهُ أَحَدٌ وَرَدَّ
عَلَيْهِ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى قَتْلِهِ مُجَاهَرَةًيُرْسِلُ إِلَيْهِ مَنْ يَغْتَالُهُ فِيْ فِرَاشِهِ
أَوْ فِي السُّوْقِ لَيْلاً لِقَوْلِهِ بِتَكْفِيْرِ مَنْ خَالَفَهُوَاسْتِحْلاَلِ قَتْلِهِ. اهـ (ابن حميد النجدي،
السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi,
adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di
berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal
Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah
meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan
kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau
sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti
para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak
baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada
masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai
akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi. Demikian pula putra beliau, Syaikh
Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya
dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Syaikh Sulaiman menamakan
bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul
Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya
adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap
orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang menentangnya, dan
membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan, maka ia
akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada
malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang
yang menyelisihinya.” (Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih
al-Hanabilah, hal. 275).
Penjara Suci As Surur, 06/03/2012.
0 Komentar:
Posting Komentar