Selamat datang di blog FIQIH gaul.

Pages

Tazkiyatun Nafs


PERJALANAN KESEMPURNAAN KEPRIBADIAN

                                               
Abdul Fattah Rashid Hamid, Ph.D, seorang psikolog Muslim menyebutkan bahwa perjalanan setiap individu dalam menuju kesempurnaan kepribadian akan melewati tingkatan kepribadian sebagai berikut:

Kepribadian tingkat1:An-Nafsal-Ammarah
Pada tingkat ini manusia condong pada hasrat dan kenikmatan dunia. Minatnya tertuju pada pemeliharaan tubuh, kenikmatan selera-selera jasmani dan pemanjaan ego. Di tingkat ini iri, serakah, sombong, nafsu seksual, pamer, fitnah, dusta, marah dan sejenis-nya, menjadi palng domonan.

Kepribadian tingkat 2 : An-Nafs al-Lawwamah
Pada tingkat ini manusia sudah mulai melawan nafsu jahat yang timbul, meskipun ia masih bingung tentang tujuan hidupnya. Jiwanya sudah melawan hasrat-hasrat rendah yang muncul. Diri masih menjadi subyek yang dikendalikan hasrat-hasrat yang bersifat fisik, ia masih sering tertipu oleh muslihat dunia yang sementara ini.

Kepribadian tingkat 3 : An-Nafs al-Mulhima
Pada tingkat ini manusia sudah menyadari cahaya sejati tidak lain adalah petunjuk Alloh. Semangat taqwa dan mencari ridho Alloh adala semboyanya. Ia tidak lagi mencari kesalahan-kesalahan orang lain tetapi ia selalu introspeksi untuk menjadi hamba Alloh yang lurus. Ia selalu zikir dan mengikuti sunah nabi Muhammmad saw.

Kepribadian tingkat 4 : An-Nafs al-Qona'ah
Pada tingkat ini hati telah mantap, merasa cukup dengan apa yang dimilikinya dan tidak tertarik dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Ia sudah tidak ingin berlomba untuk menyamai orang lain. Ketinggalan 'status' baginya bukan berarti keterbelakangan dan kebodohan. Ia menyadari bahwa ketidak puasan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan Alloh menunjukkan keserakahan dan ketidak matangan pribadi. Pada tingkat ini, manusia mengetahui bahwa seseorang tidak dapat memperoleh kebaikan apa pun kecuali dengan kehendak Alloh. Hanya Alloh yang mengetahui apa yang terbaik dalam situasi apa pun.

Kepribadian tingkat 5 : An-Nafs al-Mut'mainnah
Pada tingkat ini manusia telah menemukan kebahagiaan dalam mencintai Alloh swt. Ia tidak ingin memperoleh "pengakuan" dari masyarakat atau pun tentang tujuannya. Jiwanya telah tenang, terbebas dari ketegangan, karena pengetahuanya telah mantap bahwa segala sesuatu akan kembali pada Alloh.
Ia benar-benar telah memperoleh kualitas yang sangat baik dalam ketenangan dan keheningan.

Kepribadian tingkat 6 : An-Nafs al-Radiyah
Ini adalah ciri tambahan bagi jiwa yang puas dan tenang. Ia merasa bahagia karena Alloh ridho padanya. Ia selalu waspada akan tumbuhnya keengganan yang paling sepele terhadap kodratnya sebagai abdi Tuhan. Ia menyadari bahwa Islam adalah fitrah insan dan ia pun haqqul yaqin pada firman Alloh,""..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu..".
Ia patuh pada Alloh semata-mata hanya sebagai perwujudan rasa terima kasih-nya.

Kepribadian tingkat 7 : An-Nafs al-Kamilah
Ini adalah tingkat manusi yang telah sempurna (al-Insan al-Kamil). Kesempurnaanya adalah kesempurnaan moral yang telah bersih dari semua hasrat kejasmanian sebagai hasil kesadaran murni akan pengetahuan yang sempurna tentang Alloh. "Selubung diri"-nya telah terbuaka hanya mengikuti kesadaran Ilahi. Nabi Muhammad saw adalah contoh manusia yang telah sampai pada tingkat ini. Kepribadianya mengungkapkan segala hal yang mulia dalam kodrat manusia

Yang menjadi pertanyaan adalah di tingkat manakah diri saya dan anda berada ?




HIKMAH DI BALIK MUSIBAH SAKIT

Orang yang sedang ditimpa penyakit tidak perlu dicekam rasa takut selama ia mentauhidkan Allah dan menjaga shalatnya. Bahkan, meskipun di masa sehatnya ia banyak berkubang dalam dosa dan maksiat, karena Allah itu Maha Penerima taubat sebelum ruh seorang hamba sampai di kerongkongan. Dan sesungguhnya di balik sakit itu terdapat hikmah dan pelajaran bagi siapa saja yang mau memikirkan-nya, di antaranya adalah:

1. Mendidik dan menyucikan jiwa dari keburukan.

Allah Ta'ala berfirman,


“ Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”  ( Q.S Asy-Syuura : 30 )

Dalam ayat ini terdapat kabar gembira sekaligus ancaman jika kita mengetahui bahwa musibah yang kita alami adalah merupakan hukuman atas dosa-dosa kita. Imam al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: ”Tidak ada penyakit, kesedihan dan bahaya yang menimpa seorang mukmin hinggga duri yang menusuknya melain-kan Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya dengan semua itu.”

Dalam hadits lain beliau bersabda: “Cobaan senantiasa akan menimpa seorang mukmin, keluarga, harta dan anaknya hingga dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” Sebagian ulama salaf berkata, “Kalau bukan karena musibah-musibah yang kita alami di dunia, niscaya kita akan datang di hari kiamat dalam keadaan pailit.”

2. Mendapatkan kebahagiaan (pahala) tak terhingga di akhirat.

Itu merupakan balasan dari sakit yang diderita sewaktu di dunia, sebab kegetiran hidup yang dirasakan seorang hamba ketika di dunia akan berubah menjadi kenikmatan di akhirat dan sebaliknya. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” Dan dalam hadits lain disebutkan, ”Kematian adalah hiburan bagi orang beriman.” (HR .Ibnu Abi ad Dunya dengan sanad hasan). At Tirmidzi meriwayatkan dari Jabir secara marfu’, ”Manusia pada hari kiamat menginginkan kulitnya dicabik-cabik ketika di dunia karena iri melihat pahala orang-orang yang tertimpa cobaan.”

3. Allah dekat dengan orang sakit.

Dalam hadits qudsi Allah berfirman: ”Wahai manusia, si fulan hamba-Ku sakit dan engkau tidak membesuknya. Ingatlah seandainya engkau membesuknya niscaya engkau mendapati-Ku di sisinya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)

4. Sebagai parameter kesabaran seorang hamba.

Sebagaimana dituturkan, bahwa kalau seandainya tidak ada ujian maka tidak akan tampak keutamaan sabar. Apabila ada kesabaran maka akan muncul segala macam kebaikan yang menyertainya, namun jika tidak ada kesabaran maka akan lenyap pula kebaikan itu.

Anas Radhiallaahu anhu meriwayatkan sebuah hadits secara marfu’, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya cobaan. Jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan mengujinya dengan cobaan. Barang siapa yang ridha atas cobaan tersebut maka dia mendapat keridhaan Allah dan barang siapa yang berkeluh kesah (marah) maka ia akan mendapat murka Allah.”

Apabila seorang hamba bersabar dan imannya tetap tegar maka akan ditulis namanya dalam daftar orang-orang yang sabar. Apabila kesabaran itu memunculkan sikap ridha maka ia akan ditulis dalam daftar orang-orang yang ridha. Dan jikalau memunculkan pujian dan syukur kepada Allah maka dia akan ditulis namanya bersama-sama orang yang bersyukur. Jika Allah mengaruniai sikap sabar dan syukur kepada seorang hamba maka setiap ketetapan Allah yang berlaku padanya akan menjadi baik semuanya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan kondisi seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Jika memperoleh kelapangan lalu ia bersyukur maka itu adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesempitan lalu ia bersabar maka itupun baik baginya (juga).”

5. Dapat memurnikan tauhid dan menautkan hati kepada Allah.

Wahab bin Munabbih berkata, “Allah menurunkan cobaan supaya hamba memanjatkan do’a dengan sebab bala’ itu.” Dalam surat Fushilat ayat 51 Allah berfirman, artinya, “Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a.”

Musibah dapat menyebabkan seorang hamba berdoa dengan sungguh-sungguh, tawakkal dan ikhlas dalam memohon. Dengan kembali kepada Allah (inabah) seorang hamba akan merasakan manisnya iman, yang lebih nikmat dari lenyapnya penyakit yang diderita. Apabila seseorang ditimpa musibah baik berupa kefakiran, penyakit dan lainnya maka hendaknya hanya berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah saja sebagiamana dilakukan oleh Nabi Ayyub 'Alaihis Salam yang berdoa, “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya, ”(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS. Al Anbiyaa :83)

6. Memunculkan berbagai macam ibadah yang menyertainya.

Di antara ibadah yang muncul adalah ibadah hati berupa khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Berapa banyak musibah yang menyebabkan seorang hamba menjadi istiqamah dalam agamanya, berlari mendekat kepada Allah menjauhkan diri dari kesesatan. Amat banyak hamba yang setelah di timpa sakit ia mau memulai bertanya persoalan agamanya, mulai mengerjakan shalat dan berbuat kebaikan, yang kesemua itu tak pernah ia lakukan sebelum menderita sakit.
Maka sakit yang dapat memunculkan ketaatan-ketaatan pada hakekatnya merupakan kenikmatan baginya.

7. Dapat mengikis sikap sombong, ujub dan besar kepala.

Jika seorang hamba kondisinya serba baik dan tak pernah ditimpa musibah maka biasanya ia akan bertindak melampaui batas, lupa awal kejadiannya dan lupa tujuan akhir dari kehidupannya. Akan tetapi ketika ia ditimpa sakit, mengeluarkan berbagai kotoran, bau tak sedap,dahak dan terpaksa harus lapar, kesakitan bahkan mati, maka ia tak mampu memberi manfaat dan menolak bahaya dari dirinya. Dia tak akan mampu menguasai kematian, terkadang ia ingin mengetahui sesuatu tetapi tak kuasa, ingin mengingat sesuatu namun tetap saja lupa. Tak ada yang dapat ia lakukan untuk dirinya, demikian pula orang lain tak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya. Maka apakah pantas baginya menyombongkan diri di hadapan Allah dan sesama manusia?

8. Memperkuat harapan (raja’) kepada Allah.

Harapan atau raja’ merupakan ibadah yang sangat utama, karena menyebabkan seorang hamba hatinya tertambat kepada Allah dengan kuat. Apalagi pada penderita sakit yang telah sekian lama berobat kesana kemari namun tak kunjung sembuh. Maka dalam kondisi seperti ini satu-satunya yang jadi tumpuan harapan hanyalah Allah semata, sehingga ia mengadu: “Ya Allah tak ada lagi harapan untuk sembuhnya penyakit ini kecuali hanya kepada-Mu.” Dan banyak terbukti ketika seseorang dalam keadaan kritis, ketika para dokter sudah angkat tangan namun dengan permohonan yang sungguh-sungguh kepada Allah ia dapat sembuh dan sehat kembali. Dan ibadah raja’ ini tak akan bisa terwujud dengan utuh dan sempurna jika seseorang tidak dalam keadaan kritis.

9. Merupakan indikasi bahwa Allah menghendaki kebaikan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasulullah n bersabda, ”Barang siapa yang dikehen-daki oleh Allah kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR al Bukhari). Seorang mukmin meskipun hidupnya sarat dengan ujian dan musibah namun hati dan jiwanya tetap sehat.

10. Allah tetap menulis pahala kebaikan yang biasa dilakukan oleh orang yang sakit.

Meskipun ia tidak lagi dapat melakukannya atau dapat melakukan namun tidak dengan sem-purna. Hal ini dikarenakan seandainya ia tidak terhalang sakit tentu ia akan tetap melakukan kebajikan tersebut, maka sakinya tidaklah menghalangi pahala meskipun menghalanginya untuk melakukan amalan. Hal ini akan terus berlanjut selagi dia (orang yang sakit) masih dalam niat atau janji untuk terus melakukan kebaikan tersebut. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amr dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, ”Tidak seorangpun yang ditimpa bala pada jasadnya melainkan Allah memerintah-kan kepada para malaikat untuk menjaganya, Allah berfirman kepada malaikat itu, “Tulislah untuk hambaKu siang dan malam amal shaleh yang (biasa) ia kerjakan selama ia masih dalam perjanjian denganKu.”

11. Sakit dapat menghantarkan ke manzilah (kedudukan) tertentu di Surga.

Terkadang seorang hamba memiliki manzilah di Surga, akan tetapi amalnya tidak dapat mengantarkannya ke sana maka Allah menimpakan kepadanya berbagai ujian secara bertubi-tubi sehingga sampailah ia kepada manzilah tadi, sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Hibban dari Abu Hurairah.

12. Dengan sakit akan diketahui besarnya makna sehat.


Jika seseorang selalu dalam keadaan sehat maka ia tidak akan mengetahui derita orang yang tertimpa cobaan dan kesusahan, dan ia tidak akan tahu pula besarnya nikmat yang ia peroleh. Maka ketika seorang hamba sakit, ia ingin agar bisa segera pulih sebagaimana kondisi semula ketika sehat, sebab setelah sakit itulah ia akan tahu apa artinya sehat.

Hendaknya seorang hamba bersabar dan memuji Allah ketika tertimpa musibah, sebab walaupun ia sedang sakit maka tentu masih ada orang lain yang lebih parah, dan jika tertimpa kefakiran maka pasti ada yang lebih fakir lagi. Hendaknya ia melihat sakit yang diderita dengan nikmat yang telah diterima dan dengan memikirkan faedah dan manfaat dari sakitnya. Dalam urusan agama seseorang harus memandang yang diatasnya agar tidak merasa bahwa dirinyalah orang yang terbaik, sedang dalam urusan dunia ia harus memandang orang yang ada di bawahnya agar menimbulkan rasa syukur dan melahirkan pujian kepada Allah.

13. Bagi seorang hamba (muslim) sakit merupakan rahmat bukan siksa.

Firman Allah, artinya. “Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Menge-tahui.” (QS. an Nisaa:147)

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengenal Allah dan hikmahNya, meskipun demikian Allah tetap menyayanginya karena itu semua disebabkan ketidak tahuan, kelemahan dan kekurangannya.




PENGENDALI HAWA NAFSU
Definisi Hawa Nafsu

Nafsu adalah kecondongan jiwa kepada perkara-perkara yang selaras dengan kehendaknya. Kecondongan ini secara fitrah telah diciptakan pada diri manusia demi kelangsungan hidup mereka. Sebab bila tak ada selera terhadap makanan, minuman dan kebutuhan biologis lainnya niscaya tidak akan tergerak untuk makan, minum dan memenuhi kebutuhan biologis tersebut.Nafsu mendorongnya kepada hal-hal yang dikehendakinya tersebut. Sebagaimana rasa emosional mencegahnya dari hal-hal yang menyakitinya.

Maka dari itu tidak boleh mencela nafsu secara mutlak dan tidak boleh pula memujinya secara mutlak. Namun karena kebiasaan orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan emosinya tidak dapat berhenti sampai pada batas yang bermanfaat saja maka dari itulah hawa nafsu, syahwat dan emosi dicela, karena besarnya mudharat yang ditimbulkannya.

Peredam Hawa Nafsu

Sehubungan manusia selalu diuji dengan hawa nafsu, tidak seperti hewan dan setiap saat ia mengalami berbagai macam gejolak, maka ia harus memiliki dua peredam, yaitu akal sehat dan agama. Maka diperintahkan untuk mengangkat seluruh hawa nafsu kepada agama dan akal sehat. Dan hendaknya ia selalu mematuhi keputusan kedua peredam tersebut.

Lalu bagaimana solusi bagi orang yang sudah terjerat dari hawa nafsu agar terlepas dari jeratannya? Ia bisa terlepas dari jeratan hawa nafsu dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya melalui terapi berikut :

1. Tekad membara yang membakar kecemburuannya terhadap dirinya.

2. Seteguk kesabaran untuk memotivasi dirinya agar bersabar atas kepahitan yang dirasakan saat mengekang hawa nafsu.
Kekuatan jiwa untuk menumbuhkan keberaniaannya meminum seteguk kesabaran tersebut. Karena hakikat keberanian tersebut adalah sabar barang sesaat! sebaik-baik bekal dalam hidup seseorang hamba adalah sabar!.

3. Selalu memeperhatikan hasil yang baik dan kesembuhan yang didapat dari seteguk kesabaran.

4. Selalu mengingat pahitnya kepedihan yang dirasakan daripada kelezatan menuruti kehendak hawa nafsu.
Kedudukan dan martabatnya di sisi Allah dan di hati para hamba-Nya lebih baik dan berguna daripada kelezatan mengikuti tuntutan hawa nafsu.

5. Hendaklah lebih mengutamakan manis dan lezatnya menjaga kesucian diri dan kemuliaanya daripada kelezatan kemaksiatan.

6. Hendaklah bergembira dapat mengalahkan musuhnya, membuat musuhnya merana dengan membawa kemarahan, kedukaan dan kesedihan! Karena gagal meraih apa yang diinginkannya. Allah azza wa jalla suka kepada hamba yang dapat memperdaya musuhnya dan membuatnya marah (kesal). Allah berfirman : Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan demikian itu suatu amal shaleh. (At-Taubah:120). Dan salah satu tanda cinta yang benar adalah membuat kemarahan musuh kekasih yang dicintainya dan menaklukannya (musuh kekasih tersebut).

7. Senantiasa berpikir bahwa ia diciptakan bukan untuk memperturutkan hawa nafsu namun ia diciptakan untuk sebuah perkara yang besar, yaitu beribadah kepada Allah pencipta dirinya. Perkara tersebut tidak dapat diraihnya kecuali dengan menyelisihi hawa nafsu.

Janganlah sampai hewan ternak lebih baik keadaannya daripada dirimu! Sebab dengan tabi'at yang dimilikinya, hewan tahu mana yang berguna dan mana yang berbahaya bagi dirinya. Hewan ternak lebih mendahulukan hal-hal yang berguna daripada hal-hal yang membahayakan. Manusia telah diberi akal untuk membedakannya, jika ia tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang berbahaya atau mengetahui tetapi lebih mendahulukan yang membahayakan dirinya maka jelas hewan ternak lebih baik dari pada dirinya.

Maraji : Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah, 50 Terapi Hawa Nafsu , Pustaka Tibyan (ngajisalaf)




 SARANA-SARANA PENYUCIAN DIRI
Penyucian dan pembersihan diri dari segala keburukan serta mengangkatnya ke tingkat moralitas yang luhur merupakan tugas penting para Rasul yang memang diutus untuk membawa misi demikian. Sebagian besar hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun diabdikan untuk misi yang sama karena moralitas yang luhur merupakan salah satu pokok dasar untuk memulai kehidupan secara islami menurut manhaj kenabian.

Orang yang hendak merancang tujuan tentu dia akan menyiapkan pula sarananya. Dalam analogi yang sama, Allah subhanahu wa ta’ala telah menyediakan berbagai macam sarana penyucian diri. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskannya secara rinci kepada umatnya agar mereka bisa mencapai tujuan dimaksud. Oleh karena itu, penyucian diri tidak memiliki amalan-amalan khusus selain syi’ar-syi’ar islam. Hal itu akan dijelaskan melaui tiga kaidah sebagai berikut:

Menginduksi Syi’ar-Syi’ar Agama Secara Keseluruhan
Ketika menyimpulkan syi’ar-syiar islam dan mengaitkannya dengan tujuan moralitas luhur ini maka akan tampak jelas bahwa proses penyucian diri tidak memiliki amalan-amalan khusus.

Tauhid merupakan sarana penyucian diri

Kesadaran diri terhadap kebenaran adalah pangkal kemuliaan dan induk moralitas yang luhur. Pangkal hikmah adalah ma’rifat (penganalan), menyembah, dan takut kepada Allah ta’ala. Tak ada kebenaran yang lebih besar dan lebih jelas menurut orang yang berakal, selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu menyekutukan Allah merupakan tindakan kotor lagi najis, sebagaimana yang difirmankan Allah :”Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”. (At-Taubah:28).

Demikianlah ungkapan Al-Qur’an yang menilai ruh orang-orang musyrik itu najis dan jiwa mereka pun kotor. Ruh dan jiwa mereka itu menjadi ukuran penilaian seberapa bagus kualitas manusia itu. Dengan demikian, manusia secara keseluruhan adalah najis, menjijikkan dan dijauhi oleh orang-orang yang menyucikan diri.

Ibnu Katsir berpendapat, ayat di atas menunjukkan bahwa orang musyrik itu najis sebagaimana ditegaskan dalam haits shahih,”Orang Mukmin itu tidak najis”. (HR Bukhari Muslim). Adapun najis badan, maka menurut jumhur, orang mukmin itu tidak najis fisik maupun non-fisik, mengingat, Allah saja masih menghalalkan makanan ahlul kitab bagi orang-orang mukmin. Tapi sebagian pengikut paham zahiriyah menajiskan badan orang mukmin. Hati mereka (para pengikut zahiriyah) telah kotor, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak hendak membersihkannya. Mereka telah tercebur ke dalam kotoran dan berkubang dalam najis.

Dengan demikian jelas sudah bahwa islam secara keseluruhan adalah kesucian, penyucian diri, dan pengembangan dan keutamaan. Siapa saja yang berpedoman padanya maka keimanan akan semakin jernih dan mendapatkan Nur dari Rabb-nya.
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (Al-An’am:125).

Wudhu termasuk penyucian diri

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:”Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (At-Taubah:108).

Mandi dan tayamum bagian dari penyucian diri
Allah berfirman:”Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai siku, dan sapulah kepala kalian dan(basuh) kaki kalian sampai kedua mata kaki, dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah wajah kalian dan tangan kalian dengan tangan itu. Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur”. (Al-Maidah:6)

Menjauhi istri pada saat haid dan nifas termasuk penyucian diri

Allah subhanahu wata’ala berfirman:”Mereka bertanaya kepadamu tentang haid. Katakanlah,’Haid itu adalah suatu kotoran’. Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanitapada waktu haid, dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (Al-Baqoroh:53).

Penyucian anggota badan harus dibarengi dengan penyucian hati. Itulah sebabnya penyucian anggota badan diikuti dengan pemberian perlindungan kepada mereka dari godaan syetan dan peneguhan hati serta pengokohan pendirian. Hal ini terkanduing dalam firman-Nya:”Dan menghilangkan dari kalian gangguan-ganguan syaitan dan uuntuk menguatkan hati kalian dan memperteguh dengannya telapak kaki (kalian)”. (Al-Anfal:11).

Menyucikan hati telah dijelaskan dalm Al-Qur’an:”Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”. (Al-Ahzab:53).
Sedangkan menyucikan anggota badan, firman-Nya:”Dan allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengan hujan itu”.(Al-Anfal:11)

Antara hati dan pakianpun ada kaitan,”Dan pakaianmu bersihkanlah”. (Al-Muddatstsir:4)
Ibnu Abbas mengemukakan:”Jangan engkau tutupi jiwamu dengan pakaian kemaksiatan dan hal yang menjijikkan”.
Bagaimanapun membersihkan pakaian dari kotoran dan meminimalkan kotoran yang mungkin melekat pada pakaian merupakan satu sekian perintah membersihkan pakaian.
Karena pakaian yang bersih dapat menyempurnakan amalan dan perangai diri. Badan dan pakaian yang najis bisa menyebabkan batin menjadi najis. Itulah sebabnya mengapa kotoran yang menempel di pakaian atau badan harus segera dihilangkan dan dijauhi.

Shalat sebagai sarana penyucian diri

Shalat berfungsi menyucikan diri dan anggota badan dari perbuatan keji dan mungkar. Firman Allah:”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar”. (Al-Ankabut:45).

Sebab dalam shalat terdapat tiga perangai, yaitu ikhlas, rasa takut, dan dzikir kepada Allah. Ikhlas menyuruh kpeda kebaikan, rasa takuit mencegah diri diri dari kemungkaran, dan dzikir kepada Allah membuat cerdas jiwa.

Shalat adalah wujud kebersamaan dengan Allah sekaligus sebagai sarana berkomunikasi dengan-Nya, yang secara psikologis akan menciptakan perasaan malu bila saat bersama dengan-Nya masih saja melakukan dosa-dosa besar dan kekejian.

Shalat merupakan bentuk pelepasan diri. Dengan shalat (yang benar-red) jiwa tidak lagi berani melakukan kekejian dan kemungkaran.

Zakat merupakan saran penyucian dan pembersihan diri
Firman Allah Subhanahu wata’ala :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu ( menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahmengetahui”. (At-Taubah:103).


Zakat fitrah merupakan bentuk penyucian diri bagi orang yang berpuasa dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna serta hal-hal yang tidak senonoh. Sebagaimana hadits Ibnu Abbas ,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari hal-hal yang tidak berguna, tindakan tidak senonoh dan memberi makan kepada orang-orang miskin.”(hadits Hasan)

Dengan demikian dapat diartikan, menginfakkan harta untuk mencari keridhoan Allah merupakan sarana untuk membersihkan, menyucikan, mengembangkan dan membenahi jiwa. Mengenai masalah ini Allah telah berfirman:”Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (dijalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhoan Tuhannya yang Mahatinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapatkan kepuasan”.(Al-Lail:17-21).

Puasa sebagai sarana penyucian dan pembersihan diri

Firman Allah:”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. (Al-Baqoroh:183).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa puasa merupakan salah satu sebab pemberian ampunan, pembebasan dari neraka, dan masuk surga. Puasa adalah perisai, obat dan benteng dari hawa nafsu. Sebab puasa dapat mengagungkan jiwa, menindas dan memenjarakan hawa nafsu.
Sehingga jiwa benar-benar terang dan tenteram.




MENGHITUNG DIRI

Betapa cepatnya waktu bergulir, siang dan malam silih berganti tanpa kita sadari, berputar terus tanpa henti merenggut hari-hari dan umur kita. Bulan demi bulan terus berlalu seakan bagai mimpi, lewat dengan begitu cepat seperti seorang penyebrang jalan. Bahkan setahun pun tidak kita rasakan, padahal ia adalah kesempatan untuk persiapan menuju perjalanan yang jauh.., apa yang telah kita perbuat selama ini, ketaatan apa yang dapat kita persembahkan?Pahala dan kebaikan apa yang telah kita usahakan?

Setiap Orang akan Mendapati Apa yang Ia Kerjakan

Walaupun kita telah lupa terhadap apa yang kita lakukan di masa lalu, baik itu kebaikan maupun keburukan, namun itu semua terjaga dan tercatat dalam buku catatan amal. Dua malaikat pencatat (kiraman katibin) tak pernah lalai mengawasi gerak-gerik dan ucapan kita.

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. 50:18)

Tak ada satu kata yang diucapkan oleh anak Adam, kecuali ada pengawas yang selalu menulis dan menghitungnya, tidak ada yang terlewat walau hanya satu kalimat atau satu gerakan.

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. 82: 10-12)

Kelak nanti di Hari Kiamat setiap orang akan melihat rekaman dari perbuatannya selama di dunia. Tak satu pun yang dapat mengelak, masing masing diliputi kegundahan dan rasa takut, kecuali orang-orang mukmin, maka mereka mendapatkan curahan rahmat dari Allah disebabkan ketaatan mereka kepada-Nya dan karena mereka selalu mengikuti Rasul-Nya n.

“Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut.Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya.Pada hari itu, kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.(Allah berfirman) “Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguh-nya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan”. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerja-kan amal yang saleh, maka Rabb mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga).Itulah keberuntungan yang nyata. (QS. 45:28-30)

Pada Hari Kiamat, orang-orang kafir dan ahli maksiat menunduk lesu, menyesali perbuatannya selama di dunia, mereka dalam keadaan hina dan ketakutan seraya menyeru kecelakaan atas diri mereka.

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak meng-aniaya seorang jua pun.” (QS. 18:49)

Bersegeralah Sebelum Ajal Menjemput

Satu hal yang patut untuk kita renungi adalah, apa persiapan kita untuk menghadapi Hari Akhirat? Apakah kita telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan berbagai amal yang dapat menyelamatkan kita dari huru-hara dan kedahsyatannya? Pernahkah kita menghitung diri atas apa yang telah kita ucapkan dan kita perbuat? Mari segera kita jawab sebelum datang waktunya bagi kita untuk mengucapkan,

“Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Kemudian kita dapati jawaban, “Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja.
Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitan.” (QS. 23:100)

Sungguh para salaf adalah orang-orang yang paling banyak melakukan ibadah, ketaatan dan amal shalih. Namun ternyata mereka tidak begitu saja mengandalkan amal perbu-atan mereka, bahkan mereka senan-tiasa merasa khawatir kalau-kalau apa yang mereka lakukan itu masih belum diterima oleh Allah, sehingga terus merasa kurang dalam beramal dan tak henti-hentinya memohon ampunan kepada Allah.

Coba kita perhatikan bagaimana Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam melakukan shalat hingga kedua kaki beliau bengkak, kemudian dalam sehari beliau beristighfar mohon ampunan kepada Allah lebih dari seratus kali. Apakah beliau pernah bermaksiat kepada Allah sehingga harus mohon ampun sehari lebih dari seratus kali? Demi Allah beliau adalah manusia yang paling taat. Itu semua beliau lakukan tak lain karena muhasa-bah yang tiada henti, muraqabah dan sikap tawadlu’ yang sempurna kepada Allah, sehingga beliau terus bertaubat dan beristighfar kepada-Nya.Beliau tidak semata-mata mengandalkan kedudukannya yang mulia dan tinggi sebagai nabi, bahkan beliau sendiri menyatakan, ”Seseorang masuk Surga bukan semata-mata karena amalnya.” Para shahabat bertanya, ”Tidak pula engkau wahai Rasulullah? Beliau menjawab, ”Tidak juga aku, kecuali jika Allah mencurahkan kepadaku rahmat dan keutamaan-Nya.”

Jika seorang penghulu Nabi saja keadaannya seperti itu, maka bagaimana lagi dengan kita?Bagaimana mungkin kita merasa bangga dengan amal kita, bahkan kita sering banyak bergurau, bermain-main, padahal kita tidak tahu ke mana tempat kembali kita kelak di akhirat?

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (QS. 21:47)

Dalam ayat lain Allah juga berfirman,

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. 3:30)

Allah akan memutuskan perkara-perkara di antara hamba-hamba-Nya, menghitung keseluruhan amal mereka tak satu pun yang ketinggalan dan Dia tidak akan menzhalimi hamba-Nya. Bahkan Dia memaafkan, mengampuni dan menyayangi, namun Dia juga menyiksa siapa saja yang dikehendaki dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya.

Setiap Kita Akan Ditanya

Karena dahsyatnya Hari Pembalasan, maka Allah memerintahkan hamba-Nya untuk selalu menghitung diri dan mempersiapkan hari depan, sehingga ketika datang kematian, maka ia tidak dalam keadaan lalai dan terlena. Dia berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 59:18)

Imam Ibnu Katsir berkata, “Mak-sudnya adalah hitunglah diri kalian sebelum nanti dihitung, lalu lihatlah apa yang telah kalian siapkan berupa amal shalih untuk bekal hari kepulanganmu dan menghadap Tuhanmu.”

Seorang mukmin harus selalu menghitung diri karena ia tahu bahwa kelak besok di hadapan Allah ia akan dihisab. Allah telah memberitahukan kepada kita, bahwa kita semua nanti akan ditanya tentang nikmat yang telah kita terima di dunia,

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu ).” (QS. 102:8)

Kita semua akan ditanya tentang nikmat itu, makan dan minum yang kita santap, harta benda, rumah, kendaraan dan pakaian, untuk apa semua itu dan bagaimana kita memperolehnya. Nabi telah bersabda: “Tak akan bergeser kaki seorang hamba, sehingga ia ditanya tentang empat hal; Tentang umurnya dihabiskan untuk apa, tentang ilmunya apa yang ia amal-kan dengan ilmu itu, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan, dan tentang badannya untuk apa ia gunakan”

Mari kita semua menjawabnya, tentunya dengan jawaban yang benar dan jujur, sebab perkara ini bukan perkara sepele dan main-main.Ini butuh keseriusan karena berkaitan dengan ujung nasib kita, surga atau neraka.

Salah seorang salaf berkata, ”Andaikan Allah mengancamku, bahwa jika aku bermaksiat kepada-Nya, maka Dia akan memenjarakanku di dalam sel yang sempit, maka itu sepantasnya membuatku untuk tidak malas dalam beribadah, maka bagaimana lagi jika ia telah mengancamku dengan siksa api neraka, jika aku bermaksiat kepada-Nya?"

Cara Muhasabah Diri

Imam Ibnul Qayyim berkata tentang cara muhasabah, “Pertama-tama hendaklah menghitung diri dalam masalah kewajiban, jika ingat masih ada kekurangan, maka hedaknya segera disusul dengan mengqadla atau memperbaikinya.

Kemudian setelah itu menghitung diri dalam masalah larangan, jika mengetahui ada larangan yang telah dikerjakan atau diterjang, maka hendak-nya segera menyusulnya dengan bertaubat dan beristighfar serta banyak melakukan kebajikan-kebajikan yang akan dapat menghapusnya.

Lalu selanjutnya muhasabah diri dalam hal kelalaian, jika selama ini telah sering lalai akan tujuan dari penciptaan manusia di dunia, maka harus segera mengingatnya serta menghadapkan diri kepada Allah.

Kemudian menghitung diri dalam hal ucapan, langkah kedua kaki, aktivi-tas kedua tangan, pendengaran telinga, penglihatan: Apa yang dikehendaki dengan semua itu, untuk siapa serta apa tujuan melakukannya?Dan harus diketahui, bahwa seluruh ucapan dan perbuatan hendaknya mempunyai dua sisi pertimbangan yang selalu diingat. Yang pertama pertimbangan untuk siapa berbuat dan ke dua bagaimana berbuat. Yang pertama adalah perta-nyaan tentang keikhlasan dan yang ke dua pertanyaan tentang mutaba’ah (mengikuti tata cara yang diajarkan Nabi ).

Nasehat dan Teladan

Berkata al-Hasan, ”Semoga Allah merahmati seorang hamba yang ketika menginginkan sesuatu, ia merenung terlebih dahulu, kalau itu untuk Allah, maka ia terus dan kalau untuk selain-Nya maka ia urungkan."

Berkata Ibrahim at-Taimiy, “Aku mengumpamakan diriku berada di Surga makan buah-buahnya dan minum dari air sungainya, lalu bercanda dengan para bidadari. Lalu aku mengumpama-kan diriku berada di neraka, memakan buah zakum, meminum nanah, dirantai dan dibelenggu.
Lalu aku katakan pada diriku, “Hai jiwa, apa yang kau mau sekarang? Jiwa itu menjawab, “Aku ingin kembali ke dunia dan melakukan amal shalih”. Aku pun berkata, “Kini angan-anganmu (untuk kembali ke dunia) tercapai , maka beramallah!”

Ibnul Jauzi berkata, “Sepantasnya orang yang tidak tahu kapan ia akan mati untuk selalu mempersiapkan diri, janganlah ia tertipu dengan usia muda dan kesehatannya.”

Berapa banyak pemuda yang mati karena sakit yang mendadak, berapa banyak yang mati karena kecelakaan, berapa banyak yang mati disebabkan kecanduan dan berapa banyak pula yang meninggal karena perkelahian dan tawuran?
Siapa yang tahu umur seseorang.




PENTINGNYA TAZKIYATUN NAFS
Tazkiyah, secara bahasa (harfiah) berarti Tathahhur, maksudnya bersuci. Seperti yang terkandung dalam kata zakat, yang memiliki makna mengeluarkan sedekah berupa harta yang berarti tazkiyah (penyucian). Karena dengan mengeluarkan zakat, seseorang berarti telah menyucikan hartanya dari hak Allah yang wajib ia tunaikan.
Salah satu tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam adalah untuk membimbing umat manusia dalam rangka membentuk jiwa yang suci. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata". (Al-Jumu'ah: 2).
Dengan demikian, seseorang yang mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di hari akhir hendaknya benar-benar memberi perhatian khusus pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ia harus berupaya agar jiwanya senantiasa berada dalam kondisi suci. Kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ke dunia ini tak lain adalah untuk menyucikan jiwa manusia. Ini sangat terlihat jelas pada jiwa para sahabat antara sebelum memeluk Islam dan sesudahnya. Sebelum mengenal Al-Islam jiwa mereka dalam keadaan kotor oleh debu-debu syirik, ashabiyah (fanatisme suku), dendam, iri, dengki dan sebagainya. Namun begitu telah disibghah (diwarnai) oleh syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW, mereka menjadi bersih, bertauhid, ikhlas, sabar, ridha, zuhud dan sebagainya.
Keberuntungan dan kesuksesan seseorang, sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia men-tazkiyah dirinya. Barangsiapa tekun membersihkan jiwanya maka sukseslah hidupnya. Sebaliknya yang mengotori jiwanya akan senantiasa merugi, gagal dalam hidup. Hal itu diperkuat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sumpahNya sebanyak sebelas kali berturut-turut, padahal dalam Al-Qur'an tidak dijumpai keterangan yang memuat sumpah Allah sebanyak itu secara berurutan. Marilah kita perhatikan firman Allah sebagai berikut:
"Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan demi bulan apabila mengiringinya, dan malam bila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penciptaannya (yang sempurna), maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya".(Asy-Syams: 1-10).
Dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa nantinya harta dan anak-anak tidak bermanfaat di akhirat. Tetapi yang bisa memberi manfaat adalah orang yang menghadap Allah dengan Qalbun Salim , yaitu hati yang bersih dan suci.
Firman Allah:
"yaitu di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih". (Asy-Syu'araa':88-89).
Hakekat Tazkiyatun Nafs
Secara umum aktivitas tazkiyatun nafs mengarah pada dua kecenderungan, yaitu
1.      Membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, membuang seluruh penyakit hati.
2.      Menghiasi jiwa dengan sifat-sifat terpuji.
Kedua hal itu harus berjalan seiring, tidak boleh hanya dikerjakan satu bagian kemudian meninggalkan bagian yang lain. Jiwa yang cuma dibersihkan dari sifat tercela saja, tanpa dibarengi dengan menghiasi dengan sifat-sifat kebaikan menjadi kurang lengkap dan tidak sempurna. Sebaliknya, sekedar menghiasi jiwa dengan sifat terpuji tanpa menumpas penyakit-penyakit hati, juga akan sangat ironis. Tidak wajar. Ibaratnya seperti sepasang pengantin, sebelum berhias dengan beragam hiasan, mereka harus mandi terlebih dahulu agar badannya bersih. Sangat buruk andaikata belum mandi (membersihkan kotoran-kotoran di badan) lantas begitu saja dirias. Hasilnya tentu sebuah pemandangan yang mungkin saja indah tetapi bila orang mendekat akan tercium bau tak sedap.
Wasilah Tazkiyatun Nafs
Wasilah (sarana) untuk men-tazkiyah jiwa tidak boleh keluar dari patokan-patokan syar'i yang telah ditetapkan Allah dan rasulNya. Seluruh wasilah tazkiyatun nafs adalah beragam ibadah dan amal-amal shalih yang telah disyariatkan di dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Kita dilarang membuat wasilah-wasilah baru dalam menyucikan jiwa ini yang me-nyimpang dari arahan kedua sumber hukum Islam tersebut. Misalnya seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut kejawen, dimana dalam membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) mereka mela-kukan puasa pati geni (puasa terus menerus sehari semalam/wishal) sambil membaca sejumlah mantra. Ada lagi yang mensyariatkan mandi di tengah malam atau berendam di sungai selama beberapa waktu yang ditentukan. Cara-cara bid'ah semacam ini jelas tidak bisa dibenarkan dalam Islam.
Sesungguhnya rangkaian ibadah yang diajarkan Allah dan RasulNya telah memuat asas-asas tazkiyatun nafs dengan sendirinya. Bahkan bisa dikatakan bahwa inti dari ibadah-ibadah seperti shalat, shaum, zakat, haji dan lain-lain itu tidak lain adalah aspek-aspek tazkiyah.
Shalat misalnya, bila dikerjakan secara khusyu', ikhlas dan sesuai dengan syariat, niscaya akan menjadi pembersih jiwa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berikut:
Abu Hurairah radhiyallaahu anhu berkata: Saya telah mendengar Rasulullah n bersabda: "Bagaimanakah pendapat kamu kalau di muka pintu (rumah) salah satu dari kamu ada sebuah sungai, dan ia mandi daripadanya tiap hari lima kali, apakah masih ada tertinggal kotorannya? Jawab sahabat: Tidak. Sabda Nabi: "Maka demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, Allah menghapus dengannya dosa-dosa". (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dari hadits di atas nampak sekali bahwa misi utama penegakan shalat adalah menyangkut tazkiyatun nafs. Artinya, dengan shalat secara benar (sesuai sunnah), ikhlas dan khusyu', jiwa akan menjadi bersih, yang digambarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam seperti mandi di sungai lima kali. Sebuah perumpamaan atas terhapusnya kotoran-kotoran dosa dari jiwa. Secara demikian, bisa kita bayangkan kalau ibadah shalat ini ditambah dengan shalat-shalat sunnah. Tentu nilai kebersihan jiwa yang diraih lebih banyak lagi.
Demikian pula masalah shaum (puasa). Hakekat puasa yang paling dalam berada pada aspek tazkiyah. Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam:
"Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum". (HR Al-Bukhari, Ahmad dan lainnya).
Dalam hadits yang lain disebutkan:
"Adakalanya orang berpuasa, bagian dari puasanya (hanya) lapar dan dahaga". (HR Ahmad).
Ini menunjukkan betapa soal-soal tazkiyatun nafs benar-benar mewarnai dalam ibadah puasa, sehingga tanpa membuat-buat syariat baru sesungguhnya apa yang datang dari syariat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bila diresapi secara mendalam benar-benar telah mencukupi.
Hal yang sama dijumpai pada ibadah qurban. Esensi utama qurban adalah ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berarti soal pembersihan jiwa dan bukan terbatas pada daging dan darah qurban.
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Daging-daging dan darahnya itu, sekali-kali tidak dapat mencapai derajat (keridhaan) Allah, tetapi keaqwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya".(Al-Hajj: 37).
Kalau diteliti lagi masih banyak sekali ibadah dalam syariat Islam yang muara akhirnya adalah pembersihan jiwa. Dengan mengikuti apa yang diajarkan syariat, niscaya seorang muslim telah mendapatkan tazkiyatun nafs. Contohnya adalah para sahabat Rasulullah n. Mereka adalah generasi yang paling dekat dengan zaman kenabian dan masih bersih pemahaman agamanya, karenanya mereka memiliki jiwa-jiwa yang suci lantaran ber-ittiba' pada sunnah Rasul dan tanpa menciptakan cara-cara bid'ah dalam tazkiyatun nafs. Mereka mendapatkan kesucian jiwa tanpa harus menjadi seorang sufi yang hidup dengan syariat yang aneh-aneh dan njlimet (rumit).
Bagi seorang muslim, ia harus berupaya menggapai masalah tazkiyatun nafs dari serangkaian ibadah yang dikerjakannya. Artinya, ibadah yang dilakukan jangan hanya menjadi gerak-gerak fisik yang kosong dari ruh keimanan dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebaliknya, ibadah apapun yang kita kerjakan hendaknya juga bernuansa pembersihan jiwa. Dengan cara seperti inilah, insya Allah kita bisa mencapai keberuntungan.



1 Komentar: