KATA PENGANTAR
Puji syukur
alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT sang Pencipta alam
semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat
limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Elektronik Book (E-BOOK) ini dengan judul “DALIL
AMALAN WARGA NAHDLIYIN (NU)’ ini dapat terselesaikan tidak kurang dari pada
waktunya.
Maksud dan
tujuan dari penulisan E-BOOK ini tidak lain sebagai informasi dan “meluruskan”
dari tuduhan golongan yang tidak sepaham dengan amalan-amalan warga nahdliyin,
sehingga mudahnya mereka mengatakan banyak amalan warga NU berbau Tahayul,
Bid’ah dan Churafat (TBC) .Sebenarnya penulis pun tidak mempermasalahkan sebuah
perbedaan pendapat namun penulis sangat merasa prihatin sebagai warga nahdliyin
ketika orang-orang dari golongan lain mempermasalahkan amalan-amalan yang juga
merupakan amalan yang penulis lakukan sebagai warga nahdliyin.
Pada
kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian e-book ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.. Demikian pengantar yang dapat penulis
sampaikan dimana penulispun sadar bawasanya penulis hanyalah seorang manusia
yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya
milik Allah Azza Wa’jalla sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh
dari kata sempurna.
Oleh karena
itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis harapkan dalam
upaya untuk mengevaluasi diri penulis pribadi ^_^. Akhirnya penulis hanya bisa
berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan penulisan dan penyusunan e-book ini
ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi
penulis, pembaca, dan bagi seluruh warga nahdliyin khususnya.
Kepanjen,12
Maret 2011
M. Imam
Nawawi, S.PdI
1. Makna “KULLU BID’AH DHOLALAH”
Pada firman
Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA
disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu
berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk hidup.Karena Allah
juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi:
Khalaqtanii min naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis)
dari api.
Dengan
demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara mutlak dengan
arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa
Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Demikian
juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka
harus diartikan: Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat.
Kulla di
dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena
Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi saw., yang lain: Man
sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha.
Artinya : Barangsiapa memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka
dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.
Jadi jelas,
ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi
dianggap baik oleh Nabi saw. dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta
tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai
contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik) adalah saat
Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta
pembagiannya pada juz, ruku`, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat
bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih
jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman
bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah
SESAT, yang contohnya :
1. Adanya
sebagian masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah
pulang dari mushalla.
2. Adanya
kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan.
3. Adanya
beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda
pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan
ma’amalah), padahal sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang
motifnya hanya karena merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat
diidentifikasi sebagai BID`AH DHALALAH).
Ada pula
pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di
dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka
disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik). Contohnya:
1. Adanya
sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah
setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil
Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran
Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam
masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak
pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH
atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan
shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan
Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati tuntunannya secara
langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi
yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya
dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak
didapat secara langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya
ayat Alquran-Hadits yang memerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan
adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan.
Tetapi
mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat
tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan BID`AH yang
tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih
dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian
juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk mayyit,
melaksanakan perayaan maulid Nabi saw. mengadakan isighatsah, dll, termasuk
BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi
saw. namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara
ma’nawiyah.
Contoh
mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan
tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini
jelas-jelas adalah perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga
membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat
kepada Nabi saw. yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan
doa yang disabdakan oleh Nabi saw. : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa
itu adalah intisari ibadah. Yang jelas, bahwa menghadiri majelis ta`lim atau
majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat
yang terdapat di dalam Alquran-Hadits.
Hanya saja
mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara tahlilan di
rumah-rumah penduduk adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagorikan
sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada dengan shalat sunnah malam
berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan
tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi saw.
dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau
menerbitkan majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi
saw. pernah melarang penulisan apapun yang bersumber dari diri beliau saw.
selain penulisan Alquran. Sebagaiman di dalam sabda beliau saw. : La taktub
`anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu. Artinya: Jangan
kalian menulis dariku selain alquran, barangsiapa menulis dariku selain Alquran
maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembangan Islam, Nabi saw. menghapus
larangan tersebut dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah
hadits untuk Abu Syah.
Meskipun
sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf
tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas sangat berbeda dengan
penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam penulisan
artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah mencetuskan pemahaman dan
pemikirannya, tanpa ada syarat-syarat yang mengikat, selain masalah susunan
bahasa. Jika memenuhi standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun
isi kandungannya jauh dari standar kebenaran syariat.
Contohnya,
dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri
penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan Hadits
Nabi saw. Jadi sangat berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan
menjadi syarat utama untuk diterima-tidaknya Hadits yang diriwayatkannya.
Namun,
artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya, jika berisi nilai-nilai
kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH,
karena berdakwah lewat majalah atau bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh
Nabi saw. maupun oleh ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi
umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi tidak keluar dari
rel-rel syariat yang benar.
2. Mengenal Makna Bidah
Ada
sekelompok golongan yg suka membid’ah-bid’ahkan (sesat) berbagai kegiatan yang
baik di masyarakat, seperti peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj, Yasinan mingguan,
Tahlilan dll. Kadang mereka berdalil dengan dalih “Agama ini telah sempurna”
atau dalih “Jika perbuatan itu baik, niscaya Rasulullah saw. telah mencontohkan
lebih dulu” atau mengatakan “Itu bid’ah” karena tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah saw. Atau
“jikalau hal
tersebut dibenarkan, maka pasti Rasulullah saw. memerintahkannya. Apa kamu
merasa lebih pandai dari Rasulullah?”
Mem-vonis
bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di atas adalah lemah
sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasul saw. tidak mencontohkan
ataupun memerintahkannya. Teriwayatkan dalam berbagai hadits dan dalam fakta
sejarah.
1. Hadis
riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata
kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh), “Hai Bilal, ceritakan kepadaku
amalan apa yang paling engkau harap pahalanya yang pernah engkau amalkan dalam
masa Islam, sebab aku mendengar suara terompamu di surga. Bilal berkata, “Aku
tidak mengamalkan amalan yang paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku
berssuci, baik di malam maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku
itu”.Dalam riwayat at Turmudzi yang ia shahihkan, Nabi saw. berkata kepada
Bilal,
‘Dengan apa
engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak mengumandangkan
adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melaikan aku
bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).” Maka Nabi saw.
bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).
Hadis di
atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih berdasarkan
syarat keduanya (Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi mengakuinya.
Hadis di
atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal) melakukan sesuatu
dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah
dari Nabi saw.
2. Hadis
riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab Shalat, bab Rabbanâ
laka al Hamdu,
Dari riwayat
Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat di belakang Nabi saw., maka ketika
beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau membaca, sami’allahu liman hamidah
(Allah maha mendengar orang yang memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang
beliau membaca, “Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi
(Tuhan kami, hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah
serta diberkahi).
Setelah
selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah orang yang membaca
kalimat-kalimat tadi?” Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksikan tiga
puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala bacaaan itu.”
Ibnu Hajar
berkomentar, “Hadis itu dijadikan hujjah/dalil dibolehannya berkreasi dalam
dzikir dalam shalat selain apa yang diajarkan (khusus oleh Nabi saw.) jika ia
tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkannya mengeraskan suara
dalam berdzikir selama tidak menggangu.”
3. Imam Muslim
dan Abdur Razzaq ash Shan’ani meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata,
Ada seorang
lali-laki datang sementara orang-orang sedang menunaikan shalat, lalu ketika
sampai shaf, ia berkata:
اللهُ أكبرُ
كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً.
Setelah
selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat
tadi?
Orang itu
berkata, “Aku wahai Rasulullah saw., aku tidak mengucapkannya melainkan
menginginkan kebaikan.”
Rasulullah
saw. bersabda, “Aku benar-benar menyaksikan pintu-pintu langit terbuka untuk
menyambutnya.”
Ibnu Umar
berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku tidak pernah meninggalkannya.”
Dalam
riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja redaksi yang ia
riwayatkan: “Kalimat-kalimat itu direbut oleh dua belas malaikat.”
Dalam
riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah meningglakannya semenjak aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda demikian.”
Di sini
diterangkan secara jelas bahwa seorang sahabat menambahkan kalimat dzikir dalam
i’tidâl dan dalam pembukaan shalat yang tidak/ belum pernah dicontohkan atau
diperintahkan oleh Rasulullah saw. Dan reaksi Rasul saw. pun membenarkannya
dengan pembenaran dan kerelaan yang luar biasa.
Al hasil,
Rasulullah saw. telah men-taqrîr-kan (membenarkan) sikap sahabat yang menambah
bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.
4. Imam
Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, pada bab menggabungkan antara dua
surah dalam satu raka’at dari Anas, ia berkata,
“Ada seorang
dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap kali ia shalat
mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sampai selesai
kemudian membaca surah lain bersamanya. Demikian pada setiap raka’atnya ia
berbuat. Teman-temannya menegurnya, mereka berkata, “Engkau selalu mengawali
bacaan dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang
engkau pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.”
Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku kerjakan. Kalau
kalian tidak keberatan aku mau mengimami kalian, kalau tidak carilah orang lain
untuk menjadi imam.” Sementara mereka meyakini bahwa orang ini paling layak
menjadi imam shalat, akan tetapi mereka keberatan dengan apa yang dilakukan.
Ketika
mereka mendatangi Nabi saw. mereka melaporkannya. Nabi menegur orang itu seraya
bersabda, “hai fulan, apa yang mencegahmu melakukan apa yang diperintahkan
teman-temanmu? Apa yang mendorongmu untuk selalu membaca surah itu (Al Ikhlash)
pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku mencintainya.”
Maka Nabi
saw. bersabda, “Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”
Demikianlah
sunnah dan jalan Nabi saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun
tidak diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan itu
sejalan dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu
merestuinya. Jawaban orang tersebut membuktikan motifasi yang mendorongnya
melakukan apa yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam masalah itu,
akan tetapi ia menyimpulkannya dari dalil umum dianjurkannya berbanyak-banyak
berbuat kebajikan selama tidak bertentangan dengan dasar tuntunan khusus dalam
syari’at Islam.
Kendati
demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali
bacaan dalam shalat dengan surah al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah
sunnah yang tetap! Sebab apa yang kontinyu diklakukan Nabi saw. adalah yang
seharusnya dipelihara, akan tetapi ia memberikan kaidah umum dan bukti nyata
bahwa praktik-prakti seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-macam walaupun
seakan secara lahiriyah berbeda dengan yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti
ia bid’ah (sesat).
5. Imam
Bukhari meriwayatkan dalam kitab at Tauhid,
dari Ummul
Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi sa. Mengutus seorang memimpin sebuah pasukan,
selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat membaca surah tertentu
kemudian ia menutupnya dengn surah al Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka
melaporkannya kepada nabi saw., maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya,
mengapa ia melakukannya?” Ketika mereka bertanya kepadanya, ia menjawab “Sebab
surah itu (memuat) sifat ar Rahman (Allah), dan aku suka membacanya.” Lalu Nabi
saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (Hadis
Muttafaqun Alaihi).
Apa yang
dilakukan si sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., namun kendati
demikian beliau membolehkannya dan mendukung pelakunya dengan mengatakan bahwa
Allah mencintainya.
3. Pertanyaan dan Jawaban Seputar Bidah
Orang-orang
yang tidak sependapat dengan amalan warga NU biasanya membidahkan amalan warga
Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut:
·
Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan
(agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)
·
Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah
Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan
seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan
adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke
neraka. (HR. Muslim)
·
Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam
agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasulullah Saw.) tiada maka tunjukkanlah
sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang
mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra)
Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bid'ah mereka.
Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat
kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahawi)
·
Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk
ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya,
"Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?" Beliau
menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)
·
Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku
setelah aku tiada: kesesatan sesudah memperoleh pengetahuan, fitnah-fitnah yang
menyesatkan, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)
·
Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Allah,
para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan, "Ya Rasulullah, apakah
pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab, "Mengada-adakan amalan
bid'ah, lalu melibatkan orang-orang kepadanya." (HR. Daruquthin dari
Anas).
Setelah kita
membaca hadits-hadits di atas Coba saudara cermati lagi. Telah kami terangkan
bahwa kami umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat menolak bid'ah dhalalah,
persis dengan hadits2 di atas, yaitu menolak perilaku menciptakan ibadah baru
yang bertentangan dengan ajaran Syariat Islam, contohnya pelaksanaan Doa
Bersama Muslim non Muslim, karena perilaku itu bertentangan dengan Alquran,
falaa taq'uduu ma'ahum hatta yakhudhuu fi hadiitsin ghairih (janganlah kalian
duduk dengan mereka -non muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarakan
pembahasan lain -yang bukan ritual). Serta dalil lakum diinukum wa liadiin,
bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi jelaslah, perilaku “Doa Bersama Muslim
non Muslim” ini ini jelas-jelas bid'ah dhalalah, tidak ada tuntunannya
sedikitpun di dalam Islam. Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual
tahlilan atau kirim doa untuk mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena tidak
bertentangan dengan syariat Islam,
bahkan ada
perintahnya baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud
ritual Tahlilan itu, adalah dimulai dengan
·
Mengumpulkan masyarakat untuk hadir di majlis dzikir
dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur : idza marartum bi
riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah? Qaala
hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka
bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah? Beliau
menjawab : majlis dzikir).
·
Membaca surat Alfatihah, tidakkah baca Alfatihah ini
perintah syariat ?
·
Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah
syariat ?
·
Baca Al-ikhlas, Al-alaq-Annaas, tidakkah Allah berfirman
faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ringan dari ayat
Alquran).
·
Baca subhanallah, astaghfirullah, shalawat Nabi,
kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah.
·
Doa penutup.
·
Lantas tuan rumah melaksanakan ikramud dhaif,
menghormati tamu sesuai dengan kemampuannya.
Tentunya
dalam masalah ini sangat bervariatif sesuai dengan tingkat kemampuannya, tak
ubahnya saat Akhi/keluarga Akhi melaksnakan pernikahan dengan suguhan untuk
tamu, yang disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah.
Nah, jika
amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan acara, maka itulah yang dinamakan
tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalkan tahlilan model Indonesia ini,
namun setiap komponen dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi saw.
maka yang demikian inilah yang dinamakan dengan BID'AH HASANAH.
Siapa
kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini? Tiada lain adalah Khalifah ke dua,
Sahabat Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi mengajarkan shalat
sunnah Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanakannya di
masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada yang
ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya
dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku
ini, hingga pada saat kekhalifahan Sahabat Umar, beliau berinisiatif
mengumpulkan semua masyarakat untuk shalat Tarawih dengan berjamaah,
dilaksanakan 20 rakaat penuh di dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil
bid'atu haadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah ini = pelaksanaan tarawih 20 rakaat
dengan berjamaah di dalam masjid sebulan penuh). Bid'ahnya sahabat Umar ini
terus berjalan hingga saat ini, malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh
Saudi Arabia seperti kita lihat sampai saat ini bahwa di Masjidil Haram tarawih
berjama’ah 20 rokaat sebulan penuh, sekaligus dengan mengkhatamkan Qur’an. Hal
ini sama lestarinya dengan bid'ahnya para Wali songo yang mengajarkan tahlilan
di masyarakat Muslim Indonesia. Jadi baik Sahabat Umar dan pelanjut shalat
tarawih di masjid-masjid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para
pengikutnya umat Islam Indonesia, adalah pelaku BID'AH HASANAH, yang dalam
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami
sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an
yangkusha min ujurihim syaik (Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan
hasanatan (perbuatan baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentangan
dengan syariat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan kiriman pahala dari
orang yang mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya
sedikit pun.
Jadi sangat
jelas baik sahabat Umar maupun para Wali songo telah mengumpulkan pundi-pundi
pahala yang sangat banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan
ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih
Berjamaah maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya.
CONTOH-CONTOH BID’AH HASANAH
Setelah
baginda Nabi saw. wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru tetap dilakukan.
Umat islam mengakuinya berdasar dalil-dalil yang shahih. Simak berbagai contoh
berikut,
1. Pembukuan
al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan
ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin
Khattab dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra.
Jauh setelah itu kemudian penomoran ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.
2. Sholat
tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum
muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan
berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari
masa ke masa
3.
Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan
sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at.
4. Pembukuan
hadits beserta pemberian derajat hadits shohih, hasan, dlo’if atau ahad.
Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul
saw. pernah melarang menuliskan hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al
Qur’an. Penulisan hadits baru digalakkan sejak era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar
abad ke 10 H.
5. Penulisan
sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll.
Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll
6. Saat ini
melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul saw. atau para
sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel berbintang penuh fasilitas kemewahan,
tenda juga diberi fasiltas pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat
menuju ke Arafah, atau kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.
7. Pendirian
Pesantren dan Madrasah serta TPQ-TPQ yang dalam pengajarannya dipakai sistem
klasikal.
dan masih
banyak contoh-contoh lain.
4. Bidah sebuah kata sejuta makna
Setelah
adanya uraian singkat tapi cukup jelas pada halaman sebelum ini mengenai faham
Salafi/Wahabi dan pengikutnya, marilah kita teruskan mengupas apa yang dimaksud
Bid’ah menurut
syari’at Islam serta wejangan/ pandangan para ulama pakar tentang masalah ini.
Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh mana yang dilarang dan
yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling
berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah saw. sebagai
Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah
masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika
yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang
yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas
pengertian sunnah.
Karena itu
mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar
meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan
dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan
batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang
tidak berlainan.
Umpamanya
dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulullah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian
memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulullah
saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras
bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik
ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan
petunjuk (huda) yang
terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah
hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan
setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits
diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Jarir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa
yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala
orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga.
Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan
dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim VII hal.61).
Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah [ra].
Sekalipun
hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah
disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian
berdasar kan keumuman lafadh, bukan berdasarkan kekhususan sebab’.
Dari hadits
Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan
petunjuk Rasulullah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang
diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw. Dari hadits
berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan
dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah
Sunnah, sedangkan
yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib
Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan
sesuatu, sunnah Rasulullah saw. Berarti Jalan Rasulullah saw. yaitu jalan yang
ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan
hikmah-Nya dan jalan
mentaati-Nya. Contoh firman
Allah SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku
sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya
ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi
tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa
manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah SWT. Demikianlah menurut
penjelasan Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu
Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan: ‘Sunnah
Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah.
Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat
kebiasaan yaitu jalan
atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai
soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai
peribadatan’.
Demikian
juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa
riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga
mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu
kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah saw. dalam menghadapi berbagai
persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak
dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi
dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya
dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita juga
harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami
jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulullah saw. dalam membenarkan, menerima
atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri
persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam
memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal
Rasulullah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah
yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan
dengan Sunnah Rasulullah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui
setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada
orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan
tidak dilarang) oleh Rasulullah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi
kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat
mengetahui bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima kenyataan
yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan
Rasulullah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang
mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw.
Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu
kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw.
merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak
menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau
saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang
dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang
diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah,
kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintah- kan secara khusus
oleh Rasulullah saw.!
Mengenai
persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa
Rasulullah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan,
dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para
sahabatnya.(silahkan
baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan
mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang
dilakukan- nya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan
secara umum diserukan oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga
mereka berpedoman pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah
kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun
para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak
berarti setiap orang dapat
mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman
yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil
oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan
sunnah Rasulullah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi
ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada
dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak
bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., dan tidak
mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’.
Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah
saw. yang lalu.
Amal
kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru
‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang
berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulullah
saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu
bid’atin dholalah”), serta
tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang
dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan
mereka adalah sesuatu yang haram dikerja-kan secara mutlak.
Sayangnya
mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih
mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulullah saw. yang
membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru
‘diadakan’) yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya
tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping
itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulullah
saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab
serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya
petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri
sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun
dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain
haram.
Untuk
mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan
ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam
Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ
, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela.
Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan
yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ
سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا
اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ
غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang
menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/
sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak
bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang
seperti ini tidaklah tercela’.
Menurut
kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah
yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat
dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih
jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam
Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian
ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik termasuk
dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di
masa Rasulullah saw. Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum
syari’at,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam
fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada
asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan
dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila
dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia
menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh
syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian
yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada
hukum-hukum yang lima”.
Pendapat
beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin
as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam
risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al
Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam
Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam
Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang
senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan
lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya
bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi
beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh
haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan
adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum
syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan
menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang
ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin
Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut
ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154—pen.) bid’ah itu
dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti menyanggah orang yang
menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi
siapapun yang ingin memahami Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan
kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara
dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam
belum pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan
hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur’an
dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bid’ah mubah; seperti menggunakan saringan
(ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan),
memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain sebagainya.
5. Bid’ah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai
dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan tidak mengandung kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua
bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian
amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau
diperintahkan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a).
Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya)
sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab
dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk
menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah.
Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena
orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan
khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat
tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri
berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian gelar atau titel
kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah
haram, yang pada zaman Rasulullah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai
dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang
namanya.
d).
Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti
asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang
bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun
besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi
hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan
adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra.
Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di
Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya.
Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata
ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada
ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan
sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat
dan sebagainya.
g). Begitu
juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah SWT. kepada ummat
Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa
dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau
melarang penggunaan pesaw.at-pesaw.at tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru
kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak
lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran waktu
memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun
berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati
semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum
pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta para pendahulu kita
dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal
peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulullah saw. atau para sahabat dan
tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang
pakai full ac sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil
yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju
untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya
bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi
saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at
Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua
masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup
pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang teknologi yang sangat
maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim
tidak sedangkal itu.
Sebagaimana
telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i,
Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Katsir ra. serta para ulama
lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak
menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab
(dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah
bagian dari agama”.
Semua amal
kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulullah saw.
telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw.
dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka
prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah
diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai
bid’ah tercela.
Ibnu
Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan
bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang
hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya.
Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad
saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan
celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut,
seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara
kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah
tempat dekat gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam
masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid
Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu
Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan
shalat
disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar
dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai
sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad
mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian
diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu,
dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau
hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada
zaman sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan
pengingkar).
Masalah-masalah
serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan
oleh isteri Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka
penutup makam Nabi
saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama
turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai
cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik
oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah
dholalah/sesat.
Sebuah
hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya juz 1 halaman 304
dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra.
sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulullah saw. sholat dhuha. Pada
halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang
berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk
kedalam masjid Nabi saw.
Tiba-tiba
kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan
banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada
‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra
seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa
dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga
‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang
mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan ke neraka!
Dengan
demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah
hasanah. Karena
sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang
tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah
tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan
bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil
ijtihad.
Dalam
makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani yang berjudul Haulal
Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang
fanatik (extrem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf,
tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa
dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa
Asy-Syar’i (Rasulullah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk
pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi
pelakunya.
Firman Allah
SWT. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang
yang beruntung’. (Ali
Imran (3) : 104).
Allah SWT.
berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian
memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud
(Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulullah saw.;
وَعَنْ أبِي
مَسْعُوْدِ (ر)
عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ
عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ(رواه مسلم)
‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama
dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits
riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia
memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam
Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkannya
dengan tanpa dikurangi sedikitpun” .
Masih banyak
lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan
dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian
golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang
telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan
gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulullah saw. dan
Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain
lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah
hasanah dalam
hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada
perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam
pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan
itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut
membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa
kapanpun dengan tanpa
ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua
perkara yang
diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari
perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu
tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulullah saw. berikut ini:
“Hendaklah
kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun
sepeninggalku”. (HR.Abu Daud
dan Tirmidzi).
Yang dimaksud
sunnah dalam hadits
itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau
kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus
kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat
Khalifah sepeninggal Rasulullah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna
Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu dapat
berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman,
mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan
seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut
dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada
Rasulullah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka
sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui
dari mereka (ulul-amri)”.
Para
alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya
dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui
ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah
memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulullah) dan telah pula memilih
sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik
pula dalam pandangan Allah “ . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan
pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini
golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu
bid’atin dholalah (semua
bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan
nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah
mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah
terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits
hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan
nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang
diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah
lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar
syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada
yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak
bertentangan dengan nash
dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu
pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa
yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah
saw., para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam
bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash
yang khos (khusus)
untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu
tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang
lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan
mengharamkan amalan
tersebut.
Kalau kita
baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin
menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah SWT. dan menjauhi
yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita
memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak).
Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh
Allah SWT. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah kita
hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah
dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang
lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu
Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah
diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual
kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah
Rasulullah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan
berlawanan maknanya.
Berbuat
kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja.
Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi)
baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak
memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta.
Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang
bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia
manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili
hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak
pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak
asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran
terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.
5. Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita
sekarang rujuk hadits-hadits Rasulullah saw. mengenai amal kebaikan yang
dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan
perintah Allah SWT. atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapi
masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini para pembaca cukup
jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak
pernah diamalkan, diajarkan atau diperintah- kan oleh Rasulullah saw. selama
hal ini tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu
adalah boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh
agama dan mendapat pahala.
1. Hadits dari
Abu Hurairah: “Rasulullah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal,
katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau
perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang
paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan
berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim
dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits
lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan
shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih
ialah Rasulullah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan
sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera
mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah SWT. (lillah).
Al-Hafidh
Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh
pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan
oleh Bilal kepada Rasulullah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri
dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
1. Hadits lain
berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua
rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim
yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits
tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan
waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulullah saw.
tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara
umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian
beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
1. Hadits
riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin
Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu
hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulullah saw. Ketika berdiri (I’tidal)
sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah
seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana
lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur
sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah
shalat Rasulullah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab:
Aku, ya Rasul- Allah. Rasulullah saw. berkata : ‘Aku melihat
lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil
untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh
oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang
atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi
Muhammad saw.. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya
mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada
didekatnya…’.
Al-Hafidh
dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga
diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang
sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah
ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara
diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.
Lihat pula
kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah
karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna
al-bid’ah
1. Hadits
serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra.
“Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf).
Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah
hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang
banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullah saw. selesai dari
sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang
mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah
diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang
percuma’. Orang yang
datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku
mengatakannya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku
melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang
mengangkatkannya (amalannya
ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
1. Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah
hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulullah saw. menugas- kan seorang
dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum
musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat
Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke
Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulullah
saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang
yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka
sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulullah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan
kepadanya bahwa Allah menyukainya’ “.
Apa yang
dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan
oleh Rasulullah saw. Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun
begitu Rasulullah saw. tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan
memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.
1. Bukhori
dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang
menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang
yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang
lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap
rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah
dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih
surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas
tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau
meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian
untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian.
Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam
tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui
Rasulullah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam
tersebut Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang
membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca
surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullah, aku sangat
mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu
kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai
makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi
kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah
tersebut. Namun Rasulullah saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan
bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan :
‘Niat atau tujuan dapat mengubah
kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu
menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin
Rasulullah saw. akan menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain
yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan
karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulullah saw. dapat
membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’.
Lebih jauh
Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang
boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an
menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang
yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut
kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya,
tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupa- kan suatu bid’ah sesat,
dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang
tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara
baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulullah saw.
Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh
Rasulullah saw. bila tidak keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada
didalam kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh
diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah SWT.
1. Al-Bukhori
mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal
dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang
mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan
hal itu kepada Rasulullah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih
terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulullah
saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama
dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam
Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam
hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif
dari Abu Sa’id, yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man
terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah
saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya
berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga
oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu
bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul
huwallahu ahad’.
1. Ashabus-Sunan,
Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits
berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai
berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah saw. masuk kedalam masjid
Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat
sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam
yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulullah saw. bersabda; ‘Demi Allah
yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang
Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya
Dia akan menjawab’.
Tidak
diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat meng- gembirakan dari
Rasulullah saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri,
bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepadanya.
Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentu- an syari’at dan
bernafaskan tauhid, maka beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan
meridhoinya.
1. Hadits dari
Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada
seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu
Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa
Ashiila’. Setelah
selesai sholatnya, maka Rasulullah saw. bertanya; ‘Siapakah
yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulullah, akulah
yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat
kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka
pintu-pintunya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku
tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim
dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah
bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulullah saw. terhadap
prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam
sholat, walaupun
beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian
Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulullah saw.
tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Yang lebih
mengherankan lagi ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu
menganggap do’a qunut waktu sholat shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari
hadits Rasulullah saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi,
Nasa’i dan selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al
Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan
tempat berdirinya
untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarkan
hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah
bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh sekolompok huffaz dan mereka
juga ikut menshahih-kannya serta para ulama lainnya diantaranya Hafiz Abu
Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam
Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan lain lain).
Bagaimana
mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah sedangkan tambahan-tambahan kalimat
dalam sholat yang tersebut diatas atas prakarsanya para sahabat sendiri tidak
dipersalahkan oleh Nabi saw. malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang
membaca nya ?
1. Hadits dari
Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada
Allah SWT. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui
sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada
orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan
ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa
sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa
mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat
Nabi seraya
berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang
disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan
syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh
suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu
membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa
berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing
sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum
menghadap Rasulullah saw. Setiba dihadapan Rasulullah saw., mereka
menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu.
Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu
dapat menyembuhkan’? Rasulullah
saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
1. Abu Daud,
At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari
paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak
orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam
keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata:
‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud
Rasulullah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian
dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi
sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak
hadits yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan
ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulullah saw.
Semuanya itu diridhoi oleh Rasulullah saw. dan beliau memberi kabar gembira
pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan
oleh Rasulullah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena semua itu bertujuan baik,
tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan mereka diberi kabar
gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah
mustanbathah yakni
sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits
diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak keluar
dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya,
apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah
dianjurkan oleh agama.
Kalau kita
teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan
terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا
كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun
demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu
yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang
do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah
ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan
para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh
syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah saw.
Mungkin ada
orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang
penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang
dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang
dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya
Nabi saw.?
Memang
benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan
generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik.
Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut kesanggupannya
masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi
mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang
dipandang baik atau mustahab.
Untuk
menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan
yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi
(pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang
ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw.
berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah
sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan
rusaknya kemurnian agama Allah SWT., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri
sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap
karena wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia
mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan
supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu
Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana
mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu
merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah SWT. membukakan pikiran Khalifah
Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab
ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan
ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan
diperintahkan supaya melaksana- kan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid
bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana
mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu
pekerjaan yang baik! Untuk
lebih detail keterangannya silahkan membaca riwayat hadits ini yang dikemukakan
oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya juz 4 halaman 243 mengenai pembukuan
ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah
sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah
melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulullah saw. masih
hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan
Zaid bin Tsabit sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya
mereka dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima
baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak
pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar
perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan,
bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami
kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw.
Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah
hasanah, karena
Rasulullah saw. membenarkan serta meridhoi atas kata-kata tambahan dalam
sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi
saw. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut. Begitu juga
prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini
kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu
dijalankan atau tidak pada masa
Rasulullah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar
syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan
ridha Allah SWT. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta
Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana
hadits Rasulullah saw.:
اِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ
الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia
akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena
Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya
orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada
pada sikap Rasulullah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan
oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil
haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat
atau sepaham dengan mereka.
Tetapi
sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para
ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para
ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah
membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam
bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah
adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah SWT.
atas pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dalil yang membantah dan jawabannya
Hanya
orang-orang egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang mengingkari
hal tersebut. Seperti yang telah kemukakan sebelum ini bahwa golongan
pengingkar ini selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual oleh
karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai dengan paham mereka.
Misalnya,
mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulullah saw.
berikut ini :
كُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah
adalah sesat’.
Juga hadits
Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ
فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari
agama ia tertolak’.
Hadits-hadits
tersebut oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin
dhalalah yang
bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari
agama ia tertolak, yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits diatas
ini tersebut mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman
Rasul- Allah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw.
adalah bi’dah dholalah.
Mereka tidak
memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang
dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca
contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan
bacaan-bacaan dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah
diperintahkan Rasulullah saw. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak
kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu
bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada lagi
kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar
tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulullah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu
juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerja-
kannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Dan kalau
sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah,
sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan
mereka : “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi
yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan,
kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri
dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama
salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah
bid’ah”.
Kaidah-kaidah
seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan
oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah
mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlilan,
peringatan Maulid Nabi saw. dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya
dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau
mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal
agama.
Ucapan
mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi
saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamal- kannya (umpamanya; berkumpul
untuk tahlilan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang
batil/salah atau fasid adalah penghukum- an mereka terhadap semua perbuatan
amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian
itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerja- kan satu
perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah
diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan
sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an
maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak
bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus
sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah
lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum
pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan bagaimana
Rasulullah saw. menanggapinya. Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus
kita contoh !
Demikian
pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak ada
keterangan yang valid dari Rasulullah saw., maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan
kepada beliau saw. !!
Jelas disini
para ulama tidak mengatakan bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada
keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak boleh
dinisbahkan kepada Rasulullah saw. bila tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau kita
teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa
disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para ulama
pakar yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar
dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama
pakar lainnya. Kedua
kelompok ulama ini sama-sama ber- pedoman kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya.
Tidak lain
semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang
mengatakannya. Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau hukum
atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu
saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan
sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga !!
Para ulama
pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang
berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam meng- ambil kesimpulan hukum atas
suatu amal, walaupun amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih. Para
ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari
Rasulullah saw., umpama- nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah
dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah
sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjur-kan atau mensarankan suatu
amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara langsung.
Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah saw. yang dalilnya/riwayat-
nya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan
diucapkan saja oleh beliau saw. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja
dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh
sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulullah saw. yang menganjurkan
orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa
Rasulullah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulullah
saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin
Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para shahabat melihat
langsung beliau saw. melakukannya, kemudian meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah
Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya,
namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut
dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang
telah kami kemukakan sebelumnya.
Begitu juga
dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw.
atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu)
atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi
saw., majlis tahlilan/ yasinan dan lain sebagainya (baca keterangannya pada bab
Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan
ini mengambil dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang
menganjurkan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang
pahala-pahala bacaan dan amalan ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak
macam dan caranya semuanya mustahab asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa
yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi
didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang
sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat
Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulullah saw. yang semuanya itu
dianjurkan oleh Allah SWT. dan Rasul-Nya. Semuanya ini mendekatkan/taqarrub
kita kepada Allah SWT.!!
Mari kita
rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا
اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia
dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah
(mengerjakannya). (QS.
Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat
ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila
telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulullah saw. !
Dalam ayat
diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ
يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja
yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulullah), maka
berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam
hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ
عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu
dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits
ini Rasulullah saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ
أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah
dia!’
Jadi
pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits
yang telah kami kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan hadits Barangsiapa
yang didalam agama… adalah tidak
benar, karena adanya beberapa keterangan dari Rasulullah saw. didalam
hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara yang merupakan
prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan
apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik kesimpulan bahwa bid’ah
(prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian dari
agama yang tidak diizinkan Allah SWT. (QS Asy-Syura :21) serta prakarsa-prakarsa yang
bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam
Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw., contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam
dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melaku kan
sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama
karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits
Rasulullah saw. diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu…. adalah masalah pokok-pokok agama
yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah
atau ditambah. Saya ambil perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan
bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Atau orang yang sanggup
tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan
Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa
diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan
mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah,
sunnah atau
lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah
isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ
مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا
يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ
كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي
يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي
بِهَا
وَاِنْ
سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku
sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu
mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan atau sholat
sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya. Akulah
yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi
penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan
itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia
berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon
perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits
qudsi ini Allah SWT. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah
disamping amalan wajibnya.
Mari kita
rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus
berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah
SWT dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang
sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang
bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang
mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.
Ayat ini
menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan
perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba
yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat
sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja
itu. Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah
hasanah atau perahu
yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak
semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah hasanah
saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap perahu).
Dalam surat
Al-Ahqaf ayat 25 Allah SWT.berfirman : “Angin taufan itu telah
menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat
diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi
tidak ikut hancur.
Dalam surat
An-Naml ayat 23 Allah SWT.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala
sesuatu”. Keumuman
pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana
dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Dalam surat
Thoha ayat 15 Allah SWT. berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan
atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang
hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah
diampuni oleh Allah
SWT. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat
Aali ‘Imran : 173 Allah SWT. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang
Uhud :
“Kepada mereka (kaum
Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini tidak
bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di Mekkah
yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang memerangi Rasulullah saw. dan kaum
Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang
Arab.
Dalam surat
Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain
Alah adalah umpan neraka jahannam..”. Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa
Nabi ‘Isa as dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menajdi
umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya
dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat
Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua
urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan
duniawi. Allah SWT.
tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal keagamaan atau
keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.
Dalam surat
Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini
terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir
durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
Dalam surat
Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
Adam….dan seterusnya “. Firman Allah ini bersifat umum, sebab Allah SWT. juga telah berfirman,
bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat
Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda
kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk
mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu bagaikan binatang
ternak, bahkan lebih
sesat lagi (QS.Al-A’raf : 179).
Jadi
jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara
khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat.
Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman
namun ternyata keumumannya itu tidak terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah
hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang
menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak
akan masuk neraka”. Hadits ini
bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits
tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh dan
maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti
dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu Hajar
mengatakan; ‘ Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan2 harus
dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang
di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksana- kan’.
Dalam shohih
Bukhori dan juga
dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulullah saw. yang menyatakan
bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rh.
dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan
menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu.
Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulullah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para
Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak
contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits. Banyak sekali
ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain
dikhususkan maksud dan maknanya, demikian pula banyak terdapat didalam hadits.
Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; ‘Hal yang
umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga
halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi
berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua
bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat ! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya
masalah peribadatan saja. Allah SWT. menetapkan agama Islam bagi umat manusia
mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa
dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak
kenyataan membuktikan, bahwa Rasulullah saw. membenarkan dan meirdhoi
macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau
saw. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas.
Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada
satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang
lain yang lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia selalu berbuat
kebaikan) ? Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang
telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama. Untuk itu tidak ada jalan yang
lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu
sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan lain-lain.
Insya Allah
dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulullah saw. masalah Bid’ah,
akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan
bid’ah yang Hasanah/baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip
dalam hal bid’ah ini, silahkan membaca buku Pembahasan Tuntas Perihal
Khilafiyah oleh H.M.H Al-HAMID – AL-HUSAINI.
6. Qadha (penggantian) Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang
berkaitan dengannya
Sebagian
golongan muslimin telah membid’ahkan, mengharamkan/mem batalkan
mengqadha/mengganti sholat yang sengaja tidak dikerjakan pada waktunya. Mereka
ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan tidak sah orang yang ketinggalan sholat
fardhu dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu sholat lainnya,
mereka harus menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangan- nya
tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah terbantah oleh
hadits-hadits dibawah ini dan ijma’ (kesepakatan) para ulama pakar diantaranya
Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi
yang meninggalkan sholat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits
tentang qadha sholat berikut ini
:
1. HR.Bukhori,
Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksanakan) suatu
sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah
melakukannya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangkan makna
hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja
meninggalkannya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah)
untuk melaksanakan sholat, dan dia harus melakukannya…’.
Yang
dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah Rasulullah saw. bagi orang yang
ketinggalan sholat karena lupa dan tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat
yang disengaja ditinggalkan itu malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya.
Maka bagaimana dan darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja ditinggalkan itu tidak wajib/tidak
sah untuk diqadha ?
Begitu juga
hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau
tertidur tidak berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang
meninggalkan sholat dengan sengaja dia berdosa besar karena kesengajaannya meninggalkan
sholat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku baginya.
1. Rasulullah
saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah
dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian sampai dengar adzan
sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai
ganti/qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari
Ummu Salamah).
1. Rasulullah
saw. bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir
maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi
dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)
2. Rasulullah
saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantikannya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu
siang. (HR.
Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Nah kalau
sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat malam yang tidak
dikerjakan pada waktunya itu diganti/diqadha oleh Rasulullah saw. pada waktu
setelah sholat Ashar dan waktu-waktu lainnya, maka sholat
fardhu yang sengaja ketinggalan
itu lebih utama diganti dari- pada sholat-sholat sunnah ini.
1. HR Muslim
dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulullah
saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungnya. Kami
terbangun dengan terkejut. Rasulullah saw. bersabda: Naiklah (ketunggangan
masing-masing) dan kami menunggangi (tunggang- an kami) dan kami berjalan.
Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan
Bilal adzan utk melaksanakan sholat (shubuh yang ketinggalan). Rasulullah saw.
melakukan sholat sunnah sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai
beliau saw. menaiki tunggangannya.
Ada
sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan) terhadap apa
yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi
ash-sholah)? Kemudian Rasulullah saw. bersabda: ’Bukankah
aku sebagai teladan bagi kalian’?, dan selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya
jika karena tidur (atau lupa)
berarti tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam
pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang
dinamakan kekurangan
dalam pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) sholat
sampai datang lagi waktu sholat lainnya….’. (Juga Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah,
dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori
dari Imran bin Husain).
Hadits ini
tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan lalai/meng- gampangkan sholat
ialah bila meninggalkan sholat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa,
kedua-duanya wajib menggadha sholat yang ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits
ini tidak menyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha
sholat yang ketinggalan kecuali selain dari yang lupa atau tertidur, tapi
hadits ini menyebutkan tidak ada kelalaian (berdosa) bagi orang yang meninggal- kan sholat
karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits
larangan untuk menggadha sholat !
1. Jabir bin
Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari
(peperangan) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir
Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulullah, aku masih melakukan sholat Ashar
hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulullah saw. menjawab :
‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri
(dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk (melaksanakan) sholat dan
kami pun berwudu untuk melakukannya. Beliau saw. (melakukan) sholat Ashar
setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat
Maghrib. (HR.Bukhori dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain
secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631,
meriwayatkannya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha
sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
1. Begitu juga
dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25
sholat Qadha’ menulis:
Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya)
bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib
menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggal- kannya dengan sengaja,
lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang
terdapat perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya),
perselisihan antara mereka ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas
orang gila,
pingsan dan orang mabuk.
1. Dalam kitab
fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha
Sholat diterangkan:
Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam
Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan sholat itu berdosa dan
ia tetap wajib meng- gadhanya. Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah
Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk
menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam
ini. (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-hadits diatas dan
ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama
pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggal- kan.
Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab
jumhur—pen.).
Kesimpulan :
Kalau kita
baca hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan demikian buat
kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/meng- gantikan sholat yang
ketinggalan baik secara disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama
hukumnya wajib, sebagaimana yang diutarakan oleh ulama-ulama pakar yang telah
diakui oleh ulama-ulama dunia yaitu Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Hanya perbedaan antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah qadhanya.
Semoga
dengan adanya dalil-dalil yang cukup jelas ini bisa menjadikan manfaat bagi
kita semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa
pahamnya/anutannya yang paling benar.
7. Dalil Sholat sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
Sebagian
orang telah membid’ahkan sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut pandangan
mereka hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabat.
Padahal kalau kita teliti cukup banyak hadits serta wejangan ulama pakar ahli
fiqih dalam madzhab Syafi’i dan lainnya baik secara langsung maupun tidak
langsung yang berkaitan dengan sunnah- nya sholat qabliyah jum’at ini. Mari
kita ikuti hadits-hadits yang berkaitan dengan sholat sunnah diantaranya :
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim : “Dari
Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda:
‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud antara dua
adzan ialah
antara adzan dan iqamah.
Mengenai
hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohih- annya karena dia
disamping diriwayatkan oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan oleh Ahmad dan
Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami
bahwa Nabi saw. menganjurkan supaya diantara adzan dan iqamah itu dilakukan
sholat sunnah dahulu, termasuk dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah
jum’at. Tetapi nyatanya para golongan pengingkar tidak mengamalkan amalan
sunnah ini karena mereka anggap amalan bid’ah.
Riwayat
dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya
beliau melakukan shalat sunnah qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan
sholat ba’diyah (setelah) jum’at
sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah bin
Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua, dipercayai oleh Nabi
sebagai pembawa amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau
wafat pada tahun 32 H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat
dengan beliau saw. mengamal- kan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil
dari sunnah Nabi saw.
Penulis
kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah
bin Mas’ud tersebut mengatakan: “Secara dhohir (lahiriyah) apa yang
dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah berdasarkan petunjuk langsung
dari Nabi Muhammad saw.”
Dalam kitab
Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri dan Ibnul
Mubarak beramal sebagaimana yang diamalkan oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’
1V/10).
Hadits
riwayat Abu Daud: “Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya ia senantiasa
memanjangkan shalat qabliyyah jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah
jum’at dua raka’at. Ia menceriterakan bahwasanya Rasulullah saw. senantiasa
melakukan hal yang demikian”.(Nailul Authar III/313).
Penilaian
beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah : Imam Syaukani berkata: ‘Menurut
Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya shohih’. ; Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya
yang berjudul Ar-Risalah berkata: ‘Isnadnya shohih tanpa ada keraguan’.
; Imam Nawawi
dalam Al-Khulashah mengatakan : ‘Hadits tersebut shohih menurut persyaratan
Imam Bukhori. Juga telah dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya’.
Hadits
riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir, keduanya
berkata; Telah datang Sulaik al-Ghathfani diketika Rasulullah saw. tengah
berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu Nabi saw. bertanya kepada- nya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua
raka’at sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw. bersabda; ‘Shalatlah
kamu dua raka’at dan ringkaskan shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318).
Jelas sekali
dalam hadits ini bagaimana Rasulullah saw. menganjurkan (pada orang itu) shalat
sunnah qabliyyah jum’at dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Juga
dalam menerangkan hadits ini Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070H
mengatakan; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah
qabliyah jum’at, bukan shalat
tahiyyatul masjid. Hal ini
dikarenakan tahiyyatul masjid tidak boleh dikerjakan dirumah atau diluar masjid
melainkan harus dikerjakan di masjid.
Syeikh
Umairoh berkata: Andai ada orang yang mengatakan bahwa yang disabdakan oleh
Nabi itu mungkin sholat tahiyyatul masjid, maka dapat dijawab “Tidak
Mungkin”. Sebab
shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan nabi
saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat sebelum (dirumahnya) datang
kesini ?
(Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).
Begitu juga
Imam Syaukani ketika mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan
dengan tegas :
Sabda Nabi
saw. ‘sebelum engkau datang kesini’ menunjukkan bahwa sholat dua raka’at
itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan sholat sunnah tahiyyatul
masjid“.(Nailul Authar III/318)
Mengenai
derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ; ‘Hadits Ibnu
Majah ini perawi-perawinya adalah orang kepercayaan’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi
berkata: ‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.
Hadits
riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari
Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda : ‘Tidak ada satupun
sholat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “. Menurut kandungan hadits ini jelas
bahwa disunnahkan juga shalat qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at
dikerjakan.
Mengenai
derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi mengatakan : ‘Ini adalah
hadits shohih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini
adalah shohih’. Sedang- kan Syeikh
al-Kurdi berkata:
“Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pegang- an dalam hal disyariatkannya
sholat sunnah dua raka’at qabliyyah jum’at adalah hadits yang dipandang shohih
oleh Ibnu Hibban yakni hadits Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambung
sanadnya sampai kepada Nabi saw.) yang artinya: ‘Tidak ada
satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’
“.
Demikianlah
beberapa hadits yang shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah
jum’at.
Sedangkan
kesimpulan beberapa ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang
hukum sholat sunnah qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab
mereka ialah :
Hasiyah
al-Bajuri 1/137 :
“Shalat jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang disunnahkan
untuknya. Maka disunnahkan sebelum jum’at itu empat raka’at dan sesudahnya juga
empat raka’at”.
Al-Majmu’
Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahkan shalat sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua
raka’at qabliyyah dan dua raka’at ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang
lebih sempurna adalah empat raka’at qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’.
Iqna’ oleh
Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :
“Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at
dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Minhajut
Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahkan shalat sebelum Jum’at sebagaimana shalat sebelum Dzuhur”.
Begitu juga
masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya sholat
qabliyyah jum’at ini.
Dengan
keterangan-keterangan singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita
akan memahami bahwa ini semua adalah sunnah Rasulullah saw., bukan sebagai
amalan bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah SWT.
8. Dalil mengangkat tangan waktu berdo’a
Sebagian
golongan ada yang membid’ahkan mengangkat kedua tangan waktu berdo’a. Sebenarnya ini
sama sekali tidak ada larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa
Rasulullah saw. mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga ulama-ulama
pakar dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagainya)
selalu mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab atau
tata tertib cara
berdo’a kepada Allah SWT.
Dalam kitab
Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim
Bahreisj cetakan keempat tahun 1978 meriwayatkan sebuah hadits berikut ini:
Sa’ad bin
Abi Waqqash ra.berkata: Kami bersama Rasulullah saw. keluar dari Makkah menuju
ke Madinah, dan ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulullah saw.
turun dari kendaraannya, kemudian mengangkat kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama
sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali,
diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata: ‘Sesungguhnya
saya minta kepada Tuhan supaya di-izinkan memberikan syafa’at (bantuan) bagi ummat
ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya mengangkat kepala dan
minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk sepertiga, maka saya sujud
syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat kepala berdo’a minta untuk
ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku’. (HR.Abu Dawud).
Dalam hadits
ini menerangkan bahwa Rasulullah saw. tiga kali berdo’a sambil mengangkat
tangannya setiap berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan
adalah termasuk sunnah Rasulullah saw.
Dalam Kitab
Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 4 cetakan pertama tahun 1978
halaman 274-275 diterbitkan oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini
ditulis sebagai berikut :
Berdasarkan
riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas ra., katanya :
“Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah SWT.) hendaklah dengan mengangkat kedua
tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira setentangnya, dan jika istiqhfar
(mohon
ampunan) ialah dengan menunjuk dengan
sebuah jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari tangan”.
Malah dalam
hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a, dan
waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan dengan menunjuk sebuah jari waktu
mohon ampunan, melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu
berdo’a selain istighfar.
Diriwayatkan
dari Malik bin Yasar bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak
tanganmu, jangan dengan punggungnya !” Sedang dari Salman, sabda Nabi saw. : “Sesungguhnya
Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia
merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya,
akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat hadits
ini Allah SWT. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a sambil
menadahkan tangan kepadaNya, dengan demikian do’a kita akan lebih besar harapan
dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan
hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. menuturkan
:
“Aku pernah melihat Rasulullah saw. mengangkat dua tangan keatas
saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau”.
Masih ada
hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan
hadits-hadits diatas ini, cukup buat kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a
kepada Allah SWT. Bagi saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu
berdo’a, silahkan, tapi janganlah mencela atau membid’ahkan saudara muslim
lainnya yang mengangkat tangan waktu berdo’a !. Karena mengangkat tangan waktu
berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada Allah SWT. dan
hal ini diamalkan oleh para salaf dan para ulama pakar (Imam Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum– dan para imam lainnya).
Janganlah kita cepat membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits
dan mengenyampingkan hadits lainnya. Semuanya ini amalan-amalan sunnah, siapa
yang mengamalkan tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak mengamalkan hal
tersebut juga tidak berdosa. Karena membid’ahkan sesat sama saja mengharamkan
amalan tersebut.
9. Menyebut nama Rasulullah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana
Sebagian
orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan nama Muhammad Rasulullah
saw., dengan alasan bahwa Rasulullah saw. sendiri yang menganjurkan kepada kita
tanpa mengagung-agungkan dimuka nama beliau saw. Memang golongan ini mudah
sekali membid’ahkan sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud
Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulullah saw.
yang berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh
Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah
Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut
nama Rasulullah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya
merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw. Sebab
kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau.
Allah SWT.memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat
Rasulullah saw., menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita
memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut nama
orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk
menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulullah saw. Allah SWT.berfirman :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama
orang diantara kalian”. (QS.An-Nur : 63).
Dalam
tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah
janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulullah saw. cukup dengan nama
beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai
Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh
hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud
oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau
saw.tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik
dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan
Allah SWT. Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat
tersebut berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap
demikian bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut
Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat
Islam supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulullah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi
Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi
mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut
beliau saw. atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut
atau memanggil beliau dengan Ya Rasulullah atau Ya Nabiyullah. Menurut
kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga
terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah
riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa
sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulullah saw. hanya
dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan
menurunkan ayat itu Allah SWT. melarang mereka menyebut atau memanggil
Rasulullah saw. dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan
kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyallah.
Hampir
seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat
yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau
panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam
Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas.
Antara lain firman Allah SWT. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah
: 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah SWT. memuji kaum muslimin
yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulullah saw., bahkan menyebut mereka
sebagai orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah SWT. mengajarkan kepada
kita tatakrama yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut
Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman
Allah SWT. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah SWT. mengangkat
dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad
Rasulullah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang
menunjuk- kan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan
yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat
Aali-‘Imran:39 Allah SWT. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu,
Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah,
seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi
dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para
penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan
istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin.
Penyesalan mereka dilukiskan Allah SWT.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni
neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami
dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang
suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman
Allah SWT. dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak,
kemudian kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami
ialah raja Mesir.
Demikian
juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain
sebagainya. Banyak terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara
lain dalam surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana
seorang maula (pelindung) tidak dapat
memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka
tidak akan tertolong”.
Juga dalam
firman Allah SWT. dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk
Allah SWT., Rasul dan orang yang beriman.
Jadi kalau
kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya,
dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk
menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorangalasan apa
yang dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad
saw.
Demikian
pula soal penggunaan kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang
Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa
orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para
president, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak dituduh berbuat bid’ah? Tidak
salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama
Rasulullah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan
kedudukan dan martabat beliau
saw. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat beliau saw.
dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana
kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama Rasulullah saw.
tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat
sallahu ‘alaihi wasallam (saw.). Menyebut nama Rasulullah dengan cara demikian
menunjukkan sikap tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara
demikian itu lazim dilakukan oleh orang-orang diluar Islam, seperti kaum
orientalis barat dan lain sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh
kita tiru.
Banyak
hadits-hadits shohih yang menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya
dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau
setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi
martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi Allah yaitu junjungan kita
Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam
shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw. memberitahu
para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah SWT. akan menggugat
hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan
sayyid ?” (alam
ukrimuka wa usaw.widuka?)
Makna hadits
itu ialah, bahwa Allah SWT. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi
kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan
tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak
jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada manusia
lainnya ? Kalau manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah saw. tidak boleh
disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
– Ada
sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa
tusayyiduunii fis-shalah” artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad saw.) sayyid didalam sholat”.
Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulullah saw. untuk
mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam
bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkinan sama sekali
Rasulullah saw.mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh
pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya. Namun
untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami
kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits
tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits
tersebut), itu bathil !”.
Imam
Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak
karuan sumbernya ! “
Imam
Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam
Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya, semuanya
mengatakan : “Hadits itu sama sekali tidak benar”.
– Selain
hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna,
yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan mengagungkan aku
(Nabi Muhammad saw.) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful
Khufa Imam
Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengata- kan: “Itu bathil !”. Demikian pula
Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah
menyatakan
tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk
akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan
mengagungkan aku di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau
dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulullah saw. atau sebagai hadits beliau saw.,
jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita
lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulullah
saw.bersabda : “Aku sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam
hal ini berarti pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia
dan paling sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta
teladan bagi ummat yang dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas
ra mengatakan, bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia
disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulullah
saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan
At-Turmudzi, Rasulullah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang
diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim,
mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid
semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit
tersebut diberi makna oleh Rasulullah saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada hari
kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber
riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulullah saw. bersabda
: “Aku sayyid dua alam”.
– Riwayat
yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah
mengatakan
bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat
mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits
lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulullah saw.
bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang
bertaqwa”.
– Sebuah
hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulullah
saw. diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih
ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada suatu
hari kulihat Rasulullah saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji
syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah
aku ini ?’ Kami
menyahut: Rasulullah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar,
tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin
‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid
anak Adam….’.”
Riwayat
hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah saw. lebih suka kalau para
sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan
perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan
dari semua manusia sejagat.
Semua hadits
tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw. adalah sayyid
anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum
yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk
mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi
setiap muslim yang mencintai beliau saw.
– Demikian
pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan
Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Man kuntu
maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin
Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari
hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa
Rasulullah saw. adalah sayyidina dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga para
ahlu-baitnya (keluarganya), semua adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw. pernah berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa
Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata
nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak
puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau
sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam
shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa tardhiina an
takuunii sayyidata nisaail mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil ummati”
artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi
sayyidah mu’mininat (kaum
wanitanya orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini
?”
– Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulullah saw. berkata kepada
puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa
tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail
‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita
ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianlah
pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan Al-Husain
radhiyallahu ‘anhuma. Imam Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad
shohih bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu
sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan
dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan
hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulullah saw. Siti Fathimah
Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulullah
saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika
Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai penguasa kaum Yahudi
Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin),
Rasulullah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya datang menghadap
beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu Rasulullah saw. berkata
kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum”
artinya : “Berdirilah menghormati sayyid (pemimpin) kalian,
atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulullah
saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit
sementara
fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari
keledainya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit,
tentu Rasulullah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad,
melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun
–misalnya– Rasulullah saw. melarang para sahabatnya berdiri menghormati beliau
saw., tetapi beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya berdiri
menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah tatakrama
Islam. Kita harus
dapat memahami apa yang dikehendaki oleh Rasulullah saw. dengan larangan dan perintahnya mengenai soal yang sama itu. Tidak
ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara terang-terangan minta dihormati oleh
anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si murid harus merasa
dirinya wajib menghormati
ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga Rasulullah saw. sekalipun
beliau menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah
SWT, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan
beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulullah saw., harus merasa wajib menghormati,
memuliakan dan mengagungkan beliau saw.
Allah SWT.
berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi
(Muhammad saw.) lebih utama
daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas
ra. menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beiman! Ayat
suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa
Rasulullah saw. lebih utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai
ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang
yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah?
Semoga Allah SWT. memberi hidayah kepada kita semua. Amin
– Ibnu
Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila
kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan
sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada
beliau saw., karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu,
rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulullah)
dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para
sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama
masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai.
Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad
shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali
ra. selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia
menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulullah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.)
sayyid’ “.
– Ibnu
‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi
mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan
sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat
rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih
banyak lagi wejangan para ulama pakar cara sebaik-baiknya membaca sholawat pada
Rasulullah saw. yang tidak tercantum disini.
Nah, kiranya
cukuplah sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana
untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. Setelah orang mengetahui banyak
hadits Nabi yang menerangkan persoalan itu yakni menggunakan kata awalan sayyid, apakah masih
ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama
beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulullah saw.
sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulullah) dan Habibu Rabbil-‘alamin
(Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana
tercelanya orang yang berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau maulana
dimuka nama beliau saw.? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan
pengingkar ini sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid
atau minta juga agar mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka !
10. Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat.
Sering yang
kita dengar dari golongan muslimin diantaranya dari madzhab Wahabi/Salafi dan
pengikutnya yang melarang orang menggunakan Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu
sebagaimana kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sampai
berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa Rasulullah saw.
para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang
dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’ adalah butiran-butiran yang
dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir yang diucapkan oleh
seseorang, dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih
disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang
berbeda pendapat mengenai asal-usul penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih
berasal dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal
dari India yaitu dari kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang
mengatakan bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum
Brahmana di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih
menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar
keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunakan tasbih, meniru
biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman sebelum islam.
Kemudian
datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluk nya untuk
berdzikir (ingat) juga kepada Allah SWT. sebagai salah satu bentuk peribadatan
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.. Perintah dzikir bersifat umum, tanpa
pembatasan jumlah tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-keadaan
tertentu. Banyak sekali firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an agar orang banyak
berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi, umpama berdzikir sambil berdiri,
duduk, berbaring dan lain sebagainya.
Sehubungan
dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu berdzikir,
misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali dengan ucapan Subhanallah, tiga puluh tiga kali Alhamdulillah
dan tiga
puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan
kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’. Kecuali itu terdapat pula
hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan berbagai ucapan dzikir bila
disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya hadits-hadits yang menetapkan
jumlah dzikir seperti itu maka dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu
mengetahui jumlahnya yang pasti.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara menghitung
dzikir
Hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu
Umar ra. yang mengatakan:
“Rasulullah
saw. menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya
supaya mengikuti cara beliau saw.”. Para Imam ahli hadits tersebut juga
meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum
Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata:
“Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (berdzikir), bertahlil dan bertaqdis (yakni
berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah SWT.). Janganlah
kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian
dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta
berbicara” .
Perhatikanlah: Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak
berarti melarang orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk
mengharamkan atau memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang
khusus tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
Imam
Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu
saat Rasulullah saw. datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu
butir biji kurma yang biasa
digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti
Huyay, apakah itu ?‘
Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau
saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari
itu’. Shofiyyah
menyahut; ‘Ya Rasulullah, ajarilah aku’. Rasulullah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah,
Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).
Abu Dawud
dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu
Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra.
yang mengatakan:
“Bahwa pada
suatu hari Rasulullah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu
kerikil yang biasa
dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah
engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat
sebagai berikut :
‘Subhanallahi
‘adada maa kholaga fis samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil ardhi,
subhanallahi ‘adada maa baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal
hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa
guwwata illaa billahi mitslu dzaalika’ ”.
Yang artinya
: ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak
makhluk-Nya yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya.
(sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji syukur kepada Allah
seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan
kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “.
Lihat dua
hadits diatas ini, Rasulullah saw. melihat Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung dzikirnya, beliau
saw. tidak melarangnya atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan
jari-jarinya, malah beliau saw. berkata kepadanya engkau dapat
berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang
wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan
kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada wanita itu, buanglah
batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu !
Beliau saw.
malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih
mudah dibaca. Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak
ditentukan oleh Rasulullah saw. jadi terserah kemampuan mereka.
Banyak
riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma,
batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang dan lain sebagainya untuk menghitung dzikir yang
dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat
mereka !!
Imam Ahmad
bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu
Shofiyyah menghitung
dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam
Al-Baihaqi dalam Mu’jamus
Shahabah; ”‘bahwa Abu
Shofiyyah, maula Rasulullah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian
mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah
hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya
lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.
Abu Dawud
meriwayatkan; ‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu
kerikil. Ia duduk
bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita
berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu
kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan,
hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’.
Abu Syaibah
juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai
seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu
kali’.
Imam Ahmad
bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah
biji kurma yang
disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu
persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’
.
Abu Syaibah
juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil
atau biji kurma. Demikian
pula Abu Sa’id Al-Khudri.
Dalam kitab Al-Manahil
Al-Musalsalah Abdulbaqi
mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan; ‘bahwa Fathimah binti Al-Husain
ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir.
Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan; “bahwa
‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus
butir biji zaitun. Tiap hari
ia menghitung raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak
orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.
Abul Qasim
At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang
menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu
Muslim Al-Khaulani dan lain-lain’.
Menurut
riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan
orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanakan untuk
menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip keterangan dari
gurunya didalam kitab Tajul-‘Arus . Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan
orang dimana-mana. Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang
penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh
karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada seorang
Waliyullah yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang semulia anda mau
memegang tasbih ?.
Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah SWT. tidak
akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah
Al-Qusyariyyah).
Sejak abad
ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk
kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang
berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya) yang
menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang
memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada zaman
kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah butiran atau tiga
puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang disebut-sebut
dalam hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih ini malah lebih
praktis dan mudah
dibandingkan pada masa zaman nya Rasulullah saw. dan masa sebelum abad kedua
Hijriah. Begitu juga untuk menghitung jumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan
cara tertentu. Hal itu
diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.
Cara apa
saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung yang
tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. itu
mustahab/baik untuk diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang telah
dikemukakan diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa pun yang
digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap
menggunakan tangan atau jarinya juga, bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian
jari-jari ini juga digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para
ulama pakar maupun kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila
berdzikir.
Jadi masalah
menghitung dengan butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan,
apalagi kalau ada orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah
dholalah’. Yang perlu
kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari
tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?
Menurut Ibnu
‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji
kurma dll) lebih afdhal/utama. Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika
orang yang berdzikir tidak akan salah hitung dengan menggunakan jari, itulah
yang afdhal. Jika tidak demikian maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga
diketahui, bahwa menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan, yaitu sebagaimana yang dilakukan
oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan lain-lain. Dalam soal dzikir yang paling penting dan wajib
diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga
dalam hati mengikutinya. Maksudnya bila lisan mengucapkan Subhanallah maka
dalam hati juga memantapkan kata-kata yang sama yaitu Subhanallah. Allah SWT.
melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada
benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya Allah
dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar
yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar,
bid’ah dholalah/sesat dn lain sebagainya ??? Semoga Allah SWT. memberi hidayah
kepada semua kaum muslimin. Amin.
Semoga
dengan keterangan sebelumnya mengenai akidah golongan Wahabi/Salafi serta
pengikutnya dan keterangan bid’ah yang singkat ini insya-Allah bisa membuka hati
kita masing-masing agar tidak mudah mensesatkan, mengkafirkan dan sebagainya
pada saudara muslim kita sendiri yang sedang melakukan ritual-ritual Islam
begitu juga yang berlainan madzhab dengan madzhab kita.
11. Bagaimana hukum menyuguhkan makanan baik kepada para jamaah yang datang
membacakan tahlil bagi si mayit maupun bagi para pentakziah?
Ada dua
pendapat di kalangan ulama berkaitan dengan hukum menyuguhkan makanan dari
pihak keluarga si mayit kepada para jamaah tahlilan maupun orang-orang yang
datang bertakziyah.
a. Pendapat
yang menyatakan makruh. Hal ini didasarkan pada dua hadits:
Pertama,
hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Majah
dengan sanad yang shahih. Jarir bin Abdullah berkata: "Kami menganggap
berkumpul pada keluarga mayit dan penyuguhan makanan dari pihak keluarga mayit
bagi mereka (yang berkumpul) termasuk niyahah (ratapan)." Berdasarkan
hadits ini, para ulama madzhab Hanafi berpendapat makruh memberikan makanan
pada hari pertama, kedua, ketiga dan setelah tujuh hari kepada pentakziyah
sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam Ibn Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar
juz 2 hlm. 240.
Kedua,
Hadits riwayat al-Tirmidzi, al-Hakim dan lain-lainnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Buatkan makanan bagi keluarga Ja'far, karena mereka sekarang sibuk
mendengar kematian Ja'far." Para ulama berpendapat, bahwa yang disunnatkan
sebenarnya adalah tetangga keluarga mayit atau kerabat-kerabat mereka yang jauh
membuatkan makanan bagi keluarga mayit yang sedang berduka, yang cukup bagi
kebutuhan mereka dalam waktu selama sehari semalam. Pendapat ini diikuti oleh
mayoritas fuqaha, dan mayoritas ulama madzahib al-arba'ah. Dan ini juga
merupakan praktek warga Nahdliyin, saat ada tetangga meninggal, maka para
tetangga takziyah dengan membawa beras, uang serta membantu memasak untuk
keluarga musibah dan memasak bagi yang bertakziah yang mana makanan itu berasal
dari tetangga2 sekitar dan sama sekali tidak mengambil harta dari keluarga
musibah.
b. Ulama
yang lain berpendapat bolehnya menyuguhkan makanan dari pihak keluarga mayit
bagi para jamaah tahlilan maupun para pentakziyah, meskipun pada masa-masa tiga
hari hari pertama pra meninggalnya si mayit. Hal ini didasarkan pada beberapa
dalil antara lain:
Pertama,
Ahmad bin Mani' meriwayatkan dalam Musnad-nya dari jalur al-Ahnaf bin Qais yang
berkata: "Setelah Khalifah Umar bin al-Khaththab ditikam, maka beliau
menginstruksikan agar Shuhaib yang bertindak sebagai imam shalat selama tiga
hari dan memerintahkan menyuguhkan makanan bagi orang-orang yang datang
bertakziyah." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini bernilai
hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib al-'Aliyah fi Zawaid al-Masanid
al-Tsamaniyah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 709).
Kedua,
al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd dari al-Imam Thawus
(ulama salaf dari generasi tabi'in), yang berkata: "Sesungguhnya
orang-orang yang meninggal dunia itu diuji oleh di dalam kubur mereka selama
tujuh hari. Mereka (para generasi salaf) menganjurkan mengeluarkan sedekah
makanan untuk mereka selama tujuh hari tersebut." Menurut al-Hafizh Ibn
Hajar, sanad hadits ini kuat (shahih). (Lihat, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib
al-'Aliyah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 710).
Ketiga,
“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah
jenazah, maka aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada
diatas kubur berpesan kepada penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian
kakinya, dan juga luaskanlah pada bagian kepalanya”, Maka tatkala telah kembali
dari kubur, seorang wanita (istri mayyit, red) mengundang (mengajak)
Rasulullah, maka Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang
diletakkan dihadapan Rasulullah, kemudian diletakkan juga pada sebuah
perkumpulan (qaum/sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah
kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan
bersabda:
“aku
mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya”. Kemudian wanita
itu berkata : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk
membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada
tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia
tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya) dan ia kirim
kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
“berikanlah makanan ini untuk tawanan”. (Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul
Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih ; Misykaatul Mafatih [5942]
At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5942] karangan
al-Mulla ‘Alial-Qari, hadits tersebut dikomentari shahih. Lebih jauh lagi,
didalam kitab tersebut disebutkan dengan lafadz berikut :
(استقبله داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى
“Rasulullah
menerima ajakan wanitanya, yakni istri dari yang wafat”.)
12. Hukum Duduk Bersama Untuk Berdzikir
Alhamdulillah,
di bumi Sunni Syafi`i, Indonesia ini masih banyak umat Islam yang mengamalkan
ajaran Nabi saw., antara lain yang disebutkan dalam hadits hasan riwayat Imam
Tirmidzi dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda : Maa qa`ada qaumun lam
yadzkurullaha fiihi walam yushallu `alan nabiyyi shallallahu alaihi wasallam,
illaa kaana alaihim hasratan yaumal qiyaamah, (tidaklah suatu kaum yang duduk
di suatu tempat, dan tidak berdzikir kepada Allah dan tidak pula bershalawat
untuk Nabi saw., kecuali mereka akan ditimpa penyesalan pada hari kiamat). Yang
dinamakan kaum dalam hadits di atas adalah sekelompok orang yang duduk bersama
dalam suatu majelis. Jika saja yang dimaksudkan adalah perorangan, maka Nabi
saw. cukup mengatakan maa qa`ada rajulun (tidaklah seseorang yang duduk),
tetapi Nabi saw. mengatakan qaumun (suatu kaum).
Artinya baik
mereka membacanya secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, bahkan pemahaman
yang lebih dekat dengan kebenaran, adalah secara bersama-sama, baik dengan
suara pelan dan lirih, yang hanya dapat didengarkan oleh dirinya sendiri,
maupun dengan mengangkat suara secara wajar sehingga terdengar suara
lantunan-lantunan dzikir yang menentramkan jiwa, hal ini sama seperti yang
dilakukan umat Islam di saat menggemakan takbiran di malam Hari Raya secara
bersama-sama dengan suara keras. Semua cara dalam menghidupkan majelis dzikir
dan shalawat yang dilakukan oleh suatu kaum secara bersama-sama, tidak ada
larangan secara spesifik baik dari Alquran maupun hadits shahih manapun.
Karena itu,
kegiatan masyarakat Indonesia yang marak dilakukan di pedesaan, perkampungan,
maupun perkotaan dalam mengadakan majelis dzikir kepada Allah, majelis shalawat
untuk Nabi saw., maupun majelis ta`lim untuk memahami ajaran syariat Islam
adalah sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.
Jadi mari
kita bersama-sama lestarikan majelis dzikir, majelis shalawat dan majelis
ta`lim di wilayah kita masing-masing, agar tidak ada penyesalan pada hari
Qiyamat nanti.
13. Dalil Nyekar Bunga
Di Kuburan
Barangkali
telinga masyarakat Indonesia tidaklah asing dengan istilah nyekar. Adapun arti
nyekar adalah menabur beberapa jenis bunga di atas kuburan orang yang
diziarahinya, seperti menabur bunga kamboja, mawar, melati, dan bunga lainnya
yang beraroma harum. Ada kalanya yang diziarahi adalah kuburan sanak keluarga,
namun tak jarang pula kuburan orang lain yang dikenalnya. Nabi saw. sendiri
pernah berziarah kepada dua kuburan muslim yang sebelumnya tidak dikenal oleh
beliau saw.
Sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasannya suatu saat Nabi SAW. melewati dua
kuburan muslim, lantas beliau SAW. bersabda:
Sesungguhnya kedua orang ini sedang disiksa, keduanya disiksa bukanlah karena
suatu masalah yang besar, tetapi yang satu terbiasa bernamimah (menfitnah dan
mengadu domba), sedangkan yang satu lagi terbiasa tidak bersesuci (tidak cebok)
jika habis kencing. Kemudian
beliau saw. mengambil pelepah kurma yang masih segar dan memotongnya, untuk
dibawa saat menziarahi kedua kuburan tersebut, lantas beliau saw. menancapkan
potongan pelepah kurma itu di atas dua kuburan tersebut pada bagian kepala
masing-masing, seraya bersabda : Semoga Allah meringankan siksa dari
kedua mayyit ini selagi pelepah korma ini masih segar. Hadits ini juga diriwayatkan oleh
Imam Muslim pada Kitabut Thaharah (Bab Bersuci).
Berkiblat
dari hadits shahih inilah umat Islam melakukan ajaran Nabi saw. untuk
menziarahi kuburan sanak famili dan orang-orang yang dikenalnya untuk mendoakan
penduduk kuburan. Dari hadits ini pula umat Islam belajar pengamalan nyekar
bunga di atas kuburan.
Tentunya
kondisi alam di Makkah dan Madinah saat Nabi saw. masih hidup, sangat berbeda
dengan situasi di Indonesia. Maksudnya, Nabi saw. saat itu melakukan nyekar
dengan menggunakan pelepah kurma, karena pohon kurma sangat mudah didapati di
sana, dan sebaliknya sangat sulit menemui jenis pepohonan yang berbunga.
Sedangkan masyarakat Indonesia berdalil bahwa yang terpenting dalam melakukan
nyekar saat berziarah kubur, bukanlah faktor pelepah kurmanya, yang kebetulan
sangat sulit pula ditemui di Indonesia , namun segala macam jenis pohon,
termasuk juga jenis bunga dan dedaunan, selagi masih segar, maka dapat memberi
dampak positif bagi mayyit yang berada di alam kubur, yaitu dapat memperingan
siksa kubur sesuai sabda Nabi saw.
Karena
Indonesia adalah negeri yang sangat subur, dan sangat mudah bagi masyarakat
untuk menanam pepohonan di mana saja berada, ibarat tongkat kayu dan batu jadi
tanaman. Maka masyarakat Indonesia-pun menjadi kreatif, yaitu disamping mereka
melakukan nyekar dengan menggunakan berbagai jenis bunga dan dedaunan yang
beraroma harum, karena memang banyak pilihan dan mudah ditemukan di Indonesia,
maka masyarakat juga rajin menanam berbagai jenis pepohonan di tanah kuburan,
tujuan mereka hanya satu yaitu mengamalkan hadits Nabi SAW., dan mengharapkan
kelanggengan peringanan siksa bagi sanak keluarga dan handai taulan yang telah
terdahulu menghuni tanah pekuburan. Karena dengan menanam pohon ini, maka
kualitas kesegarannya pepohonan bisa bertahan relatif sangat lama.
Memang Nabi
SAW. tidak mencontohkan secara langsung penanaman pohon di tanah kuburan.
Seperti halnya Nabi SAW. juga tidak pernah mencontohkan berdakwah lewat media
cetak, elektronik, bahkan lewat dunia maya, karena situasi dan kondisi saat itu
tidak memungkinkan Nabi SAW. melakukannya. Namun para ulama kontemporer dari
segala macam aliran pemahaman, saat ini marak menggunakan media cetak,
elektronik, dan internet sebagai fasilitas penyampaian ajaran Islam kepada
masyarakat luas, tujuannya hanya satu yaitu mengikuti langkah dakwah Nabi SAW.,
namun dengan asumsi agar dakwah islamiyah yang mereka lakukan lebih menyentuh
masyarakat luas, sehingga pundi-pundi pahala bagi para ulama dan da’i akan
lebih banyak pula dikumpulkan. Yang demikian ini memang sangat memungkinkan
dilakukan pada jaman modern ini.
Jadi, sama
saja dengan kasus nyekar yang dilakukan masyarakat muslim di Indonesia, mereka
bertujuan hanya satu, yaitu mengikutijejak nyekarnya Nabi SAW., namun mereka
menginginkan agar keringanan siksa bagi penghuni kuburan itu bisa lebih
langgeng, maka masyarakt-apun menanam pepohonaan di tanah pekuburan, hal ini
dikarenakan sangat memungkinkan dilakukan di negeri yang bertanah subur ini,
bumi Indonesia dengan penduduk muslim asli Sunny Syafii.
Ternyata
dari satu amalan Nabi dalam menziarahi dua kuburan dari orang yang tidak
dikenal, dan memberikan solusi amalan nyekar dengan penancapan pelepah korma di
atas kuburan mayyit, dengan tujuan demi peringasnan siksa kubur yang tengah
mereka hadapi, menunjukkan bahwa keberadaan Nabi SAW. adalah benar-benar
rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam, termasuk juga alam kehidupan
dunia kasat mata, maupun alam kubur, bahkan bagi alam akhirat di kelak kemudian
hari.
(Literatur
tunggal: Kitab Tahqiiqul Aamal fiima yantafiul mayyitu minal a`maal, karangan
Abuya Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani, Imam Ahlussunnah wal Jamaah Abad
21)
14. Dalil Tentang Bolehnya Bertabaruk
Bertabarruk
yang dimaksud di sini, adalah seseorang yang sengaja mencari (Jawa : ngalap)
barakah dari sesuatu yang diyakini baik, dan tidak bertentangan dengan syariat
Islam.Adakalanya dengan mengambi sesuatu, atau mengusap sesuatu, atau meminum
sesuatu, atau sesuatu, bahkan melakukan sesuatu dengan tujuan mencari
barakah.Ada seseorang yang menjalankan bisnis milik orang lain tanpa meminta
sedikitpun bayaran atau keuntungan dari bisnisnya itu, sebab ia hanya ingin
mencari barakah, karena si pemilik modal tiada lain adalah kiai/ustadz/guru
agama-nya. Ada juga yang sengaja mencium tangan atau bahkan dada seseorang yang
dianggap shaleh maupun `alim dengan tujuan mencari barakah. Atau mendatangi
seorang yang shaleh dengan membawa air lantas minta dibacakan surat Alfatihah
atau doa kesembuahan dan sebagainya, senuanya itu bertujuan mencari barakah.
Demikian dan seterusnya.
Adapun
amalan-amalan yang tertera di atas adalah menirukan perilaku para shahabat Nabi
saw. sebagaimana yang ditulis para ulama salaf dalam buku-buku mereka, antara
lain :
(1). Imam
Ibnu Hajar Alhaitsami menulis dalam kitab Majma`uz zawaid, 9:349 yang disebutkan
juga dalam kitab Almathaalibul \`Aaliyah, 4:90 : Diriwayatkan dari Ja`far bin
Abdillah bin Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima perang
tentara Islam, pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya, lantas
beliau meminta tolong dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu. Tatkala
ditemukan, ternyata songkok tersebut bukanlah baru, melainkan sudah hampir
kusam, lantas beliau mengtakan : Tatkala Rasulullah saw. berumrah, beliau saw.
mencukur rambutnya saat bertahallul, dan orang-orang yang mengetahuinya, mereka
berebut rambut Rasulullah saw., kemudian aku bergegas mengambil rambut bagian
ubun-ubun, dan aku selipkan pada songkokku ini, dan sejak aku memakai songkok
yang ada rambut Rasulullah saw. ini, maka tidak pernah aku memimpim peperangan
kecuali selalu diberi kemenangan oleh Allah.
(2). Imam
Bukhari dalam Kitabus syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad, meriwayatkan dari
Almasur bin Makhramah dan Marwan, mengatakan bahwa Urwah (tokoh kafir Quraisy)
memperhatikan perilaku para shahabat Nabi SAW., lantas mengkhabarkan kepada
kawan-kawannya sesama kafir Quraisy : Wahai kaumku, demi tuhan, aku sering
menjadi delegasi kepada para raja, aku menjadi delegasi menemui Raja Kaisar,
Raja Kisra, dan Raja Najasyi, tetapi demi tuhan belum pernah aku temui para
pengikut mereka itu dalam menghormati para raja itu, seperti cara para shahabat
dalam menghormati Muhammad (SAW.), demi tuhan, setiap Muhammad meludah, pasti
telapak tangan mereka dibuka lebar-lebar untuk menampung ludah Muhammad, lantas
bagi yang mendapatkan ludah itu pasti langsung diusapkan pada wajah dan kulit
masing-masing (tabarrukan). Jika Muhammad memrintahkan sesuatu, mereka bergegas
menjalankannya. Jika Muhammad berwudlu mereka berebut bahkan hampir berperang
hanya untuk (bertabarruk) mendapatkan air bekas wudlunya. Jika mereka berbicara
di depan Muhammad pasti merendahkan suaranya, mereka tidak berani memandang
wajah Muhammad dengan lama-lama karena rasa hormat yang sangat dan lebih
daripada umumnya.
(3). Imam
Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi
saw. datang ke Mina, lantas melaksanakan lempar Jumrah, kemudian mencukur
rambutnya, dan meminta kepada si pencukur untuk mengumpulkan rambutnya, dan
beliau saw. membagikannya kepada masyarakat muslim.
(2). Riwayat
serupa di atas juga terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi, yang mengatakan bahwa
Nabi saw. menyerahkan potongan rambutnya kepada Abu Thalhah dan beliau saw.
memerintahkan : Bagikanlah kepada orang-orang.
(3). Imam
Muslim meriwayatkan juga dari shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu saat Nabi
saw. beristirahat tidur di rumah kami sehingga beliau saw. berkeringat, lantas
ibu kami mengambil botol dan menampung tetesan keringat Nabi saw., kemudian
Nabi saw. terbangun dan bersabda : Wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ?
Ummu Sulaim menjawab : Kami jadikan keringatmu ini sebagai parfum, bahkan ia
lebih harum dari semua jenis parfum.
(4).
Sedangkan dalam riwayat Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim istrinya Abu
Thalhah menjawab : Kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami. Lantas
Nabi saw. bersabda : Engkau benar.
(5). Imam
Thabarani meriwayatkan dari Safinah RA, berkata : Tatkala Rasulullah saw.
berhijamah (canthuk), beliau saw. bersabda kepadaku: Ambillah darahku ini, dan
tanamlah jangan sampai ketahuan binatang liar, burung, maupun orang lain..!
Lantas aku bawa menjauh dan aku minum, kemudian aku ceritakan kepada beliau
saw., maka beliau tertawa.
(6). Imam
Thabarani juga meriwayatkan hadits penguat, Nabi saw. bersabda : Barangsiapa
yang darah (daging)-nya bercampur dengan darahku, maka tidak bakal disentuh api
neraka.
(7). Imam
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi saw. mampir
ke rumah Ummu Sulaim, yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum)
menggantung, lantas beliau saw. meminumnya secara langsung dari bibir qirbah
itu dengan berdiri, kemudian Ummu Sulaim menyimpan qirbah tersebut untuk
bertabarruk dari sisa bekas tempat minum Nabi saw.
(8). Ibnu Hajar
Alhaitsami menulis riwayat hadits dari Yahya bin Alharits Aldzimaari berkata :
Aku menemui Watsilah bin Al-asqa` RA lantas aku tanyakan : Apa engkau membaiat
Rasulullah dengan tanganmu ini ? Beliau menjawab : Ya.. ! Aku katakan :
Sodorkanlah tanganmu untukku, dan aku akan menciumnya. Kemudian beliau
memberikan tangannya kepadaku, dan akupun menciumnya. (HR. Atthabarani).
(9). Imam
Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Razin, mengatakan ; Kami melintas di
Arrabadzah, lantas diinfokan kepada kami : Di situ ada Shahabat Salamah bin
Al-aqwa` RA, lantas kami menjenguk beliau RA, dan kami ucapkan salam. Lantas
beliau RA menjulurkan tangannya seraya berkata : Aku membaiat Nabi saw. dengan
kedua tanganku ini...! Kemudian beliau membuka telapak tangannya yang gemuk
besar, kemudian kami berdiri dan kami menciumnya.
(10). Imam
Bukhari meriwayatkan dari Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang mengeluarkan
baju jubbahnya Nabi SAW. dan berkata : Ini jubbahnya Rasulullah saw., yang
dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga `aisyah wafat, sekarang aku simpan...!
Dulu Nabi saw. mengenakan jubbah ini, sekarang sering kami cuci (dan airnya
khusus kami berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuhan (dengan
bertabarruk dari air bekas cucian jubbah tersebut).
(11). Ibnu
Taimiyyah dalam kitab karangannya, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim, hal 367,
meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau memperbolehkan amalan
mengusap mimbar masjidnya Nabi SAW. dan ukirannya, untuk tabarrukan, karena
Shahabat Ibnu Umar RA serta para Tabi`in seperti Sa`id bin Musayyib dan Yahya
bin Sa`id yang tergolong ahli fiqih kota Madinah juga mengusap mimbar Nabi saw.
tersebut.
Masih banyak
bukti hadits-hadits Nabi saw. tentang bolehnya bertabarruk kepada barang-barang
milik Nabi saw., serta milik orang-orang shalih, dengan berbagai macam bentuk
dan cara termasuk mencium makam kuburan Nabi saw. dan para wali serta
orang-orang shalih, selama tidak melanggar syariat Islam. Namun jika sampai
menyembah karena mempertuhankan barang-barang tersebut, tentunya diharamkan
oleh syariat Islam. Termasuk diharamkan juga adalah perilaku orang awwan yang
menyembah dan memberi sesajen kepada tempat-tempat maupun kuburan-kuburan
angker yang diyakini ada jin penunggu untuk dimintai banyak hal, padahal tempat-tempat
tersebut bukanlah tempat yang berbarakah dalam standar syariat Islam.
15. Bagaimana hukumnya membaca manaqib?
Mengertikah
saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod
manqobah, yang di
antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji
seseorang.
Jadi membaca
manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang.
Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik
mulia:manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh
Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh
dan tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya.
Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan
hukumnya manaqib?
Betul tetapi
cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu
berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi
dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan,
diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau
saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya
berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi teruskanlah.
Misanya cerita tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai
Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada
prajurut-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah.
Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung
yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita
tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak
lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau keluar
dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu
bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?Baik Nabi Allah
maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya
itu masing-masing tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi
kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat
menghalang-halangi?
Apakah
selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang
menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat,
dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah.Adakah dalil yang menunjukkan
bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulkan hal-hal yang menyimpang
dari adat atau tidak masuk akal?
Silahkan
saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang
dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ
تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ بِهِ
قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ
قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ
شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ
كَرِيْمٌ.
Tetapi di
dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para
roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan,
apakah itu tidak menjadikan musyrik?
Memanggil-manggil
untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah mati atau kepada bapakc
ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau
pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan
pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik. Akan
tetapi kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka
itu tidak ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan
kepada para wali itu maksudnya adalah bertawassul minta dimohonkan kepada Allah
Ta’ala.
Manakah yang
lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?
Langsung
boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan
Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui
Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada
atasan dengan perantaraan Kepala Kantor saudara. Pengertian tawassul yang demikian itu tidak benar.
Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan),
beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai kepercayaan
terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak
perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti itu.
Kalau
saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali
itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang
itu tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah
Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ
رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو
اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan
agama. (Al Mukmin:
24)
وَالَّذِيْنَ
لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih
banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul akan
tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan pengertian
sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan contoh di
bawah ini:
Saudara
mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar, saudara sudah
kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya
ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara
saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata, “Bapak pimpinan
perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang
ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak.
Saya ajak guru saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah
orang yang baik hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”.
Coba
perhatikan! kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak
saudara menghadap majikan besar itu?Ada dua orang pengemis. Yang satu
sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua anaknya yang masih
kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa
berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih mendapat
perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa anak yang
kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah gunanya
pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah
pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah pengemis itu
meminta?
Salah satu
budaya mengenang sejarah dan autobiographi wali adalah manaqib. Manaqiban atau
membaca manaqib dipercaya sebagai jalinan untuk terus-menerus menyambung tali
silaturahmi dengan Syekh Abdul Qadir al Jailany yang dikenal dengan sultanul
aulia. Bagaimana dan apa seputar manaqib itu. Tulisan ini sekedar pendapat
pribadi.
Ayat di
bawah ini bisa dijadikan landasan mengapa kita harus berada di belakang
orang-orang yang selalu berada dalam jalan kembali kepada Allah SWT.
واتبع سبيل
من أناب إلي ثم إلي مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون...
"Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya
kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu
kerjakan." (QS Luqman: 15)
Bersyukur
kepada Allah atas nikmat besar dimana kita masih bisa mendengar tausiah atau
nasehat para ulama yang tidak bosan-bosannya mendorong manusia agar meningkatan
kualitas iman ruhaninya. Bukan sekedar kata-kata, prilaku dan contoh
kehidupannya merupakan pelajaran yang amat berharga yang semestinya dijadikan
teladan bagi para murid-muridnya atau para simpatisannya. Semoga upaya para
ulama ini dapat kita ikuti baik yang mengaku murid-muridnya atau yang menyukai
perjalan ruhani menuju Mahabbah kepada Allah.
Salah satu
tradisi yang dilakukan oleh dunia pesantren adalah mengamalkan manaqib. Manaqib
yang dibaca adalah seputar prikehidupan Syeikh Abdul Qodir al Jilany q.s.a yang
dikenal dengan Sulthanul Auliya. Karenanya manaqib yang dibaca adalah Manaqib
Syeikh Abdul Qadir al Jilany.
Dalam
pembacaan manaqib ini biasanya salah seorang memimpin bacaan yang terdapat
dalam kitab manaqib. Sementara yang lainnya dengan khusu’ mendengarkan secara
aktif dengan memuji Allah dengan kalimat-kalimat yang terdapat dalam Asmaul
Husna. Bagi yang mengerti bacaannya dapat menye¬lami lebih dalam maksud dan
pelajaran-pelajaran dari isi kitab tersebut. Sebab di dalamnya berisi
perikehidupan, kebiasaan dan kelebihan-kelebihan dari Wali Allah. Bagi yang tidak
mengerti akan diterangkan oleh gurunya.
Pembacaan
manaqib ini mempengaruhi tingkat kerohanian para pengamal thareqah. Karena
dengan membaca manaqib diharapkan dapat menda¬patkan limpahan kebaikan dari
Allah SWT (berkah). Mengapa? Sebab di dalam kitab manaqib Syeikh Abdul Qadir Al
Jilani terdapat autobiographi (catatan perjalanan kehidupan) tentu saja di
dalamnya terdapat sejarah, nasihat, prilaku yang bisa dijadikan teladan dari
Syeikh Abdul Qoadir q.s.a
Pengertian dan Manfaat Manaqib
Menurut kamus
Munjib dan Kamus Lisanul ‘Arab, Manaqib adalah ungkapan kata jama’ yang berasal
dari kata Manqibah artinya Atthoriqu fi al jabal jalan menuju gunung atau dapat
diartikan dengan sebuah pengetahuan tentang akhlaq yang terpuji, akhlaqul
karimah. Dari pengertian ini manaqib dapat diartikan sebuah upaya untuk
mendapatkan limpahan kebaik¬an dari Allah SWT dengan cara memahami
kebaikan-kebaikan para kekasih Allah yaitu para Aulia. Sebab Para wali dicintai
oleh Allah dan para wali sangat cinta kepada Allah. (Yuhibbuunallah
wayubibbuhum).
Sebagaimana
ditulis dalam quran:
"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad
dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al
Maidah (5): 54)
Ensiklopedi
Islam mengartikan manakib sebagai sebuah sejarah dan pengalaman spiritual
seorang wali Allah SWT. yang di dalamnya terdapat cerita-cerita, ikhtisar
hikayat, nasihat-nasihat serta peristiwa-peristiwa ajaib yang pernah dialami
seorang syekh. Semuanya ditulis oleh pengikut tarekat atau para pengagumnya dan
dirangkum dari cerita yang bersumber dari murid-muridnya, orang terdekatnya,
keluarga dan sahabat-sahabatnya (Ensiklopedi Islam: 152).
Jadi,
manakib adalah kitab sejarah atau autobiographi yang bersifat hagiografis
(menyanjung) karena manaqib dibaca bertujuan dijadikan teladan bagi pembacanya
disamping juga tujuan tabarruk (mengharap berkah) dan tawassul (membuat perantara
pembaca dengan Allah).
Manaqib
adalah Tawasul
Mengenai
masalah tawasul dan tabarruk, Said Ramdhan al-Buthi menyampaikan bahwa tawassul
dan tabarruk adalah dua kalimat dengan satu arti yang kalau dalam Ushul Fiqh
disebut dengan tanqihul ma¬nath, dengan menjadikan bagian-bagian kecil
(tabarruk) dari satu induk (tawassul) dimasukkan ke dalam induk tersebut.
Namun, al-Buthi dengan tegas mengata¬kan bahwa tawassul adalah tindakan sunnah
dengan bukti banyaknya dalil nash hadits yang shahih. Al-Bukhari meriwayatkan
dari Ummu Salamah bahwa beliau pernah menyimpan beberapa helai rambut Nabi.
Rambut tersebut beliau simpan sebagai obat bagi sahabat yang sakit dengan
mengharap barokah Nabi (Fiqh al-Sirah:177-178).
Pada masa
Rasulullah saw. seperti tertulis dalam kitab Al Hikam dimana Rasulullah saw.
pernah menyuruh Sahabat Ali kw untuk menemui Uways al Qarny r.a untuk
memintakan ampunan kepada Allah SWT. Karena uways ini menurut Nabi saw. akan
menjadi salah satu raja di surga.
Tawasul berupa Amal
Hadits tentang
wasilah berupa amal yang bersumber dari Ibnu Umar ra. . bahwa Rasulullah saw.
bercerita dalam hadits ini yang cukup panjang salah satu intinya adalah ada
tiga orang yang tersesat di dalam gua, lalu tiba-tiba sebuah batu besar
menutupi mulut gua. Namun tiada harapan kecuali berdoa kepada Allah agar batu
bisa tersingkir. Ketika satu demi satu orang berdoa, mereka berwasilah dengan
amal sholeh masing-masing; orang pertama berwasilah pada amal dimana ia pernah
memberikan susu kepada ibudanya padahal anaknya sangat membutuhkan; “Aku lebih
menguta¬makan ibu terlebih dahulu dari pada anak-anakku meskipun anaku merengek
meminta.” Adapun wasilah amal orang kedua adalah kemampuan orang kedua ini
menghentikan niat hendak mau menggauli sepupu perem¬puannya padahal sudah
memberikan uang 100 dinar, namun tidak jadi karena sepupu perempuan¬nya meminta
menikahkannya, akhirnya membatal¬kan niat jahat tersebut. Sedangkan orang
ketiga memiliki wasilah amal dima¬na dia memakan hak gaji pegawai. Ketika
ditegur “takutlah kepada Allah dan janganlah mendzalimi aku.” Karena merasa
takut kepada Allah, setelah sekian lama orang ini memberikan ganti uang hak
pegawai itu berupa peternakan lembu dan anak-anaknya yang telah berkembang biak
yang modalnya diambil dari hak pekerja tersebut. Dari ketiga wasilah orang
tersebut Allah mengge¬rakkan batu besar yang menutupi gua sehingga mereka
bertiga bisa lepas dari musibah. (HR. Bukhari-Muslim)
Dari hadits
tersebut di atas, maka sebuah amal adalah wasilah yang dapat mengantarkan kita
kepada Allah SWT. Dengan amal ini juga boleh jadi dapat memberikan pertolongan
terhadap derita seorang hamba karena tertimpa musibah seperti derita tiga orang
yang terjebak di dalam gua.
Dalil Manaqib
Mendekati
Allah dengan cara mendekati orang-orang yang dicintai Allah adalah sesuai
dengan firman Allah SWT dalam Surat Luqman: 15: “.... dan ikutilah jalan orang
yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Tafsir al
Qurthuby mengartikan “anaba ilayya” kembali kepada-Ku (Allah SWT) yaitu kembali
kepada jalan para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan demikian maka mengikuti
jalan orang-orang sholeh apalagi para ulama dan aulia merupakan anjuran Allah
dan Rasul-Nya. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekha¬watiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus:
62)
Jadi dengan
mengikuti pembacaan manaqib Insya Allah meru¬pakan salah satu jalan tempuh
untuk memperoleh rakhmat dan karunia Allah dengan cepat. Sebab dengan manaqib
ini kita dapat mengenal, memahami, serta menyelami karakter serta sifat-sifat
wali Allah yang tujuan akhirnya dalah untuk diteladani.
Kalau Uwais
ra hidup pada zaman Rasulullah saw. maka para Waliullah yang hidup setelahnya
patut kita contoh. Salah satu¬nya adalah Syeikh Abdul Qadir al Jilany (Allah
telah mensuci¬kan sir nya) yang dikenal dengan sultanul auliaa (Penghulu para
wali).
Diantara
para pembaca manakib ada yang mengamalkan pembacaan manaqib ini secara berkala
mingguan, bulanan tahunan atau kapan saja jika dikehendaki. Atau dalam
moement-moment berkumpul seperti dalam acara syukuran lahir anak atau acara
walimahan. Tentu saja harapannya adalah agar memperoleh keberkahan dalam
kehidupan jasmani dan rohani dunia wal akhirat. Jadi tunggu apalagi, makiban
yuks! Wallahu ‘alam (MK)
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul
muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.
16. Dalil Bolehnya Bertawasul
Banyak
pemahaman saudara-saudara kita muslimin yang perlu diluruskan tentang tawassul,
tawassul adalah berdoa kepada Allah dengan perantara amal shalih, orang shalih,
malaikat, atau orang-orang mukmin.
Tawassul
kepada Rasulullah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, firman
Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64, “Dan Kami tidak mengutus seseorang
Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka
ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah SWT mengampuni
dosa-dosa orang yang dhalim, disamping do’a mereka tetapi ada juga wasilah
(do’anya) Rasulullah SAW.
Soal
tawassul seperti itu, disebutkan pula dalam tafsir Ibnu Katsir, “Berkata
Al-Imam Al-Hafidz As-Syekh Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutkan segolongan ulama’
di antaranya As-Syekh Abu Manshur As-Shibagh dalam kitabnya As-Syaamil dari
Al-Ataby; berkata: saya duduk di kuburan Nabi SAW. maka datanglah seorang Badui
dan ia berkata: Assalamu’alaika ya Rasulullah! Saya telah mendengar Allah
berfirman;
Walaupun sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka
kemudian datang kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul
memintakan ampun untuk mereka, mereka pasti mendapatkan Allah Maha Pengampun
dan Maha Penyayang; dan saya
telah datang kepadamu (kekuburan Rssulullah) dengan meminta ampun akan dosaku
dan memohon syafa’at dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian ia membaca
syair memuji Rasulullah, kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya ketiduran
dan melihat Rasulullah dalam tidur saya, beliau bersabda, “Wahai Ataby
temuilah orang Badui tadi sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni
dosanya.”
Tawassul
merupakan hal yang sunnah, dan tak pernah ditentang oleh Rasul saw., tak pula
oleh Ijma Sahabat radhiyallahuanhum, tak pula oleh Tabiin, dan bahkan para
Ulama dan Imam-Imam besar Muhadditsin, mereka berdoa tanpa perantara atau
dengan perantara, dan tak ada yang menentangnya, apalagi mengharamkannya, atau
bahkan memusyrikkan orang yang mengamalkannya.Pengingkaran hanya muncul pada
abad ke 20 ini, dengan munculnya sekte Wahabi Salafi sesat yang memusyrikkan
orang-orang yang bertawassul, padahal Tawassul adalah sunnah Rasul saw.,
sebagaimana hadits shahih dibawah ini :
"Wahai
Allah, Demi orang-orang yang berdoa kepada Mu, demi orang-orang yang
bersemangat menuju (keridhoan) Mu, dan Demi langkah-langkahku ini kepada
(keridhoan) Mu, maka aku tak keluar dengan niat berbuat jahat, dan tidak pula
berniat membuat kerusuhan, tak pula keluarku ini karena Riya atau sumah..
hingga akhir hadits. (HR Imam Ahmad, Imam Ibn Khuzaimah, Imam Abu Naiem, Imam
Baihaqy, Imam Thabrani, Imam Ibn Sunni, Imam Ibn Majah dengan sanad Shahih).
Hadits ini
kemudian hingga kini digunakan oleh seluruh muslimin untuk doa menuju masjid
dan doa safar.
Tujuh Imam
Muhaddits meriwayatkan hadits ini, bahwa Rasul saw. berdoa dengan Tawassul kepada
orang-orang yang berdoa kepada Allah, lalu kepada orang-orang yang bersemangat
kepada keridhoan Allah, dan barulah bertawassul kepada Amal shalih beliau saw.
(demi langkah2ku ini kepada keridhoan Mu). Siapakah Muhaddits?, Muhaddits
adalah seorang ahli hadits yang sudah hafal minimal 40.000 (empat puluh ribu)
hadits beserta hukum sanad dan hukum matannya, betapa jenius dan briliannya
mereka ini dan betapa Luasnya pemahaman mereka tentang hadist Rasul saw.,
sedangkan satu hadits pendek, bisa menjadi dua halaman bila disertai hukum
sanad dan hukum matannya.
Lalu hadits
diatas diriwayatkan oleh tujuh Muhaddits, apakah kiranya kita masih memilih
pendapat madzhab sesat yang baru muncul di abad ke 20 ini, dengan ucapan
orang-orang yang dianggap muhaddits padahal tak satupun dari mereka mencapai
kategori Muhaddits , dan kategori ulama atau apalagi Imam Madzhab, mereka
hanyalah pencaci, apalagi memusyrikkan orang-orang yang beramal dengan landasan
hadits shahih. Masih banyak hadits lain yang menjadi dalil tawassul adalah
sunnah Rasululloh saw., sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Abu Nu'aim,
Thabrani dan Ibn Hibban dalam shahihnya, bahwa ketika wafatnya Fathimah binti
Asad (Bunda dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dalam hadits itu disebutkan
Rasul saw. rebah/bersandar dikuburnya dan berdoa : "Allah Yang
Menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Hidup tak akan mati, ampunilah dosa
Ibuku Fathimah binti Asad, dan bimbinglah hujjah nya (pertanyaan di kubur), dan
luaskanlah atasnya kuburnya, Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum Mu,
Sungguh Engkau Maha Pengasih dari semua pemilik sifat kasih sayang.",Maka
jelas sudah dengan hadits ini pula bahwa Rasululloh saw. bertawassul di kubur,
kepada para Nabi yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw. (Istri Abu
Thalib).
Demikian
pula tawassul Sayyidina Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa meminta hujan kepada
Allah : Wahai Allah.. kami telah bertawassul dengan Nabi kami (saw.) dan Engkau
beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman beliau (saw.) yang
melihat beliau (saw.), maka turunkanlah hujan".
maka
hujanpun turun. (Shahih Bukhari hadits no.963 dan hadits yang sama pada Shahih
Bukhari hadits no.3508).Umar bin Khattab ra melakukannya, para sahabat tak
menentangnya, demikian pula para Imam-Imam besar itu tak satupun
mengharamkannya, apalagi mengatakan musyrik bagi yang mengamalkannya, hanyalah
pendapat sekte sesat ini yang memusyrikkan orang yang bertawassul, padahal
Rasululloh saw. sendiri bertawassul.
Apakah
mereka memusyrikkan Rasululloh saw.?, dan Sayyidina Umar bin Khattab ra
bertawassul, apakah mereka memusyrikkan Umar?, Naudzubillah dari pemahaman
sesat ini.
Mengenai
pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada
orang yang masih hidup, maka entah darimana pula mereka mengarang persyaratan
tawassul itu, dan mereka mengatakan bahwa orang yang sudah mati tak akan dapat
memberi manfaat lagi, pendapat yang jelas-jelas datang dari pemahaman yang
sangat dangkal, dan pemikiran yang sangat buta terhadap kesucian tauhid. Jelas
dan tanpa syak bahwa tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan
mudharrat terkecuali dengan izin Allah SWT, lalu mereka mengatakan bahwa
makhluk hidup bisa memberi manfaat, dan yang mati mustahil?, lalu dimana
kesucian tauhid dalam keimanan mereka?Tak ada perbedaan dari yang hidup dan
yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah,
Yang hidup
tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan
mustahil memberi manfaat bila dikehendaki Allah. karena penafian kekuasaan
Allah SWT atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas.Ketahuilah bahwa
tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi
berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada
Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah Robbil
alamin, yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi shalih, hidup atau
mati tak membedakan Kudrat ilahi atau membatasi kemampuan Allah, karena
ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walau mereka
telah wafat.Contoh lebih mudah nya sbb, anda ingin melamar pekerjaan, atau
mengemis, lalu anda mendatangi seorang saudagar kaya, dan kebetulan mendiang
tetangga anda yang telah wafat adalah abdi setianya yang selalu dipuji oleh si
saudagar, lalu anda saat melamar pekerjaan atau mungkin mengemis pada saudagar
itu, anda berkata : "Berilah saya tuan.. (atau) terimalah lamaran saya
tuan, saya mohon.. saya adalah tetangga dekat fulan.
Bukankah ini
mengambil manfaat dari orang yang telah mati?, bagaimana dengan pandangan bodoh
yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat??, jelas-jelas saudagar
akan sangat menghormati atau menerima lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda
uang lebih, karena anda menyebut nama orang yang ia cintai, walau sudah wafat,
tapi kecintaan si saudagar akan terus selama saudagar itu masih hidup., pun
seandainya ia tak memberi,
Namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan
Arrahmaan Arrhiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Menyantuni?? dan tetangga anda
yang telah wafat tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang lamaran
anda pada si saudagar,
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul
muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.
17. Hukum Maulid Nabi
Tradisi
merayakan maulid Nabi SAW. 12 Rabiul Awwal (sebagian ada yang mengatakan 9
Rabiul Awwal, juga ada yang mengatakan 17 Rabiul Awwal) tidak hanya ada di
Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam.
Kalangan
awam di antara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi
mereka yang sedikit mengerti hukum agama akan tahu bahwa perkara ini tidak
termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau
ritual peribadatan dalam syariat.
Alasan di
atas dapat dilihat dari bentuk isi acara maulid Nabi yang sangat bervariasi
tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan
gairah ke-Islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW. sulit
membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi
syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta
mubah. Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh
Rasulullah SAW.
Imam
as-Suyuthi mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan maulid Nabi SAW., “Menurut saya
asal perayaan maulid Nabi SAW., yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan
kisah-kisah teladan Nabi SAW. sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya.
Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang.
Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah
(sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan
derajat Nabi SAW., menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi
Muhamad saw. yang mulia.” (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252)
Terkait
dengan bid’ah, Imam Syafi’i menjelaskan, “Sesuatu yang
diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam
agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW., prilakuk sahabat, atau
kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun sesuatu yang
diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an,
Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik).” (Fathul Bari, juz XVII: 10)
Membaca Sholawat
Membaca
shalawat adalah salah satu amalan yang disenangi orang-orang NU, disamping
amalan-amalan lain. Ada shalawat “Nariyah”, ada sholawat Badr, ada “Thibbi
Qulub”. Ada shalawat “Tunjina”, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan
“hizib” dan “rawatib” yang tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong
semangat keagamaan dan cita-cita kepada Rasulullah sekaligus ibadah.
Salah satu
hadits yang membuat kita rajin membaca shalawat ialah sabda Rasulullah, “Siapa
membaca shalawat untukku, Allah akan membalasnya 10 kebaikan, diampuni 10
dosanya, dan ditambah 10 derajat baginya. Makanya, bagi orang-orang NU, setiap kegiatan
keagamaan bisa disisipi bacaan shalawat dengan segala ragamnya.
Hadits Ibnu
Mundah dari Jabir, ia mengatakan Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa membaca
shalawat kepadaku 100 kali maka Allah akan mengabulkan 100 kali hajatnya; 70
hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang
mengatakan: Perbanyaklah shalawat kepadaku karena dapat memecahkan
masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.
Rasulullah
di alam barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan menjawabnya
sesuai jawaban yang terkait dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut
dalam hadits. Rasulullah SAW. bersabda: Hidupku, juga matiku, lebih baik
dari kalian. Kalian membicarakan dan juga dibicarakan, amal-amal kalian
disampaikan kepadaku; jika saya tahu amal itu baik, aku memuji Allah, tetapi
kalau buruk aku mintakan ampun kepada Allah. (Hadits riwayat Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab
shalawat ‘ala an-Nabi). Imam Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid meyakini bahwa hadits di atas
adalah shahih. Hal ini jelas bahwa Rasulullah memintakan ampun umatnya
(istighfar) di alam barzakh. Istighfar adalah doa, dan doa Rasul untuk umatnya
pasti bermanfaat.
18. Dalil Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah
Amalan ini
adalah baik dan dianjurkan, dengan alasan.
1. Dari sisi
dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh
agama. Diriwayatkan dari Abu Dawud, Nasai, dan Ahmad, pada masa Rasulullah
SAW., para sahabat juga membaca syair di Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata,
“Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang
sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab,
‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih
mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan
perkataannya.‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah saw.,
jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh
al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah
mendengarnya). ”
Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain menjelaskan adanya kebolehan
melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan
ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili
Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).
2. Dari sisi
syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, amaliah ini
merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah
masyarakat.
19. Berzikir dengan pengeras suara
Dzikir
adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan
kapanpun. Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa
yang tulus, dan khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang
khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang
memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir
dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan
khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan
cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara
untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih
utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan
ke-khusyu’-an.
Imam
Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa
secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa
secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak
bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya
supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk
mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir
dan doa.
Memang ada
banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana
juga banyak sabda Nabi saw. yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang
pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-masing
memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan
kondisi. Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu
Abbas berikut ini, "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa
dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak
meninggalkan masjid.” (HR
Bukhari dan Muslim). Ibnu Adra’ berkata, "Pernah Saya
berjalan bersama Rasulullah saw. lalu bertemu dengan seorang laki-laki di
Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai
Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah saw.
menjawab, "Tidak, tapi
dia sedang mencari ketenangan." Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir
secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda, "Keutamaan
dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua
hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:
Imam Nawawi
menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan
suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut,
bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya',
mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih
utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu
bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang
yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan
pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).
20. Hukum Meng-Hadiah-kan Fatihah
Di antara
tradisi umat Islam adalah membaca surat al-Fatihah dan menghadiahkan pahalanya
untuk Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Para ulama mengatakan bahwa hukum
perbuatan ini adalah boleh. Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali mengatakan, "Disunnahkan
menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi saw.”
Bukankah
seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian
derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan
ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua semua amal umatnya otomatis
masuk dalam timbangan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah
masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat
terhadap Nabi saw. kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada
Nabi.
Al Muhaddits
Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, hhm. 270, mengatakan, "Menurut saya
boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan Al-Qu'an atau yang lain kepada
baginda Nabi saw., meskipun beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan
yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal
tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa
itu dilarang.”
21. Hukum Bacaan
al-Qur’an, Doa (Tahlil) dan Jamuan makan untuk orang mati
Dalam hal
ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan
shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya,
sebagai berikut, “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia
kerjakan”. (QS
An-Najm 53: 39). Juga hadits Nabi Muhammad SAW., “Jika anak
Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh
jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”
Mereka
sepertinya, hanya secara parsial memahami kedua dalil di atas, tanpa
menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil,
do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati.
Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW.
beberapa di antaranya, “Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata:
Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah
mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hadith dijelaskan, “Bertanya
seorang laki-laki kepada Nabi saw.; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah
mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah
menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Di dalam
Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa surat Al-Najm ayat 39 di
atas diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang
musyrik, dan orang musyrik tadi berkata, “Kalau engkau
kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung
siksaanmu di akhera.t” Maka Allah
SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa
menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan
berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada
orang mati dan lain-lainnya.
Ibnu
Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang
berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya
tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah
sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang
hidup.
Dr. Ahmad
as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka
fid Diini wal Hayaah juz 1 : 442,
sebagai berikut, “Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman
pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan
hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah
saw., seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk
keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa
bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka?
Rasulullah saw. bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan
sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan
kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian
bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!"
Sedangkan Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal,
hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu
termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi
jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya
dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain
yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati
tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah
kepada orang lain.
22. Tahlilan/Kenduri Arwah, Mana dalilnya?
Acara
tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an,
dzikir(Tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dll), Sholawat dan lain
sebagainya yg bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang membacanya juga
bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami
sampaikan beberapa dalil yang menerangkan sampainya amalan tsb (karena
keterbatasan ruang & waktu maka kami sampaikan sementara dalil yg dianggap
urgen saja, Insya Alloh akan disambung karena masih ada beberapa dalil hadits
& pendapat ulama terutama ulama yang sering dijadikan sandaran sodara kita
yg tidak menyetujui adanya acara tahlilan diantaranya pendapat Syaikhul Islam
Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani dll..
DALIL
SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1. Dalil
Alqur’an:
Artinya:” Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a
:” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat
ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan
ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan
bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih
hidup.
2. Dalil
Hadits
a. Dalam
hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit
dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a
shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:”
Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW. – setelah
selesai shalat jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia,
maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah
kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari
segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah
untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang
lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan
peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Tentang do’a
setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW. apabila selesai
menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk
saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang
ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan
tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia
bertanya kepada Nabi SAW.:
Artinya:”
bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW.
menjawab, “Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik
mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi
pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti
menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam
Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya:
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika
ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW. unntuk bertanya:” Wahai
Rasulullah SAW. sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di
tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul saw. menjawab:
Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan
untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil
Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum
Artinya:
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW. bersabda:” Barang siapa yang meninggal
dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya”(HR
Bukhari dan Muslim)
d. Dalil
Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji
Artinya:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi saw.
dan bertanya:” Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana
sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya,
bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ?
bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR
Bukhari)
3. Dalil
Ijma’
a. Para
ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.
b. Bebasnya
hutang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini
berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang
seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi saw.
bersabda:
Artinya:”
Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
4. Dalil
Qiyas
Pahala itu
adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang
muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang
menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang
setelah wafatnya.
Islam telah
memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca
Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah
menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai
kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang
berupa perbuatan dan niat.
Adapun dalil
yang menerangkan shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu seperti hari ke
satu, dua sampai dengan ke tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits marfu’ mursal dari
tiga orang tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid yang dapat
dijadikan qaid kepada hadits-hadits mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk
bershadaqah untuk mayit) di atas:
a. Riwayat
Thaus :
Bahwa
orang-orang mati itu akan mendapat fitnah (ujian) di dalam alam kubur mereka
tujuh hari. Maka mereka (para sahabat) itu menganjurkan untuk memberi shadaqah
makanan atas nama mereka selama hari-hari itu.
b. Sebagai
tambahan dari riwayat Ubaid bin Umair:
Terjadi
fitnah kubur terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang munafiq.
Adapun terhadap orang mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang munafiq
dilakukan 40 hari.
c. Ada lagi
tambahan dalam riwayat Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu
berada diatas pekuburan selama tujuh hari, sejak dikuburkan tidak memisahinya.
Kemudian
dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu
mengulangi pertanyaan-pertanyaan tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam
soal ini dapat dibaca dalam buku “Thulu’ ats-tsuraiya di izhaari makana
khafiya” susunan al Imam Suyuty dalam kitab “ Al-Hawi lil fatawiy” jilid II.
Tambahan:
Sampainya
Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)
A.
Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan
1. Hadits
tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya
nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan
dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini
menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang
yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah
mati, namun setelah mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu
umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah
qurtubi halaman 25).
Oleh karena
itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “
Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang
dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in)
pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan
(pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma .
(Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits
dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah
pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya”
Hadits ini
agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat
sedangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits
Riwayat darulqutni
“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al
ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang
telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang
mati disitu”.
4. Hadits
marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al
ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang
telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang
mati disitu”.
(Mukhtasar
Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits
Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Jika mati salah
seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur
dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits
riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat
yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa
Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata
Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya
mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka
bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah
pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada
mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai
dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si
fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata
Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun
Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara
sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana
sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata
Ibnu taymiyah :
“sesungguhnya
mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah
dan seumpamanya”. (yas alunka fiddin wal hayat jilid I/442).
Di atas
adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada hal. 324. Ibnu
taimiah ditanya mengenai seseorang yang bertahlil,
bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut kepada simayat
muslim lantas ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai kepada si mayat dan
juga tasbih, takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaikan pahalanya kepada
si mayat maka ianya sampai dan bagus serta baik.
Mengapa
Wahhabi menolak dan menyesatkan amalan ini.
Di atas
adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juz 24 hal. 324.ibnu taimiah di
tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali dan menghadiahkan kepada si
mayat muslim lantas ibnu taimiah mengatakan amalan itu adalah amat memberi
manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu
qayyim al-jauziyah:
“sesuatu
yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa
untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan
pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai
kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka
fiddin wal hayat jilid I/442)
Berkata Ibnu
qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’
sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata : Menceritakan
kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin
mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami
Abdurrahman bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka
letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat
al-baqarah disamping kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin
Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim
dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad
bin al-warraq, menceritakan kepadaku Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang
yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan
Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit
dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk disamping kubur (sambil membaca
al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya
membaca al-qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar
dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal :
“Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam
Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau
meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan
kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa
dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya
permulaan surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar
Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad
berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan
(Kitab ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
5. Berkata
Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “ Tokoh-tokoh
madzab hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik
sedekah atau membaca al-qur’an atau selain demikian daripada macam-macam
kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya
itu akan sampai kepadanya.
6. Imam
sya’bi ; “Orang-orang anshar jika ada diantara mereka yang meninggal, maka
mereka berbondong-bondong ke kuburnya sambil membaca al-qur’an disampingnaya”.
(ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh
hal. 13).
7. Berkata
Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya
pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun
ulama-ulama mutakhirin berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan
demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun
menukil bahwa pendapat inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah
halaman 13).
8. Berkata
Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk orang-orang yang
sudah meninggak hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya
kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan
adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi
rosail).
9. Berkata
imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang
yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan
al-qur’an, doa dan istighfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan
dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan
adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi halaman 26).
Begitu
banyaknya Imam-imam dan ulama ahlussunnah yang menyatakan sampainya pahala
bacaan alqur’an yang dihadiahkan untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami
bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu
panjang.
C. Dalam
Madzab Imam syafii
Untuk
menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar
halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat.
Pendapat yang masyhur dari madzab Syafii dan sekelompok ulama adalah tidak
sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafii berpendapat
bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa :
“Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut
dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam
Madzab syafii menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi
menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar
disampaikan pahala bacaan tersebut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini
karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang
tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki
oleh si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam
hal pahala bacaan :
1. Qaul yang
masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang
mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai
qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria
Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang
dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzhab syafii itu dibawa atas
pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula
meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai
syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan
dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah
satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2.
Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya
disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada
juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul
Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau
dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca
Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu
seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun
Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan
yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan
itu kepadanya.
2. Pembacaan
yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk si mayyit
juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah
seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan
syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
D.
Dalil-dalil orang yang membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis
riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab :
Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan
hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati
karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a
intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a
‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq)
dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala
orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit
itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain,
maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai
membayar hutang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah
memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.
2. Firman
Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum
dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang
telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain
dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
Jawab :
Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakannya ayat tersebut sebagai
dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam
syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia
dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat,
melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik
untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya. Maka
banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya.
Merekapun
berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang
sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan
masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam ikatan
islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya kemanfaatan dari
masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini
maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang lain.
Dalam satu
penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai sebab untuk
memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain.
Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari
sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian
pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian
dari usahanya sendiri).
2. Ayat
al-qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab
usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang
terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa
sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha
orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia
mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia
boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil
insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah
dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.
b. Berkata
pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam
(umat Nabi Muhammad SAW.), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan
juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat
itu menerangkan hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim,
bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat
tersebut berbunyi :
“ Atau belum
dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang
telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain
dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
c. Sahabat
Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirkan ayat
tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita
dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka
dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’
(tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah
yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu
adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan
iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah
mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang
dikerjakannya”.
Jadi menurut
Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah
tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut
dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak ada
seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli),
adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa
yang tidak dia usahakan.
Demikianlah
penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah demi
untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhahir ayat semata-mata karena
kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil baik dari al-qur’an
maupun hadits-hadits shahih yang ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi
gugur dan tidak bias dipakai sebagai dalil.
3. Dalil
mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa
yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan
(daripada kejahatan)”.
Jawab :
Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr
(pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang
mendapatkan apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya
tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini
sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan
bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang
kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya
kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa laha
illa maa kasabat”
“Tidak ada
baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia
usahakan”.
4. Dalil
mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka
kerjakan”.
Jawab : Ayat
ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat
tersebut adalah :
“Pada hari
dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan
diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi dengan
memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu
adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya
pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah
hal. 456).
(ringkasan
dari Buku argumentasi Ulama syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji
Mujiburahman, halaman 142-159, mutiara ilmu)
Semoga
menjadi asbab hidayah bagi Ummat
23. Hukum Membaca Al-Barzanji
Di
Indonesia, peringatan Maulid Nabi (orang banjar menyebutnya *Ba-Mulud’an*)
sudah
melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap
memasuki
Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi
pendidikan,
dan majelis taklim bersiap memperingatinya dengan beragam cara
dan acara;
dari sekadar menggelar pengajian kecil-kecilan hingga seremoni
akbar dan
bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga ritual-ritual yang sarat
tradisi
(lokal).
Di antara
yang berbasis tradisi adalah:
*Manyanggar
Banua, Mapanretasi di Pagatan, Ba’Ayun Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin,
Kalimantan Selatan
*Sekaten, di
Keraton Yogyakarta dan Surakarta,
*Gerebeg
Mulud di Demak,
*Panjang
Jimat *di Kasultanan Cirebon,
*Mandi
Barokah *di Cikelet Garut, dan sebagainya.
Tradisi lain
yang tak kalah populer adalah pembacaan Kitab al-Barzanji. Membaca Barzanji
seolah menjadi sesi yang tak boleh ditinggalkan dalam setiap peringatan
Maulid Nabi.
Pembacaannya dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan
notasi apa
pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang mengaturnya.
Al-Barzanji
adalah karya tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur
tentang
biografi Muhammad, mencakup *nasab*-nya (silsilah), kehidupannya
dari masa
kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahkan
sifat-sifat
mulia yang dimilikinya, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan
teladan
manusia.
Judul
aslinya adalah *’Iqd al-Jawahir *(Kalung Permata). Namun, dalam
perkembangannya,
nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu
Syekh Ja’far
ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang
sufi yang
lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
*Relasi
Berjanji dan Muludan
*Ada catatan
menarik dari Nico Captein, seorang orientalis dari Universitas
Leiden,
dalam bukunya yang berjudul *Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad
saw. *(INIS,
1994).
Menurutnya,
Maulid Nabi pada mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah
Fatimiyah
(909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut
benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di
balik
perayaannya.
Dari
kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin
pada abad
XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan
seluruh
penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak
memperingati
karena dinilai *bid’ah *(mengada-ada dalam beribadah).
Di
Indonesia, tradisi Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin
*(sebutan
untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi,
namun kerap diselenggarakan pula pada tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran,
*akikah *dan potong rambut, pernikahan, syukuran, dan upacara lainnya. Bahkan,
pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah menjadi kurikulum wajib.
Selain al-Barzanji,
terdapat pula kitab-kitab sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan
kepribadian Nabi. Misalnya, kitab
*Shimthual-Durar,
karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair Maulud Al-Habsy),
*al-Burdah,
karya al-Bushiri dan
*al-Diba,
karya Abdurrahman al-Diba’iy.
Inovasi Baru
Esensi
Maulid adalah penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai
satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola
menjadi miniatur dari idealisme, kristalisasi dari berbagai falsafah hidup yang
diyakini. Penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan
kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awwal.
Kaitannya
dengan kebangsaan, identitas dan nasionalisme seseorang akan lahir
jika ia
membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut
agama akan
ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya
Kitab
al-Barzanji merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial
itu, yakni
‘menghidupkan’ tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
Permasalahannya
sekarang, sudahkah pelaku Berjanjen memahami bait-bait indah
al-Barzanji
sehingga menjadikannya inspirator dan motivator keteladanan?
Barangkali,
bagi kalangan santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna
tiap baitnya
karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah
kajian
khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari al-Barzanji, yaitu
kitab
*Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman
mereka
semakin komprehensif.
Bagaimana
dengan masyarakat awam? Tentu mereka tidak bisa seperti itu.
Karena
mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab
itu bertutur
tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya,
penjiwaan
dan penghayatan makna al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator
hidup
menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang tersakralkan.
Barangkali,
kita perlu berinovasi agar pesan-pesan profetik di balik bait
al-Barzanji
menjadi tersampaikan kepada pelakunya (terutama masyarakat awam)
secara utuh
menyeluruh. Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah
yang andal
dan sastrawan-sastrawan ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanji
ke dalam
konteks bahasa kekinian dan kedisinian. Selain itu, juga
mempertimbangkan
kesiapan masyarakat menerima inovasi baru terhadap
aktivitas
yang kadung tersakralkan itu.
Inovasi
dapat diimplementasikan dengan menerjemahkan dan menekankan aspek
keteladan.
Dilakukan secara gradual pasca-membaca dan melantunkan syair
al-Barzanji.
Atau mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertakan
bahasa Arab,
kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti
dipertunjukkan
W.S. Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada
Pentas
Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor,
Senayan,
Jakarta.
Sebagai
pungkasan, semoga Barzanji tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam upacara, tapi
(yang penting) juga mampu menggerakkan pikiran, hati, pandangan hidup serta
sikap kita untuk menjadi lebih baik sebagaimana Nabi.
Dan semoga,
Maulid dapat mengentaskan kita dari keterpurukan sebagaimana Shalahuddin
Al-Ayubi sukses membangkitkan semangat tentaranya hingga menang
dalam
pertempuran.
Garis Keturunan Syekh al-Barzanji :
Sayyid
Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Syed
ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Syed ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn
Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah
ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam
Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali
r.a. dan Sayidatina Fatimah binti Rasulullah saw.
Dinamakan
Al-Barjanzy karena dinisbahkan kepada nama desa pengarang yang terletak di
Barjanziyah kawasan Akrad (kurdistan). Kitab tersebut nama aslinya ‘Iqd
al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya kalung permata) sebagian ulama menyatakan
bahwa nama karangannya adalah “I’qdul Jawhar fi mawlid anNabiyyil Azhar”. yang
disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw., meskipun
kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Beliau
dilahirkan di Madinah Al Munawwarah pada hari Kamis, awal bulan Zulhijjah tahun
1126 H (1960 M) (1766 beliau menghafal Al-Quran 30 Juz kepada Syaikh Ismail
Alyamany dan Tashih Quran (mujawwad) kepada syaikh Yusuf Asho’idy kemudian
belajar ilmu naqliyah (quran Dan Haditz) dan ‘Aqliyah kepada ulama-ulama masjid
nabawi Madinah Al Munawwarah dan tokoh-tokoh qabilah daerah Barjanzi kemudian
belajar ilmu nahwu, sharaf, mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh, Khat, hisab, fiqih,
ushul fiqh, falsafah, ilmu hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu mustalah hadis,
tafsir, hadis, ilmu hukum, Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu dipelajari
selama beliau ikut duduk belajar bersama ulama-ulama masjid nabawi. Dan ketika
umurnya mencapai 31 tahun atau bertepatan 1159 H barulah beliau menjadi seorang
yang ‘Alim wal ‘Allaamah dan Ulama besar.
Kitab
“Mawlid al-Barzanji” ini telah disyarahkan oleh al-’Allaamah al-Faqih
asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan
Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan
bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji” yang telah
banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping
itu, kitab Mawlid Sidi Ja’far al-Barzanji ini telah disyarahkan pula oleh para
ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh
Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari dengan
kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji”. Beliau ini adalah seorang
ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan
menjalankan Thoriqah asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217H (1802M)
dan wafat pada tahun 1299H (1882M).
Selain itu
ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan
penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul ‘Ulama-il
Hijaz, an-Nawawi ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi turut
menulis syarah yang lathifah bagi “Mawlid al-Barzanji” dan karangannya itu
dinamakannya “Madaarijush Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid
Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi
bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far
al-Barzanji, telah juga menulis syarah bagi “Mawlid al-Barzanji” tersebut yang
dinamakannya “al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Mawlidin Nabiyil Azhar”.
Sayyid
Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif. Beliau
juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak,
antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaa-il Ramadhan”,
“Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhau-il
Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang
menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far al-Barzanji
dalam kitabnya “ar-Raudhul A’thar fi Manaqib as-Sayyid Ja’far”.
Kembali
kepada Sidi Ja’far al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga
menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia
tersebut. Beliau terkenal bukan sahaja kerana ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi
juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta
beliau berdoa untuk hujan pada musim-musim kemarau. Diceritakan bahawa satu
ketika di musim kemarau, sedang beliau sedang menyampaikan khutbah Jumaatnya,
seseorang telah meminta beliau beristisqa` memohon hujan. Maka dalam khutbahnya
itu beliau pun berdoa memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan
hujan terus turun dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaimana yang
pernah berlaku pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. dahulu. Menyaksikan peristiwa
tersebut, maka sebahagian ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan bait-bait
syair yang berbunyi:-
سقى الفروق
بالعباس قدما * و نحن بجعفر غيثا سقينا
فذاك و سيلة
لهم و هذا * وسيلتنا إمام العارفينا
Dahulu
al-Faruuq dengan al-’Abbas beristisqa` memohon hujan
Dan kami
dengan Ja’far pula beristisqa` memohon hujan
Maka yang
demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini
wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Sidi Ja’far
al-Barzanji wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah
bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi s.a.w.
Karangannya membawa umat ingatkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat kasihkan
Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali
karangannya dibaca, pasti sholawat dan salam dilantunkan buat Junjungan Nabi
s.a.w. Juga umat tidak lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang telah berjasa
menyebarkan keharuman pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan
Adnan. Allahu … Allah.
اللهم اغفر
لناسج هذه البرود المحبرة المولدية
سيدنا جعفر
من إلى البرزنج نسبته و منتماه
و حقق له الفوز
بقربك و الرجاء و الأمنية
و اجعل مع
المقربين مقيله و سكناه
و استرله
عيبه و عجزه و حصره و عيه
و كاتبها و
قارئها و من اصاخ إليه سمعه و اصغاه
Ya Allah
ampunkan pengarang jalinan mawlid indah nyata
Sayyidina
Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan
berdamping denganMu hasilkan baginya
Juga kabul
segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah
dia bersama muqarrabin berkediaman dalam syurga
Tutupkan
segala keaiban dan kelemahannya
Segala
kekurangan dan kekeliruannya
Seumpamanya
Ya Allah harap dikurnia juga
Bagi
penulis, pembaca serta pendengarnya
و صلى الله
على سيدنا محمد و على اله و صحبه و سلم
و الحمد لله
رب العالمين
Dalam
bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi SAW.
dalam Islam (1991), sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel,
menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far al-Barzanji, dalam bahasa Arab,
sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks
itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi.
Untaian
syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak
terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili
di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi
bahasa Indonesia dari syair itu, semisal hasil terjemahan HAA Dahlan atau Ahmad
Najieh, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum
sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara
sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanji merupakan
biografi puitis Nabi Muhammad SAW. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua:
“Natsar” dan “Nadhom”. Bagian “Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat
355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir.
Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW., mulai dari saat-saat
menjelang paduka dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas
kenabian. Sementara, bagian “Nadhom” terdiri atas 16 subbagian yang memuat 205
untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam
untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan
sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian “Nadhom”, misalnya,
antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan: Engkau mentari, engkau
bulan/ Engkau cahaya di atas cahaya.
Di antara
idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya
seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain.
Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat
dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah
Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “untaian mutiara”.
Namun,
bahasa puisi yang gemerlapan itu, seringkali juga terasa rapuh. Dalam karya
Ja’far al-Barzanji pun, ada bagian-bagian deskriptif yang mungkin terlampau
meluap. Dalam bagian “Natsar”, misalnya, sebagaimana yang diterjemahkan oleh
HAA Dahlan, kita mendapatkan lukisan demikian: Dan setiap binatang yang hidup
milik suku Quraisy memperbincangkan kehamilan Siti Aminah dengan bahasa Arab
yang fasih.
Betapapun,
kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari
perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat
Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadis, dan sirah nabawiyyah.
Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke
dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat
merasakan madah yang indah.
Salah satu
hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanji adalah
kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan
bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk
tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam di berbagai
negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sifatnya:
Wajahnya
tampan, perilakunya sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya
mancung,jenggotnya yang tebal,Mempunyai akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih,
sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah,
wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat
kebajikan bersedekah,dan sangat pemurah.
Seorang
ulama besar yang berdedikasi mengajarkan ilmunya di Masjid Kakeknya (Masjid
Nabawi) SAW. sekaligus beliau menjadi seorang mufti Mahzhab Syafiiyah di kota
madinah Munawwarah.
“Al-’Allaamah
al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji adalah MUFTI
ASY-SYAFI`IYYAH di Kota Madinah al-Munawwarah. Banyak perbedaan tentang tanggal
wafatnya, sebagian menyebut beliau meninggal pada tahun 1177 H. Imam az-Zubaidi
dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash” menulis bahwa beliau wafat tahun 1184 H, dimana
Imam az-Zubaidi pernah berjumpa dengan beliau dan menghadiri majelis
pengajiannya di Masjid Nabawi yang mulia.
Maulid
karangan beliau ini adalah kitab maulid yang paling terkenal dan paling
tersebar ke pelosok negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun di Barat.
Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan ‘Ajam (luar Arab) yang menghafalnya dan mereka
membacanya dalam waktu-waktu tertentu. Kandungannya merupakan khulaashah
(ringkasan) sirah nabawiyyah yang meliputi kisah lahir baginda, perutusan
baginda sebagai rasul, hijrah, akhlak, peperangan sehingga kewafatan baginda.
Wafat:
Beliau telah
kembali ke rahmatullah pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun 1177 H
(1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga Rasulullah saw.
Kitab maulid
Barzanji sendiri telah disyarah (dijelaskan) oleh ulama-ulama besar seperti
Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari
yang mengarang kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al- Barzanji” dan Sayyidul
‘Ulama-il Hijaz, Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi “Madaarijush Shu`uud
ila Iktisaa-il Buruud”.
JazaakumuLlahu khoiron katsiiroo
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
HapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
ALAT BANTU SEX PRIA
Hapus✔ Boneka Full Body
✔ Vagina Senter Elektrik
✔ Vagina Ngangkang Getar Suara
✔ Vagina Getar Goyang Suara
ALAT BANTU SEX WANITA
✔ Penis Ikat Pinggang
✔ Penis Maju Mundur Getar Putar
✔ Penis Tempel Pompa
✔ Penis Tempel Elektrik
✔ Penis Tempel Manual
✔ Penis Sakky Mini Elektrik
OBAT TAHAN LAMA
✔ Obat Kuat Sex
✔ Obat Tahan Lama
✔ Obat Kuat
✔ Procomil Spray
✔ Cream Tahan Lama
✔ Obat Kuat Sex Pria
✔ Obat Impoten
KOSMETIK
✔ Alat Pembesar Payudara
✔ Cream Pembesar Payudara
✔ Obat Pemutih Kulit Badan
✔ Obat Penghilang Tatto
✔ Perawatan Tubuh
HUB : 0823 2299 4900
PIN BB : 27683D29
PEMBESAR PENIS
Hapus✔ Obat Pembesar Penis
✔ Vimax Asli
✔ Alat Pembesar Penis
✔ Pro Extender
✔ Celana Pembesar Penis
✔ Pembesar Penis
✔ Vigrx Plus Asli
✔ Oil Qum Araby
✔ Minyak Lintah Papua
OBAT PERANGSANG
✔ Permen Valentine
✔ Permen Karet Perangsang
✔ Ailida Candy
✔ Sex Drops
✔ Obat Perangsang Cair
✔ Perangsang Cair
✔ Obat Perangsang Wanita
✔ Obat Perangsang
✔ Perangsang Cair
✔ Black Ant Cair
✔ Black Ant Serbuk
✔ Obat Perangsang Wanita Serbuk
✔ Gel Perangsang Wanita
KONDOM SILIKON
✔ Kondom Getar
✔ Kondom Mutiara
✔ Kondom Lele Berduri
✔ Kondom Duri
✔ Kondom Berotot
✔ Kondom Sambung
✔ Kondom Sambung Jumbo
✔ Ring Penis
OBAT PENYUBUR SPERMA
✔ Semenax
✔ Obat Pembesar Penis
Jazakallahu khoiron katsiroo....Saya ijin copy...:-)
BalasHapusIjin copy ya kang. Terima kasih
BalasHapusterima kasih mas
BalasHapussemoga jadi amal sholeh anda
izin coopas
BalasHapussmoga bermanfaat
jangan menjelek jelekkan ulama, karna anda bukan ulama yang berhak menyebarkan kejelekan ulama hanyalah orang yang setara ilmunya atau yang lebih tinggi atau ulama juga, sedangkan anda bukanlah ulama bahkan ulama gak kenal anda, kemudian lagi, shalawat nabi saja masih di singkat ini pertanyaan besar???????? jangan hanya mengandalkan kitab dari satu pemahaman tapi semua pemahaman harus di baca dan dibandingkan, seorang berhak berfatwa atau menjadi seorang ulama butuh waktu bertahun tahun menuntut ilmu,sampai mereka berkorban nyawa, lalu tiba tiba orang orang yang sekarang baru baca beberapa kitab sudah merasa diri sudah bisa berfatwa bahwa si ulama' fulan begini dan begini dan parahnya disebarkan ke banyak orang innalillahi, semoga Allah memasukkan kita kesurganya dan menjauhkan dari api neraka!
BalasHapusSing sombong jane sapa?
Hapus----------------------
sebelumnya ma'af saudaraku sesama muslim, sebenarnya sampean tahu dan paham gak dengan maksut dan tujuan artikel ini di tulis..???
Hapusdan ma'af lagi, adakah amalan dan syiar serta usaha anda yang lebih baik dari sahabat kita " santri ini..??
jaglah ukhuwah islamiah dan silaturhkhim, serta dakwah islamiah, ojo mung isane mendebat dan komentar aja.
karena memang orang yg suka debat itu biasanya jarang bisa malakukan amaliah sepeerti ini, karena bisanya cuma debat.
dan untuk do'anya "amiin
klo blm membaca lengkap, mohon jangan asal komentar.
BalasHapusBiasa Kang Mas Bro.. Baca Cepat Pemahaman Cepat Hasil pun cepat..
BalasHapusYang tidak sehaluan biarlah berjalan apa adanya...
Shollu 'ala nabi Muhammad..
syukron ustad atas pencerahannya ana syuka banget alnya dikit dikit bid'ah dikit dikit bid'ah .,..
BalasHapusalhamdulillah.., semoga amalan2 kita diperebutkan para malaikat.,
BalasHapusizin copas bos!
BalasHapussungguh analisa jitu krn diberi sejarah hukum yang sangat terang......orang yang fikirannya flu tidak mampu memahami ini....krn sedang tersumbat ...
BalasHapusIzin Download ....Thanks....
BalasHapusIjin copy ya kang. Terima kasih
BalasHapusapik tenan izin kopi yo bro
BalasHapusIjin copy, matursuwun pencerahannya
BalasHapusizin kopy ngih mas,, artikel yang luar biasa, monggo diteruskan dakwahnya insyaAllah barokah Aamii
BalasHapusSubhanallah, artikel yang b yang baik, semoga memberi manfaat untuk semua, mari kita buang kebencian diantara sesama muslim. aku kembali untuk berusaha mencintai Allah dan RasulNya dengan bershalawat, karena aku ingin dicintai Allah dan RasulNya. Trim's NU, aku kembali kepada mu..
BalasHapususulan: biar lebih ilmiah diberikan keterangan kutipan seperti nama pengarang:halaman untuk catatan kaki (hehehe kayak skripsi). trus hadits-hadits nya diberi keterangan halaman dan nomor hadist untuk setiap periwayatannya.hehe maklum ane awam agama. eehhh mau nanya juga: ane baca sebagian besar rujukan ulamanya sama (ibnu taimiyah, ibnu qayyim, ibnu hajar) tapi kok bisa beda pemahaman ya sama salafi
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusijin co-pas mas ya, suwun
BalasHapusKlo sependapat ikuti klo beda maklumi, sisakan ruang dihati kita tuk menyimpan perbedaan dg siapapun niscaya tak akan timbul kebencian tapi justru timbul persaudaraan.......dengan perbedaan justru akan menjadi penyemangat mencari ilmu lebih banyak...masih ngeganjel juga? tanyakan pada diri..sudahkan aku cukup ilmu?..Allohu Akbar!!!
BalasHapusakhirnya perdebatan, perselisihan atau perbincangan tentang Bid"ah menjadi tidak berguna. karena masing-masing pihak tidak memiliki kesamaan pandang tentang terminologi Bid'ah, atau ditulis BIDAH pada kitab terjemahan Bible versi tertentu, artinya semenjak zaman nabi Isa a.s. perdebatan bid'ah sudah terjadi. dan juga tidak menemukan titik temu. lantas masih pentingkah untuk dipedebatkan?
BalasHapusPLETAS PLETUSSS
BalasHapusعَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
BalasHapusDari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata: Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya[1]), maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak).
Ada yang menafsirkan dengan menggiring dari hilir, adapula yang menafsirkan dari hulu.
BalasHapusTidak perlu diperdebatkan, urusan masing-masing saja, kalau ternyata salah dan baru tahu setelah di akhirat nanti, kan yang rugi juga masing-masing.
Mantabbbbb
BalasHapusSyukron Ustadz, ijin mohon copas untuk pencerahan jamaah mushola Nurul Falah Gang Melati-Jagakarsa-Jakarta Selatan
BalasHapusEmangnya di islam ad istilah bid´ah hasanah ya ? Apa cuman istilah shina'i .. Alias sina' bi nafsi...
BalasHapusEmangnya di islam ad istilah bid´ah hasanah ya ? Apa cuman istilah shina'i .. Alias sina' bi nafsi...
BalasHapusijin copy nggih kang
BalasHapusmatur suwun
Izin copy mas..., terima kasih
BalasHapusSubhanalloh, penjelasan yang sangat detail, ilmiah, dan luar biasa. baru kali ini saya benar-benar meyakini bahwa apa yang diamalkan para ulama NU dan jama'ahnya adalah sangat mulia. jauh dari yang dituduhkan kelompok yang memvonis bid'ah (sesat). saya terlahir dari keluarga nahdliyin, dan sempat terombang-ambing dengan berbagi pemahaman yang banyak mengklaim ahli sunnah. tetapi detik ini saya menemukan keyakinan tentang luhurnya & mulianya pemahana NU. Sukron pak kiyai, semoga Alloh selalu memberkahimu.
BalasHapusMohon izin copy ya Mas.. Jazakullah khairon katsiron
BalasHapusmohon ijin untuk copas yai.... suwun
BalasHapussyukron, uraian yang mencerahkan
BalasHapus