Ternyata, dinamika keagamaan seperti ini sulit dikendalikan. Apalagi
masing-masing dari mereka sama-sama merasa telah mengantongi legalitas agama dan
merasa sebagai kelompok yang mampu mengimplementasikan firman Allah dan sabda
rasul-Nya. Sebuah realita yang patut disayangkan; bagaimana mungkin dalam sebuah
negara mempunyai begitu banyak otoritas dalam memberikan rekomendasi masuknya
awal bulan Ramadlan maupun Syawal, sebagai tanda umat Islam mempunyai kewajiban
berpuasa dan berhari raya.
Memang, sejauh ini, realita sosial
masing-masing organisasi keagamaan masih mampu menunjukkan sikap toleransi,
meskipun dalam tataran praktis di kalangan tertentu masih tetap terkontaminasi,
sehingga perbedaan itu berpotensi menciptakan terjadinya sentimen keagamaan di
luar paham kelompoknya. Inilah sebuah problem yang tentunya membutuhkan gagasan
solutif agar semua pihak tidak terjebak pada pola berfikir particular dan
parsial sehingga mampu menciptakan pola berfikir multidimensional dan
komprehensif.
II. Legalisasi Metodologi
Rukyah dan Hisab
Membicarakan metodologi rukyah --dalam konteks
Indonesia-- tentunya tidak lepas dari organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU).
Setiap menjelang bulan puasa dan hari raya, organisasi ini secara konsisten
menggunakan metode rukyah sebagai skala prioritasnya, daripada metode hisab.
Legalitas metodologi rukyah yang digunakan bertendensi adalah al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 185 dan banyak Hadits yang secara eksplisit menggunakan
redaksi “rukyah” dalam menentukan awal
bulan awal puasa dan hari raya. Oleh karena itu –menurut mereka, dengan mengacu
pada pendapat mayoritas ulama—hadits mengenai rukyah tersebut mempunyai
kapasitas sebagai interpretasi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 tersebut di
atas. Jika bentuk perintah pada redaksi Hadits sekaligus praktek yang dilakukan
pada pereode nabi telah jelas menggunakan rukyah, mengapa harus menggunakan
metode hisab?
Pada kesempatan lain, organisasi keagamaan semisal
Muhammadiyah bersikeras menggunakan metodologi hisab dan meyakini bahwa metode
ini sebagai metode paling relevan yang harus digunakan umat Islam dewasa ini.
Argumen ini mengemuka salahsatunya mengacu pada aspek akurasi metodologis-nya.
Menurut mereka, polusi, pemanasan global dan keterbatasan kemampuan penglihatan
manusia juga menyebabkan metode rukyah semakin jauh relevansinya untuk dijadikan
acuan penentuan awal bulan.
Semangat al-Qur’an adalah menggunakan hisab,
sebagaimana terdapat pada surat al-Rahman ayat 5. Di sana menegaskan bahwa
matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat
dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini bukan hanya bersifat informative,
namun lebih dari itu, ia sebagai motifasi umat Islam untuk melakukan perhitungan
gerak matahari dan bulan.
Mengenai redaksi “syahida” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 185 itu bukanlah “melihat” sebagai interpretasinya, namun ia bermakna
“bersaksi”, meskipun dalam tataran praktis pesaksi samasekali tidak melihat
visibilitas hilal (penampakan bulan).
Memang, banyak hadits secara
eksplisit memerintahkan untuk melakukan rukyah, ketika hendak memasuki bulan
Ramadlan maupun Syawal. Namun redaksi itu muncul disebabkan kondisi disiplin
ilmu astronomi pereode nabi berbeda dengan pereode sekarang, dimana kajian
astronomi sekarang jauh lebih sistematis sekaligus akurasinya lebih dapat
dipertanggungjawabkan. Nabi sendiri dalam sebuah hadisnya menyatakan
bahwa: ”innâ ummatun ummiyyatun, lâ naktubu wa
lâ nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”,
Artinya: “Kita adalah umat yang ummi, tidak
dapat menulis dan berhitung. Bulan itu seperti ini dan seperti ini, (nabi
berisyarat dengan menggunakan tangannya)”. Jadi, mempriotiaskan metode
hisab merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pada pereode
nabi.
III. Analisa, Solusi dan
Penutup
Menurut hemat Penulis, metodologi hisab dan rukyah
merupakan dua komponen yang mempunyai korelasi sangat erat dan hampir tidak
dapat dipisahkan. Rasanya tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya
murni menggunakan metode rukyah. Sebab, meskipun telah dilengkapi dengan
teknologi teleskop, ada banyak problematika yang harus dihadapi, semisal adanya
polusi, pemanasan global dan kemampuan mata yang terbatas, sebagaimana yang
telah disebutkan di atas. Begitu juga sebaliknya, tidak tepat jika dalam
penentuan awal bulan hanya menggunakan metode hisab. Alasan paling mendasar
adalah fakta empiris metodologi ini bermula dari sebuah riset para astronom,
sedangkan obyeknya adalah "melihat" peredaran matahari dan bulan. Memang,
dipandang dari akurasi metodologisnya, hisab lebih unggul dibanding rukyah.
Tingkat kesalahan metodologi hisab jauh lebih kecil dibanding metodologi rukyah.
Namun, bagaimanapun juga hasil ilmiah apapun tidak akan pernah dapat
dipertanggungjawabkan jika pada akhirnya tidak sesuai dengan fakta.
Telah
jelas kontroversi metodologi hisab maupun rukyah --secara aplikatif-- merupakan
persoalan furu’iyyat (hukum cabang).
Tentunya perbedaan-perbedaan yang ada tidak perlu dibesar-besarkan. Namun,
fenomena kontroversial itu tidak dapat dibiarkan bagitu saja, mengingat dampak
arus bawah yang timbul begitu signifikan. Pada dasarnya itsbat (keputusan) penetapan bulan Ramadlan
maupun Syawal adalah hak preogratif pemerintah (Departemen Agama) secara
otoritatif. Apalagi telah jelas, pemerintah selama ini mampu mengakomodir semua
aspirasi organisasi keagamaan di Indonesia, dengan mengundang masing-masing
delegasi untuk melakukan rukyat sekaligus hisab. Jadi, sama sekali tidak salah,
jika mulai dari sekarang masing-masing organisasi mencoba untuk menghormati
otoritas pemerintahan ini. Wallahu
a’lam.
0 Komentar:
Posting Komentar