Raja
Al-Mudhaffar Abu Sa`id
Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin(l. 549 H. w.630 H.), menurut Imam
Al-Suyuthi tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran
Rasulullah SAW ini dengan perayaan yang meriah luar biasa.
Tidak kurang dari
300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari
peringatan maulid ini.
Imam Al-Hafidz
Ibnu Wajih menyusun kitab maulid yang berjudul “Al-Tanwir fi Maulidi
al-Basyir al-Nadzir”. Konon kitab ini adalah kitab maulid
pertama yang disusun oleh ulama.
Di negeri kita
tercinta ini, meskipun tidak dapat disebut sebagai Negara Islam, banyak
masyarakat yang merayakannya dan telah menjadi tradisi mereka. Pemerintah pun
telah menjadikan peringatan ini salah satu agenda rutin dan acara kenegaraan
tahunan yang dihadiri oleh pejabat tinggi negara serta para duta besar
negara-negara sahabat berpenduduk Islam. Hari peringatan maulid Nabi tekah
telah disamakan dengan hari-hari besar keagamaan lainnya.
Pendapat Ulama dan Silang pendapat mengenai perayaan
Maulid Nabi
Hukum perayaan
maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam,
yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap
bid'ah. Hingga saat ini
pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan
muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan
peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang
sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain
sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga
menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat.
Seperti yang terjadi di salah satu kota Pakistan tahun 2006 lalu, peringatan
maulid berakhir dengan banjir darah karena dipasang bom oleh kalangan yang tidak
menyukai maulid.
Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini,
ada baiknya kita telaah sejarah pemikiran Islam tentang peringatan maulid ini
dari pendapat para ulama terdahulu. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua
pendapat ulama Islam, tetapi cukup ulama dominan yang dapat dijadikan rujukan
untuk membuat sebuah peta pemikiran.
Pendapat Ibnu Taymiyah:
Ibnu Taymiyah dalam kitab Iqtidla'-us-Syirat al-Mustqim
(2/83-85) mengatakan: "Rasululullah s.a.w. telah melakukan kejadian-kejadian
penting dalam sejarah beliau, seperti khutbah-khutbah dan perjanjian-perjanjian
beliau pada hari Badar, Hunain, Khandaq, pembukaan Makkah, Hijrah, Masuk
Madinah. Tidak seharusnya hari-hari itu dijadikan hari raya, karena yang
melakukan seperti itu adalah umat Nasrani atau Yahudi yang menjadikan semua
kejadian Isa hari raya. Hari raya merupakan bagian dari syariat, apa yang
disyariatkan itulah yang diikuti, kalau tidak maka telah membuat sesuatu yang
baru dalam agama. Maka apa yang dilakukan orang memperingati maulid, antara
mengikuti tradisi Nasrani yang memperingati kelahiran Isa, atau karena cinta
Rasulullah. Allah mungkin akan memberi pahala atas kecintaan dan ijtihad itu,
tapi tidak atas bid'ah dengan menjadikan maulid nabi sebagai hari raya.
Orang-orang salaf tidak melakukan itu padahal mereka lebih mencintai
rasul".
Namun dalam bagian lain di kitab tersebut, Ibnu Taymiyah
menambahkan:"Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam
setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan mendapatkan pahala yang
besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SA. Seperti yang telah
saya jelaskan, terkadang sesuatu itu baik bagi satu kalangan orang, padahal itu
dianggap kurang baik oleh kalangan mu'min yang ketat. Suatu hari pernah
ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang tindakan salah seorang pejabat yang
menyedekahkan uang 100 dinar untuk membuat mushaf Qur'an, beliau
menjawab:"Biarkan saja, itu cara terbaik bagi dia untuk menyedekahkan emasnya".
Padahal madzhab Imam Ahmad mengatakan bahwa menghiasi Qur'an hukumnya makruh.
Tujuan Imam Ahmad adalah bahwa pekerjaan itu ada maslahah dan ada mafsadahnya
pula, maka dimakruhkan, akan tetapi apabila tidak diperbolehkan, mereka itu akan
membelanjakan uanngnya untuk kerusakan, seperti membeli buku porno
dsb.
Pahamilah dengan cerdas
hakekat agama, lihatlah kemaslahatan dalam setiap pekerjaan dan kerusakannya,
sehingga kamu mengetahui tingkat kebaikan dan keburukan, sehingga pada saat
terdesak kamu bisa memilih mana yang terpenting, inilah hakekat ilmu yang
diajarkan Rasulullah. Membedakan jenis kebaikan, jenis keburukan dan jenis dalil
itu lebih mudah. Sedangkan mengetahui tingkat kebaikan, tingkat keburukan dan
tingkat dalil itu pekerjaan para ulama.
Selanjutnya Ibnu Taymiyah
menjelaskan tingkat amal solih itu ada tiga.
Pertama Amal sholeh yang
masyru' (diajarkan) dan didalamnya tidak ada kemaruhan sedikitpun. Inilah sunnah
murni dan hakiki yang wajib dipelajari dan diajarkan dan inilah amalan orang
solih terdahulu dari zaman muhajirin dan anshor dan pengikutnya.
Kedua: Amal solih dari satu
sisi, atau sebagian besar sisinya berisi amal solih seperti tujuannya misalnya,
atau mungkin amal itu mengandung pekerjaan baik. Amalan-amalan ini banyak sekali
ditemukan pada orang-orang yang mengaku golongan agama dan ibadah dan dari
orang-orang awam juga. Mereka itu lebih baik dari orang yang sama sekali tidak
melakukan amal solih, lebih baik juga daripada orang yang tidak beramal sama
sekali dan lebih baik dari orang yang amalannya dosa seperti kafir, dusta,
hianat, dan bodoh. Orang yang beribadah dengan ibadah yang mengandung larangan
seperti berpuasa lebih sehari tanpa buka (wisal), meninggalkan kenikmatan
tertentu (mubah yang tidak dilarang), atau menghidupkan malam tertentu yang
tidak perlu dikhususkan seperti malam pertama bulan Rajab, terkadang mereka itu
lebih baik dari pada orang pengangguran yang malas beribadah dan melakukan
ketaatan agama. Bahkan banyak orang yang membenci amalan-amalan seperti ini,
ternyata mereka itu pelit dalam melakukan ibadah, dalam mengamalkan ilmu,
beramal solih, tidak menyukai amalan dan tidak simpatik kepadanya, tetapi tidak
juga mengantarkannya kepada kebaikan, misalnya menggunakan kemampuannya untuk
kebaikan. Mereka ini tingkah lakunya meninggalkan hal yang masyru' (dianjurkan
agama) dan yang tidak masyru' (yang tidak dianjurkan agama), akan tetapi
perkatannya menentang yang tidak masyru' (yang tidak diajarkan agama).
Ketiga: Amalan yang sama
sekali tidak mengandung kebaikan, karena meninggalkan kebaikan atau mengandung
hal yang dilarang agama. (ini hukumnya jelas).
Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: "Bid'ah yang
baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid
Rasulullah".
Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi):"Termasuk
yang hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap
tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah s.a.w. dengan memberikan sedekah
dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua
berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah dan
penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah
atas diutusnya Rasulullah s.a.w. kepada seluruh alam semesta".
Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Fatawa Kubro
menjelaskan:"Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak diriwayatkan dari ulama
salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung
kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan
di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan bid'ah
yang baik (bid'ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist
sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah s.a.w. datang ke Madina, beliau
menemukan orang Yahudi berpuasa pada haru Asyura, maka beliau bertanya kepada
mereka, dan mereka menjawab:"Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun,
menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua. Dari situ dapat
diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ
terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan
dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan
berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur'an dll. Apa
nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah s.a.w. di muka bumi ini. Maka
sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur'an,
memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rauslullah yang
bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan
dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan
kepada hukum pekerjaan itu, kalau itu mubah maka hukumnya mubah, kalau itu haram
maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu
seterusnya".
Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab Syarh Mawahib
Ladunniyah mengatakan:"Melakukan perayaan, memberi makan orang disunnahkan tiap
waktu, apalagi kalau itu disertai dengan rasa gembira dan senang dengan
kahadiran Rasulullah s.a.w. pada hari dan bulan itu. Tidaklah sesuatu yang
bid'ah selalu makruh dan dilarang, banyak sekali bid'ah yang disunnahkan dan
bahkan diwajibkan".
Imam
Suyuti berkata: "Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu
manusia berkumpul, membaca al-Qur'an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak
kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang
dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak
lebih. Semua itu tergolong bid'ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala
karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas
kelahiran Nabi Muhamad SAW yang mulia".
Syeh Azhar Husnain Muhammad Makhluf
mengatakan:"Menghidupkan malam maulid nabi dan malam-malam bulan Rabiul Awal ini
adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah, memperbanyak syukur dengan
nikmat-nikmat yang diturunkan termasuk nikmat dilahirkannya Rasulullah s.a.w. di
alam dunia ini. Memperingatinya sebaiknya dengan cara yang santun dan khusu' dan
menjauhi hal-hal yang dilarang agama seperti amalan-amalan bid'ah dan
kemungkaran. Dan termasuk cara bersyukur adalah menyantuni orang-orang susah,
menjalin silaturrahmi. Cara itu meskipun tidak dilakukan pada zaman Rasulullah
s.a.w. dan tidak juga pada masa salaf terdahulu namun baik untuk dilakukan
termasuk sunnah hasanah".
Seorang ulama Turkmenistan Mubasshir al-Thirazi
mengatakan:"Mengadakan perayaan maulid nabi Muhammad s.a.w. saat ini
bisa jadi merupakan kewajiban yang harus kita laksanakan, untuk mengkonter
perayaan-perayaan kotor yang sekarang ini sangat banyak kita temukan di
masyarakat"
Dalil-dalil yang memperbolehkan melakukan perayaan Maulid
Nabi s.a.w.
1. Anjuran bergembira atas rahmat dan karunia Allah kepada
kita. Allah SWT berfirman:
قُلْ
بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا
يَجْمَعُونَ
“Katakanlah:
"Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.
QS.Yunus:58.
2.
Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah Hadits dinyatakan:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ
صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ
عَلَيَّ . رواه مسلم
"Dari Abi Qotadah
al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari
senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu
diturunkan kepadaku". (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah,
Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).
3. Diriwayatkan dari Imam Bukhori bahwa Abu Lahab setiap hari senin
diringankan siksanya dengan sebab memerdekakan budak Tsuwaybah sebagai ungkapan
kegembiraannya atas kelahiran Rasulullah SAW. Jika Abu Lahab yang non-muslim dan
al-Qur'an jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan
atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam
yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW.
Kesimpulan Hukum Maulid
Melihat dari pendapat-pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendapat-pendapat ulama terdahulu seputar peringatan maulid adalah sebagai
berikut:
1. Malarang maulid karena itu termasuk bid'ah dan tidak pernah
dilakukan pada zaman ulama solih pertama Islam.
2. Memperbolehkan perayaan maulid Nabi, dengan syarat diisi dengan
amalan-amalan yang baik, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Ini merupakan
ekspresi syukur terhadap karunia Allah yang paling besar, yaitu kelahiran Nabi
Muhammad dan ekspresi kecintaan kepada beliau.
3. Menganjurkan maulid, karena itu merupakan tradisi baik yang
telah dilakukan sebagian ulama terdahulu dan untuk mengkonter perayaan-perayaan
lain yang tidak Islami.
Jadi masalah maulid ini seperti beberapa masalah agama
lainnya, merupakan masalah khilafiyah, yang diperdebatkan hukumnya oleh para
ulama sejak dulu. Sebaiknya umat Islam melihatnya dengan sikap toleransi dan
saling menghargi mengenai perbedaan pendapat ini. Tidak selayaknya mengklaim
paling benar dan tidak selayaknya menuduh salah lainnya.
Bahkan kalau dicermati, sebenarnya pendapat yang melarang dan
yang memperbolehkan perayaan maulid tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama
membela kecintaan mereka kepada Rasulullah s.a.w. Maka sangat disayangkan kalau
umat Islam yang sama-sama dengan dalih mencintai Rasulullah s.a.w. tetapi saling
hujat dan bahkan saling menyakiti.
Etika merayakan Maulid
Nabi
Untuk menjaga agar perayaan maulid Nabi tidak melenceng dari
aturan agama yang benar, sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:
1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah
SAW.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
"Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman!
Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya".
QS.
Al-Ahzab:56.
2.
Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah.
Syekh
Husnayn Makhluf berkata: "Perayaan maulid harus dilakukan dengan berdzikir
kepada Allah SWT, mensyukuri kenikmatan Allah SWT atas kelahiran Rasulullah SAW,
dan dilakukan dengan cara yang sopan, khusyu' serta jauh dari hal-hal yang
diharamkan dan bid'ah yang munkar".
3.
Membaca sejarah Rasulullah s.a.w. dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan
keutamaan-keutamaan beliau.
3.
Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.
4.
Meningkatkan silaturrahmi.
5.
Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran
Rasulullah s.a.w. di tengah-tengah kita.
6.
Mengadakan pengajian atau majlis ta'lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan
mensuri tauladani Rasulullah s.a.w.
Jika
timbul pertanyaan, perayaan maulid yang datangnya pada bulan Robi'ul Awwal, juga
bertepatan dengan bulan wafat Rasulullah SAW, mengapa tidak ada luapan
kesedihan atas wafatnya beliau? Imam Suyuthi menjelaskan: "Kelahiran Nabi
SAW adalah kenikmatan terbesar untuk kita, sementara wafatnya beliau adalah
musibah terbesar atas kita. Sedangkan syariat memerintahkan
kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat dan bersabar serta diam dan
merahasiakan atas cobaan yang menimpa. Terbukti agama memerintahkan untuk
menyembelih kambing sebagai 'aqiqoh pada saat kelahiran anak, dan tidak
memerintahkan menyembelih hewan pada saat kematian, maka kaidah syariat
menunjukkan bahwa yang baik pada bulan ini adalah menampakkan kegembiraan atas
kelahiran Rasulullah SAW bukan menampakkan kesusahan atas musibah yang menimpa".
Oleh
karena hakekat dari perayaan maulid adalah luapan rasa syukur serta penghormatan
kepada Rasulullah SAW, sudah semestinya tidak dinodai dengan
kemunkaran-kemunkaran dalam merayakannya. Seperti bercampurnya laki-laki dan
perempuan, tampilnya perempuan di atas pentas dihadapan kaum laki-laki,
alat-alat musik yang diharamkan dan lain-lain. Begitu juga peringatan maulid
tidak seharusnya digunakan untuk saling provokasi antar kelompok Islam yang
berujung pada kekerasan antar kelompok. Sebab jika demikian yang terjadi, maka
bukanlah penghormatan yang didapat akan tetapi justru penghinaan kepada
Rasulullah SAW.
Ustadz Muchib Aman Aly
Ustadz Muhammad Niam
Imam
Ghazali Said MA, Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya, meragukan
kebenaran data imam Suyuthi ini. Menurutnya, tradisi peringatan maulid
sebenarnya telah dilakukan oleh orang-orang Syi'ah sebelum raja Al-Mudhaffar.
Menurut penulis, ada kesalahan pemahaman dari penjelasaan imam Suyuthi ini. Imam
Ghazali Said MA tidak memahami kontek penjelasan imam Suyuthi dalam kitab
Al-Hawi (kumpulan fatwanya). Imam Suyuthi hanya memberi penjelasan bahwa
raja-raja Islam yang pertama kali mengadakan peringatan maulid secara
besar-besaran adalah raja Al-Mudhaffar. Beliau tidak menyinggung rakyat biasa
yang bukan raja, tidak pula menyinggung raja yang memperingati secara sederhana
yang tidak sebesar perayaan peringatan maulid yang dilakukan raja Al-Mudhaffar.
Bisa saja sebelumnya telah ada beberapa orang atau bahkan ulama yang
memperingatinya, namun tidak menjadi acara resmi Negara. Atau bahkan raja-raja
sebelumnya telah ada yang memperingatinya, namun tidak semeriah Al-mudhaffar,
sehingga tidak sampai menggugah para sejarawan untuk mencatatnya sebagai
peristiwa yang luar biasa.
|
0 Komentar:
Posting Komentar