Usai menunaikan ibadah
haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa. Untuk bekal di
perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang
dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat timbangan.
Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya.
Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa.
4 Bulan kemudian,
Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah
pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali.
Tiba tiba ia mendengar
percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
"Itu, Ibrahim bin
Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH
SWT," kata malaikat yang satu.
"Tetapi sekarang
tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang
jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram," jawab
malaikat yang satu lagi.
Ibrahim bin adham
terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya,
doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT
gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya. "Astaghfirullahal
adzhim" ibrahim beristighfar.
Ia langsung berkemas
untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk
meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di
Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan
pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. "4 bulan yang lalu saya
membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?"
tanya ibrahim.
"Sudah meninggal
sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma"
jawab anak muda itu.
"Innalillahi wa
innailaihi roji'un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?".
Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan
penuh minat. "Nah, begitulah" kata ibrahim setelah bercerita, "Engkau
sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik
ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?".
"Bagi saya tidak
masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang
jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka
mempunyai hak waris sama dengan saya."
"Dimana alamat
saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu."
Setelah menerima
alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga.
Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh
ibrahim.
4 bulan kemudian,
Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia mendengar dua
malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. "Itulah ibrahim bin adham
yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain."
"O, tidak..,
sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli
waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari
kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia
sudah bebas."
"Oleh sebab
itu berhati-hatilah dgn makanan yg masuk ke tubuh kita, sudah halal-kah? lebih
baik tinggalkan bila ragu-ragu...
Kelahiran dan pertumbuhannya:
Salman Al-Farisi r.a. lahir di suatu desa
bernama Jiyan di wilayah kota Aspahan - Iran , yaitu antara kota Teheran dengan Syiraz. Setelah Salman
r.a. mendengar kebangkitan Rasulullah saw. dia langsung berangkat meninggalkan Persia mencari
Nabi saw. untuk menyatakan keislamannya.
Dalam suatu kisah, Salman menceritakan
otobiografinya sbb. 'Saya adalah anak muda Persia
yang berasal dari suatu desa di kota
Aspahan yang bernama Jiyan.
Ayah saya adalah kepala desa dan orang
terkaya serta terhormat di desa itu. Dari sejak lahir, saya adalah orang yang
paling disayanginya, kasih sayangnya kepada saya semakin hari semakin kental,
sehingga saya di kurung di rumah bagaikan gadis pingitan.
Saya termasuk orang yang takwa dalam agama
majusi, sehingga saya merasakan nilai api yang kami sembah itu dan saya diberi
tanggungjawab menyalakannya, jangan sampai padam sepanjang hari dan sepanjang
malam.
Ayah saya mempunyai ladang yang luas yang
memberi kami penghidupan yang cukup. Ayah saya selalu mengurusi dan memanennya
sendiri.
Di suatu hari, dia tidak bisa pergi ke
ladang, lalu dia mengatakan kepada saya, 'Anakku! Ayah sibuk dan tidak bisa
pergi ke ladang hari ini, sebab itu pergilah urusi ladang tersebut menggantikan
Ayah.' Lalu saya berangkat menuju ladang kami.
Di tengah perjalanan, saya melewati sebuah
gereja Kristen dan mendengar suara mereka yang sedang beribadah di dalam. Hal
itu menarik perhatian saya karena saya tidak pernah tahu sedikitpun tentang
agama Kristen dan agama lainnya, karena sepanjang usia saya selalu dipingit di
dalam rumah oleh orang tua saya. Setelah mendengar suara itu, saya masuk ingin
mengetahui secara dekat apa yang sedang mereka lakukan.
Setelah saya memperhatiakan apa yang mereka
kerjakan, saya merasa tertarik dengan cara mereka beribadah, malah saya
tertarik dengan agama mereka. Saya mengatakan dalam hati saya, 'Sungguh agama
mereka ini lebih baik dari agama kami.'
Saya tidak keluar dari gereja tersebut
sampai matahari terbenam sehingga saya tidak jadi pergi ke ladang kami. Saya
menayakan kepada mereka, 'Dari mana asal agama ini?' Mereka menjawab, 'Dari
daerah Syam.'
Setelah malam menjelang, saya pulang ke
rumah. Ayah saya langsung menanyakan kepada saya apa yang telah saya lakukan.
Saya menjawab, 'Hai Ayahku! Saya melewati sekelompok orang yang sedang
beribadah di dalam gereja, lalu saya tertarik dengan cara mereka beribadah.
Saya berada bersama mereka sampai matahari terbenam.' Ayah saya langsung marah
mendengar tindakan saya dan dia mengatakan,
'Hai anakku! Agama mereka itu tidak baik,
agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik dari agama itu.'
Saya menjawab, 'Tidak ayah! Agama mereka
lebih baik dari agama kita.' Dari perkataan saya itu, syah saya takut
kalau-kalau saya akan murtad, lalu dia mengurung saya di rumah dengan mengekang
kaki saya.'
Berangkat ke
negeri Syam:
Ketika saya mendapat kesempatan, saya
mengirim pesan kepada kaum Kristen itu. Saya mengatakan,'Bila ada rombongan
yang akan berangkat ke negeri Syam, tolong saya diberi tahu.' Ternyata tidak
berapa lama ada satu rombongan yang akan berangkat ke negeri Syam.
Mereka pun langsung memberitahukannya
kepada saya. Saya berusaha membuka kekang kaki saya dan saya berhasil
membukanya. Saya berangkat bersama mereka secara sembunyi dan akhirnya kami
sampai di negeri Syam. Setibanya di negeri Syam, saya mengatakan, 'Siapa orang
nomor satu dalam agama ini?' Mereka menjawab, 'Uskup pengasuh gereja.'
Saya mendatanginya dan mengatakan
kepadanya, 'Saya tertarik dengan agama Kristen ini dan saya ingin mengikuti dan
membantumu sekaligus belajar dari kamu dan beribadah bersama kamu.' Dia
menjawab, 'Silakan masuk!' Saya pun masuk dan menjadi pembantunya.
Belum berlangsung lama, saya menilai bahwa
orang tersebut adalah orang jahat, dia menyuruh pengikutnya untuk berderma dan
mengiming-imingi mereka dengan pahala yang sangat besar. Setelah mereka
memberikannya dengan niat fi sabilillah, ternyata dia monopoli untuk dirinya sendiri,
tidak diberikan kepada fakir miskin sedikitpun. Dia berhasil mengumpulkan
sebanyak tujuh karung emas. Melihat keadaan itu, saya menaruh kebencian yang
luar biasa terhadapnya.
Ketika dia meninggal, kaum Kristen
berkumpul untuk menguburkannya, ketika itu saya mengatakan kepada mereka,
'Sesungguhnya teman kamu ini adalah orang jahat, dia menyuruh kamu bersedekah
dan mengiming-imingkan pahala besar, setelah kalian kumpulkan, dia monopoli
untuk dirinya sendiri, dia tidak berikan sedikitpun kepada fakir miskin.'
Mereka menjawab, 'Dari mana kamu tahu?' Saya menjawab, 'Mari saya tunjukkan
kepada kamu sekarang juga tempat penyimpanan harta itu' Mereka mengatakan, 'Ayo
tunjukkan kepada kami tempatnya.'
Saya pun menunjukkannya dan mereka
menemukan tujuh karung emas dan perak. Setelah mereka melihat secara langsung,
mereka mengatakan, 'Demi Allah kita tidak akan menguburkannya, kita harus
menyalib dan melemparinya dengan batu.'
Tidak lama kemudian mereka mengangkat orang
lain sebagai penggantinya, lalu saya mengikutinya. Sungguh saya belum pernah
mendapatkan orang yang paling zuhud dan mengharap akhirat melebihi orang itu.
Ibadahnya yang berlangsung siang malam membuat saya mnyenanginya, lalu saya
hidup bersama dia beberapa tahun. Ketika menjelang wafatnya, saya mengatakan
kepadanya, 'Ya Polan! Kepada siapa
engkau pesankan saya dan dengan siapa saya akan hidup sepeninggal kamu?'
Dia menjawab, 'Ya anakku! Terus terang saya
tidak melihat ada orang yang tingkat keagamaannya seperti kita, kecuali satu
orang di kota
Musol yang bernama Polan. Dia tidak merubah-rubah dan mengganti-ganti ayat
Allah. Oleh sebab itu carilah orang itu.'
Sepeninggal teman saya itu, saya pergi
menyusul orang tersebut ke kota
Musol. Setibanya di rumah beliau saya menceritakan kisah saya dan mengatakan
kepadanya, 'Ketika si Polan hendak meninggal dunia dia memesankan kepada saya
untuk menyusul kamu, dia memberitahukan kepada saya bahwa kamu berpegang kuat
dengan kebenaran. Dia mengatakan kepada saya, kalau begitu, tinggallah bersama
saya. Saya pun tinggal bersama beliau, dan memang betul dia adalah orang baik.
Tidak lama kemudian, diapun menemui
ajalnya. Ketika hendak meninggal saya bertanya kepadanya, 'Ya Polan! Janji
Tuhan sudah dekat kepada Anda, Anda tahu kondisi saya sebenarnya, oleh sebab
itu kepada siapa Anda memesankan saya dan siapa yang harus saya ikuti?'
Dia menjawab, 'Hai anakku! Terus terang
saya tidak melihat ada orang yang tingkat keagamaannya seperti kita kecuali
seorang di Nasibin yang bernama Polan, susullah dia ke sana ' Setelah orang itu bersemayam di liang
lahad, saya berangkat ke Nasibin mencari orang yang disebutkan itu. Saya
menceritakan kepadanya kisah saya dan pesan teman saya sebelumnya. Dia
mengatakan, 'Tinggallah bersama saya.'
Saya pun tinggal bersama dia dan ternyata
memang dia adalah orang baik seperti dua orang teman saya sebelumnya. Akan
tetapi tidak lama kemudian dia pun menemui ajalnya. Ketika menjelang maut, saya
bertanya kepadanya, 'Engkau telah mengetahui kondisi saya sebenarnya. Oleh
sebab itu kepada siapa engkau memesankan saya?'
Dia menjawab, 'Ya anakku! Terus terang saya
tidak menemukan ada orang yang tingkat keagamaannya seperti kita kecuali
seorang di kota
Amuriah yang bernama Polan, carilah orang itu.' Saya pun mencarinya dan saya
menceritakan kisah saya kepadanya. Dia menjawab, 'Tinggallah bersama saya.'
Saya pun tinggal bersama dia. Ternyata memang dia orang baik seperti yang
dikatakan orang sebelumnya. Selama saya tinggal bersama dia saya berhasil
mendapatkan beberapa ekor sapi dan harta kekayaan lainnya.
Pendeta Kristen
memesan Salman mengikuti Nabi:
Kemudian orang
tersebut pun menemui ajalnya seperti yang sebelumnya. Ketika menjelang
kematiannya, saya mengatakan kepadanya, 'Anda mengetahui kondisi saya
sebenarnya, oleh sebab itu kepada siapa engkau akan pesankan saya atau apa
pesan Anda untuk saya lakukan?'
Dia menjawab, 'Hai
anakku! Terus terang saya tidak menemukan seorang-pun di muka bumi ini yang
masih berpegang dengan agama kita, namun waktunya sudah tiba, seorang nabi yang
akan membawa agama Nabi Ibrahim akan muncul di tanah Arab, dia akan hijrah dari
tanah tumpah darahnya ke daerah yang penuh dengan pohon kurma di antara dua
gunung, dia mempunyai tanda kenabian yang sangat jelas, dia mau memakan hadiah
tapi tidak mau memakan sedekah, di antara bahunya terdapat cap kenabian. Jika
Anda bisa menyusul ke negeri itu, silakan.' Tidak lama kemudian dia pun
meninggal dunia, saya pun tinggal di kota Amuriah untuk beberapa waktu.
Datang ke jazirah Arabia:
Ketika rombongan
pedagang dari Suku Kalb -Arab- lintas di Amuriah, saya berkata kepada mereka,
'Jika kalian sanggup membawa saya ke tanah Arab, saya berikan kepada kalian
sapi dan harta kekayaan saya ini.' Mereka menjawab, 'Ya, kami sanggup membawa
kamu.' Saya pun memberikan sapidan kekayaan saya tersebut kepada mereka dan
mereka pun membawa saya.
Ketika saya sampai di Wadil qura, mereka
menipu saya dan menjual saya kepada kepada seorang yahudi dan memperlakukan
saya sebagai hambanya. Suatu ketika, saudaranya dari suku Quraizah datang
menemuinya, lalu dia membeli dan membawa saya pergi ke Yasrib (Madinah). Di sana saya melihat pohon kurma yang disebut oleh teman saya
yang di Amuria, dari diskripsi yang disampaikan teman saya itu, saya tahu
persis bahwa inilah kota
yang dimaksudkan itu. Saya pun tinggal brsama tuan saya di kota itu.
Ketika itu Nabi saw. sudah mulai mengajak
kaumnya di Mekah untuk masuk Islam, namun saya tidak mendengar apa-apa dari
kegiatan Nabi itu karena kesibukan saya sehari-hari sebagai budak.
Memeluk Islam:
Tidak berapa lama, Rasulullah saw. pun
hijrah ke Yasrib. Demi Allah ketika saya berada di atas sebatang pohon kurma
milik tuan saya, sedang memberesi kurma itu, sedangkan tuan saya duduk dibawah,
seorang saudaranya datang dan mengatakan kepadanya, 'Celaka besar atas bani Qilah,
mereka sekarang sedang berkumpul di Kuba, menunggu seorang yang mengklaim
dirinya sebagai seorang nabi akan datang hari ini.'
Setelah saya mendengar pembicaraan mereka
itu, saya langsung merinding kayak demam, saya gemetar, sehingga saya khawatir
akan jatuh ke tuan saya. Saya segera turun dari pohon kurma tersebut lalu
mengatakan kepada tamu itu, 'Apa tadi yang Anda katakan? Tolong ulangi katakan
kepada saya!' Tuan saya langsung marah dan memukul saya sekuat-kuatnya lalu
mengatakan,
'Urusan apa kamu dengan berita itu? Kembali
teruskan pekerjaanmu!'
Di sore harinya, saya mengambil sedikit
kurma yang telah saya kumpulkan sebelumnya, lalu saya berangkat ke tempat Nabi
tinggal. Ketika itu saya mengatakan kepada Rasulullah, 'Saya mendengar bahwa
Anda adalah orang saleh, datang bersama teman-teman dari kejauhan memerlukan
sesuatu. Di tangan saya ada sedikit sedekah, nampaknya kamu lebih pantas
menerimanya.'
Lalu saya dekatkan kurma itu kepada mereka.
Rasulullah saw. mengatakan kepada para Sahabat, 'Makanlah' sedangkan dia
sendiri tidak memakannya. Saya mengatakan dalam hati saya, 'Ini dia satu tanda
kenabiannya.'
Kemudian saya kembali ke rumah dan
mengambil beberapa buah kurma, ketika Nabi saw. berangkat dari Quba ke Madinah,
saya mendatanginya dan mengatakan kepadanya, 'Tampaknya Anda tidak memakan
sedekah, ini ada sedikit hadiah saya bawa sebagai penghormatan kepada Anda.'
Rasululullah pun memakannya dan menyuruh
sahabat untuk ikut memakannya, lalu mereka makan bersama-sama.
Dalam hati saya
berkata, 'Ini dia tanda kenabian kedua'
Ketika Nabi berada di
Baqi Gargad, ingin menguburkan seorang sahabat, saya mendatangi beliau dan
melihat beliau sedang duduk memakai dua selendang. Saya mengucapkan salam
kepadanya, kemudian saya berjalan berputar sekeliling beliau untuk melihat
punggungnya, barang kali saja saya dapat melihat cap seperti yang dikatakan
oleh teman saya di Amuriah. Setelah Nabi melihat bahwa saya memperhatikan
punggung beliau, dia mengerti tujuan saya, lalu dia mengangkat selendangnya,
ketika itu saya melihat ada cap, lalu saya yakin bahwa itulah cap kenabian,
lalu saya memeluk dan mencium beliau sambil menangis.
Melihat hal itu
Rasulullah saw. bertanya, 'Apa gerangan yang terjadi pada kamu?' Saya pun
menceritakan kisah saya dan beliau sangat kagum dan beliau menginginkan agar
saya perdengarkan kepada para sabahat, lalu saya memperdengarkannya. Mereka
semua kagum dan gembira yang tiada taranya.
Salman masuk Islam dan dimerdekakan,
seterusnya menjadi seorang sahabat yang sangat mulia. Dia sempat menjabat
gubernur di zaman khulafaur Rasyidun di beberapa negeri. Mudah-mudahan Allah
meridai beliau.
Biografinya:
Dalam satu riwayat,
disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah meletakkan tangannya di atas Salman,
lalu bersabda, 'Seandainya iman berada nun jauh di planet Tata surya, pasti
akan dicapai oleh orang-orang mereka ini.' sambil beliau menunjuk kepada Salman
r.a.
Sumber: alislam
(Abu Saifulhaq)
Diriwayatkan dari Mali
bin Dinar, dia pernah ditanya tentang sebab-sebab dia bertaubat, maka dia
berkata : "Aku adalah seorang polisi dan aku sedang asyik menikmati khamr,
kemudia akau beli seorang budak perempuan dengan harga mahal, maka dia
melahirkan seorang anak perempuan, aku pun menyayanginya.
Ketika dia mulai
bisa berjalan, maka cintaku bertambah padanya. Setiap kali aku meletakkan
minuman keras dihadapanku anak itu datang padaku dan mengambilnya dan
menuangkannya di bajuku, ketika umurnya menginjak dua tahun dia meninggal
dunia, maka aku pun sangat sedih atas musibah ini.
Ketika malam
dipertengahan bulan Sya'ban dan itu di malam Jum'at, aku meneguk khamr lalu
tidur dan belum shalat isya'. Maka akau bermimpi seakan-akan qiyamat itu
terjadi, dan terompet sangkakala ditiup, orang mati dibangkitkan, seluruh
makhluk dikumpulkan dan aku berada bersama mereka, kemudian aku mendengar
sesuatu yang bergerak dibelakangku.
Ketika aku menoleh
ke arahnya kulihat ular yang sangat besar berwarna hitam kebiru-biruan membuka
mulutnya menuju kearahku, maka aku lari tunggang langgang karena ketakutan,
Ditengah jalan
kutemui seorang syaikh yang berpakaian putih dengan wangi yang semerbak, maka
aku ucapkan salam atasnya, dia pun menjawabnya, maka aku berkata :
"Wahai syaikh
! Tolong lindungilah aku dari ular ini semoga Allah melindungimu". Maka
syaikh itu menangis dan berkata padaku :
"Aku orang
yang lemah dan ular itu lebih kuat dariku dan aku tak mampu mengatasinya, akan
tetapi bergegaslah engkau mudah-mudahan Allah menyelamatkanmu",
Maka aku bergegas
lari dan memanjat sebuah tebing Neraka hingga sampai pada ujung tebing itu, aku
lihat kobaran api Neraka yang sangat dahsyat, hampir saja aku terjatuh
kedalamnya karena rasa takutku pada ular itu. Namun pada waktu itu seorang
menjerit memanggilku,
"Kembalilah
engkau karena engkau bukan penghuni Neraka itu!", aku pun tenang
mendengarnya, maka turunlah aku dari tebing itu dan pulang. Sedang ular yang
mengejarku itu juga kembali. Aku datangi syaikh dan aku katakan,
"Wahai syaikh,
aku mohon kepadamu agar melindungiku dari ular itu namun engkau tak mampu
berbuat apa-apa". Menangislah syaikh itu seraya berkata, "Aku seorang
yang lemah tetapi pergilah ke gunung itu karena di sana terdapat banyak
simpanan kaum muslimin, kalau engkau punya barang simpanan di sana maka barang
itu akan menolongmu"
Aku melihat ke
gunung yang bulat itu yang terbuat dari perak. Di sana ada setrika yang telah
retak dan tirai-tirai yang tergantung yang setiap lubang cahaya mempunyai
daun-daun pintu dari emas dan di setiap daun pintu itu mempunyai tirai sutera.
Ketika aku lihat
gunung itu, aku langsung lari karena kutemui ular besar lagi. Maka tatkala ular
itu mendekatiku, para malaikat berteriak : "Angkatlah tirai-tirai itu dan
bukalah pintu-pintunya dan mendakilah kesana!" Mudah-mudahan dia punya
barang titipan di sana yang dapat melindunginya dari musuhnya (ular).
Ketika tirai-tirai
itu diangkat dan pintu-pintu telah dibuka, ada beberapa anak dengan wajah
berseri mengawasiku dari atas. Ular itu semakin mendekat padaku, maka aku
kebingungan, berteriaklah anak-anak itu :
"Celakalah
kamu sekalian!, Cepatlah naik semuanya karena ular besar itu telah mendekatinya".
Maka naiklah mereka dengan serentak, aku lihat anak perempuanku yang telah
meninggal ikut mengawasiku bersama mereka. Ketika dia melihatku, dia menangis dan berkata :
"Ayahku, demi
Allah!" Kemudian dia melompat bak anak panah menuju padaku, kemudian dia
ulurkan tangan kirinya pada tangan kananku dan menariknya, kemudian dia ulurkan
tangan kanannya ke ular itu, namun binatang tersebut lari.
Kemudian dia
mendudukkanku dan dia duduk di pangkuanku, maka aku pegang tangan kanannya
untuk menghelai jenggotku dan berkata : "Wahai ayahku! Belumkah datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah". (QS. Al-Hadid : 16).
Maka aku menangis dan
berkata : "Wahai anakku!, Kalian semua faham tentang Al-Qur'an", maka
dia berkata :
"Wahai ayahku,
kami lebih tahu tentang Al-Qur'an darimu", aku berkata :
"Ceritakanlah
padaku tentang ular yang ingin membunuhku", dia menjawab :
"Itulah
pekerjaanmu yang buruk yang selama ini engkau kerjakan, maka itu akan
memasukkanmu ke dalam api Neraka", akau berkata :
"Ceritakanlah
tentang Syaikh yang berjalan di jalanku itu", dia menjawab : "Wahai
ayahku, itulah amal shaleh yang sedikit hingga tak mampu menolongmu", aku
berkata :
"Wahai anakku,
apa yang kalian perbuat di gunung itu?", dia menjawab : "Kami adalah
anak-anak orang muslimin yang di sini hingga terjadinya kiamat, kami menunggu
kalian hingga datang pada kami kemudian kami memberi syafa'at pada
kalian". (HR. Muslim dalam shahihnya No. 2635).
Berkata Malik :
"Maka akupun takut dan aku tuangkan seluruh minuman keras itu dan
kupecahkan seluruh botol-botol minuman kemudian aku bertaubat pada Allah, dan
inilah cerita tentang taubatku pada Allah".
Dikutip dari : Hakikat
Taubat.
SUMBER :
http:/www.alirsyad-alislamy.or.id
Sore itu adalah sore yang sangat dingin di
Virginia bagian utara, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Janggut si orang tua
dilapisi es musim dingin selagi ia menunggu tumpangan menyeberangi sungai.
Penantiannya seakan tak berakhir. Tubuhnya menjadi mati rasa dan kaku akibat
angin utara yang dingin.
Samar-samar ia mendengar irama teratur
hentakan kaki kuda yang berlari mendekat di atas jalan yang beku itu. Dengan
gelisah iamengawasi beberapa penunggang kuda memutari tikungan.
Ia membiarkan beberapa kuda lewat, tanpa
berusaha untuk menarik perhatian. Lalu, satu lagi lewat, dan satu lagi.
Akhirnya, penunggang kuda yang terakhir mendekati tempat si orang tua yang
duduk seperti patung salju.
Saat yang satu ini mendekat, si orang tua
menangkap mata si penunggang...dan ia pun berkata, "Tuan, maukah anda
memberikan tumpangan pada orang tua ini ke seberang ? Kelihatannya tak ada
jalan untuk berjalan kaki."
Sambil menghentikan kudanya, si penunggang
menjawab, "Tentu. Naiklah." Melihat si orang tua tak mampu mengangkat
tubuhnya yang setengah membeku dari atas tanah, si penunggang kuda turun dan
menolongnya naik ke atas kuda.
Si penunggang membawa si orang tua itu
bukan hanya ke seberang sungai, tapi terus ke tempat tujuannya, yang hanya
berjarak beberapa kilometer. Selagi mereka mendekati pondok kecil yang nyaman,
rasa ingin tahu si penunggang kuda atas sesuatu, mendorongnya untuk bertanya,
"Pak, saya lihat tadi bapak membiarkan
penunggang2 kuda lain lewat, tanpa berusaha meminta tumpangan. Saya ingin tahu
kenapa pada malam musim dingin seperti ini Bapak mau menunggu dan minta tolong
pada penunggang terakhir. Bagaimana kalau saya tadi menolak dan meninggalkan
bapak di sana ?"
Si orang tua menurunkan tubuhnya perlahan
dari kuda, memandang langsung mata si penunggang kuda dan menjawab, "Saya
sudah lama tinggal di daerah ini. Saya rasa saya cukup kenal dengan
orang."
Si orang tua melanjutkan, "Saya
memandang mata penunggang yang lain, dan langsung tahu bahwa di situ tidak ada
perhatian pada keadaan saya. Pasti percuma saja saya minta tumpangan.
Tapi waktu saya melihat matamu, kebaikan
hati dan rasa kasihmu terasa jelas ada pada dirimu. Saya tahu saat itu juga
bahwa jiwamu yang lembut akan menyambut kesempatan untuk memberi saya
pertolongan pada saat saya membutuhkannya."
Komentar yang menghangatkan hati itu
menyentuh si penunggang kuda dengan dalam. "Saya berterima kasih sekali
atas perkataan bapak", ia berkata pada si orang tua. "Mudah-mudahan
saya tidak akan terlalu sibuk mengurus masalah saya sendiri hingga saya gagal
menanggapi kebutuhan orang lain.."
Seraya berkata demikian, Thomas Jefferson,
si penunggang kuda itu, memutar kudanya dan melanjutkan perjalanannya menuju ke
Gedung Putih.
The Sower's Seeds - Brian Cavanaugh.
Kau tak akan pernah tahu kapan kau akan
memerlukan orang lain, atau kapan seseorang memerlukanmu. Kebijakan dari
seluruh hidupmu melukis sebuah citra dimatamu, yang membantu orang lain
melihat, menemukan pertolongan yang ia butuhkan, dan bahwa masih ada keutamaan
lain di dunia ini dari pada sekedar peduli dengan dirimu sendiri, yaitu
kepedulianmu pada orang lain, sahabatmu atau benar-benar orang lain.
Maka bila ada sahabat atau seseorang
memerlukan perhatian atau bantuanmu, atau meminta maaf atas satu kesalahan, itu
karena ia menghormati dan menghargai kebaikan yang pasti ada dalam jiwamu. Kau
dapat menghormati juga permintaan itu, atau kau meninggalkannya di tengah jalan
sendirian.
(Riwayat : Anas r.a; Abu Dawud; Al Bukhari)
Seiring dengan berlalunya waktu, para
pemeluk agama Islam yang semula sedikit, bukannya semakin surut jumlahnya.
Betapa hebatnya perjuangan yang harus dihadapi untuk menegakkan syiar agama ini
tidak membuatnya musnah. Kebenaran memang tidak dapat dmusnahkan.
Semakin hari semakin bertambah banyak saja
orang-orang yang menjadi penganutnya. Demikian pula dengan penduduk dikota
Madinah, yang merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam pada masa-masa
awalnya. Sudah sebagian tersebar dari penduduk yang ada dikota itu sudah
menerima Islam sebagai agamanya.
Ketika orang-orang Islam masih sedikit
jumlahnya, tidaklah sulit bagi mereka untuk bisa berkumpul bersama-sama untuk
menunaikan sholat berjama` ah. Kini, hal itu tidak mudah lagi mengingat setiap
penduduk tentu mempunyai ragam kesibukan yang tidak sama. Kesibukan yang tinggi
pada setiap orang tentu mempunyai potensi terhadap kealpaan ataupun kelalaian
pada masing-masing orang untuk menunaikan sholat pada waktunya.
Dan tentunya, kalau hal ini dapat terjadi
dan kemudian terus-menerus berulang, maka bisa dipikirkan bagaimana jadinya
para pemeluk Islam. Ini adalah satu persoalan yang cukup berat yang perlu
segera dicarikan jalan keluarnya.
Pada masa itu, memang belum ada cara yang
tepat untuk memanggil orang sholat. Orang-orang biasanya berkumpul dimasjid
masing -masing menurut waktu dan kesempatan yang dimilikinya. Bila sudah banyak
terkumpul orang, barulah sholat jama `ah dimulai.
Atas timbulnya dinamika pemikiran diatas,
maka timbul kebutuhan untuk mencari suatu cara yang dapat digunakan sebagai
sarana untuk mengingatkan dan memanggil orang-orang untuk sholat tepat pada
waktunya tiba.
Saran-saran diatas memang cukup
representatif. Tapi banyak sahabat juga yang kurang setuju bahkan ada yang
terang-terangan menolaknya. Alasannya sederhana saja : itu adalah cara-cara
lama yang biasanya telah dipraktekkan oleh kaum Yahudi. Rupanya banyak sahabat
yang mengkhawatirkan image yang bisa timbul bila cara-cara dari kaum kafir
digunakan. Maka disepakatilah untuk mencari cara-cara lain.
Lantas, ada usul dari Umar r.a jikalau
ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk sholat
pada setiap masuknya waktu sholat. Saran ini agaknya bisa diterima oleh semua
orang, Rasulullah SAW juga menyetujuinya. Sekarang yang menjadi persoalan
bagaimana itu bisa dilakukan ? Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid r.a
meriwayatkan sbb :
"Ketika cara memanggil kaum muslimin
untuk sholat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku
melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan
bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang
begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja.
Orang tersebut malah bertanya," Untuk
apa ? Aku menjawabnya,"Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat
memanggil kaum muslim untuk menunaikan sholat." Orang itu berkata
lagi,"Maukah kau kuajari cara yang lebih baik ?" Dan aku menjawab
" Ya !"
Lalu dia berkata lagi, dan kali ini dengan
suara yang amat lantang , " Allahu Akbar,Allahu Akbar.."
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui
Rasulullah SAW dan menceritakan perihal mimpi itu kepada beliau. Dan beliau
berkata,"Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan
ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan
seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun
melakukan hal itu bersama Bilal."
Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh
Umar r.a, ia juga menceritakannya kepada Rasulullah SAW . Nabi SAW bersyukur
kepada Allah SWT atas semua ini.
Tulisan diambil dari Al-Islam Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Prof. Arthur Alison: ''Karena Az
Zumar 42''
Namaku Arthur Alison, seorang profesor yang
menjabat Kepala Jurusan Teknik Elektro
Universitas London .
Sebagai orang eksak, bagiku semua hal bisa dikatakan benar jika masuk akal dan
sesuai rasio. Karena itulah, pada awalnya agama bagiku tak lebih dari objek
studi. Sampai akhirnya aku menemukan bahwa Al Quran, mampu menjangkau pemikiran
manusia. Bahkan lebih dari itu. Maka aku pun memeluk Islam.
Itu bermula saat aku diminta tampil untuk
berbicara tentang metode kedokteran spiritual. Undangan itu sampai kepadaku
karena selama beberapa tahun, aku
mengetuai Kelompok Studi Spiritual dan Psikologis Inggris. Saat itu, aku
sebenarnya telah mengenal Islam melalui sejumlah studi tentang agama-agama.
Pada September 1985 itulah, aku diundang
untuk mengikuti Konferensi Islam Internasional tentang 'Keaslian Metode Pengobatan
dalam Al Quran'di Kairo. Pada acara itu, aku mempresentasikan makalah tentang
'Terapi dengan Metode Spiritual dan Psikologis dalam Al Quran'.
Makalah itu merupakan pembanding atas
makalah lain tentang 'Tidur dan Kematian', yang bisa dibilang tafsir medis atas
Quran surat Az Zumar ayat 42 yang disampaikan ilmuwan
Mesir, Dr. Mohammed Yahya Sharafi.
Fakta-fakta yang dikemukakan Sharafi atas
ayat yang artinya, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan
(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah
jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang
lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir," telah membukakan
mata hatiku terhadap Islam.
Secara parapsikologis, seperti dijelaskan
Al Quran, orang tidur dan orang mati adalah dua fenomena yang sama. Yaitu
dimana ruh terpisah dari jasad. Bedanya, pada orang tidur, ruh dengan kekuasaan
Allah bisa kembali kepada jasad saat orang itu terjaga. Sedangkan pada orang
mati, tidak.
Ayat itu merupakan penjelasan, mengapa
setiap orang yang bermimpi sadar dan ingat bahwa ia telah bermimpi. Ia bisa
mengingat mimpinya, padahal saat bermimpi ia sedang tidur.
Al Quran surat Az Zumar
ayat 42 ini juga menjadi penjelasan atas orang yang mengalami koma. Secara fisik, orang yang koma tak ada bedanya dengan orang mati. Tapi ia
tak dapat dinyatakan mati, karena secara psikis ada suatu kesadaran yang masih
hidup.
"Bagaimana Al
Quran yang diturunkan 15 abad silam, bisa menjelaskan sebuah fenomena yang oleh
teori parapsikologis baru bisa dikonsepsikan pada abad ini?" Jawaban atas
pertanyaan inilah yang akhirnya meyakinkan aku untuk memeluk Islam.
Selepas sesi pemaparan
kesimpulan dalam konferensi itu, disaksikan oleh Syekh Jad Al-Haq, Dr. Mohammed
Ahmady dan Dr. Mohammed Yahya Sharafi, akupun menyatakan dengan tegas bahwa
Islam adalah agama yang nyata benarnya.
Terbukti, isi Al Quran
yang merupakan firman Allah pencipta manusia, sesuai dengan fakta-fakta ilmiah.
Kemudian dengan yakin, aku melafadzkan dua kalimat syahadat yang sudah sangat
fasih kubacakan. Sejak itu aku pun menjadi seorang Muslim dan mengganti namaku
menjadi Abdullah Alison.
Sebagai Ketua Kelompok
Studi Spiritual dan Psikologi Inggris, aku telah mengenal banyak agama melalui
sejumlah studi yang dilakukan. Aku mempelajari Hindu, Budha dan agama serta
kepercayaan lainnya. Entah kenapa, ketika aku mempelajari Islam, aku juga
terdorong untuk melakukan studi perbandingan dengan agama lainnya.
Walaupun baru pada
saat konferensi di Mesir, aku yakin benar bahwa
Islam sebuah agama besar yang nyata perbedaannya dengan agama lain. Agama yang paling baik diantara agama-agama lain
adalah Islam. Ia cocok dengan hukum alam tentang proses kejadian manusia. Maka
hanya Islam-lah yang pantas mengarahkan jalan hidup manusia.
Aku merasakan
benar, ada sesuatu yang mengontrol alam ini.
Dia itulah Sang Kreator, Allah Swt. Dari pengalaman bagaimana aku
mengenal dan masuk Islam, aku pikir pendekatan ilmiah Al Quran bisa menjadi
sarana efektif untuk mendakwahkan Islam di Barat yang sangat rasional itu.
Sumber :
(Pesantren.net)
Ini cerita tentang
Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia
Lima tahun. Pada suatu sore, Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu
supermarket. Ketika sedang menunggu giliran membayar, Anisa melihat sebentuk kalung
mutiara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak
berwarna pink yang sangat cantik.
Kalung itu nampak
begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya. Tapi... Dia tahu, pasti
Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket
dia sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk
dibeli.
Dan tadi Ibunya sudah
menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik. Namun karena
kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya.
"Ibu, bolehkah
Anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi... "
Sang Bunda segera
mengambil kotak kalung dari tangan Anisa. Dibaliknya tertera harga Rp 15,000.
Dilihatnya mata Anisa yang memandangnya
dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan
kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak konsisten...
"Oke ... Anisa, kamu boleh memiliki
Kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi. Dan karena harga
kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu akan potong uang tabunganmu
untuk minggu depan. Setuju ?"
Anisa mengangguk lega, dan segera berlari
riang mengembalikan kaos kaki ke raknya. "Terimakasih..., Ibu"
Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung
mutiaranya. Menurutnya, kalung itu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia
merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan
ketika tidur.
Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi
atau berenang. Sebab,kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan
membuat lehernya menjadi hijau...
Setiap malam
sebelum tidur, ayah Anisa membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam,
ketika selesai membacakan sebuah cerita,
Ayah bertanya
"Anisa..., Anisa sayang Enggak sama Ayah ?"
"Tentu dong...
Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !"
"Kalau begitu,
berikan kepada Ayah kalung mutiaramu...
"Yah...,
jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari
nenek... ! Itu kesayanganku juga
"Ya sudahlah
sayang,... ngga apa-apa !". Ayah mencium pipi Anisa sebelum keluar dari
kamar Anisa.
Kira-kira seminggu
berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi,
"Anisa..., Anisa sayang nggak sih, sama Ayah?"
"Ayah, Ayah
tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah?".
"Kalau begitu,
berikan pada Ayah Kalung mutiaramu."
"Jangan Ayah...
Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini.."Kata Anisa
seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.
Beberapa malam
kemudian, ketika Ayah masuk ke kamarnya, Anisa sedang duduk di atas tempat
tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam. Kedua
tangannya tergenggam di atas pangkuan. air mata membasahi pipinya..."Ada
apa Anisa, kenapa Anisa ?" Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka
tangannya.
Di dalamnya
melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya" Kalau Ayah mau...ambillah
kalung Anisa"
Ayah tersenyum
mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa. Kalung itu dimasukkan
ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk
kalung mutiara putih...sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi
Anisa..."Anisa... ini untuk Anisa. Sama bukan ? Memang begitu nampaknya,
tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau"
Ya..., ternyata
Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara imitasi
Anisa.
Demikian pula
halnya dengan Allah S.W.T. terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena Dia
berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang
kita seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa : Menggenggam erat sesuatu yang
kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus
kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan
Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang
lebih baik.
Sumber : Daarut tauhiid
Berawal dari sebuah perkenalannya dengan
seorang pemuda muslim Evi Cristiani yang kini sudah menjadi seorang muslimah
yang patut dicontoh. Perilaku keislamannya benar-benar diterapkan dalam
kehidupannya sehari-hari walau begitu berat cobaan yang dihadapinya.
Sekali syahadat sebagai kesaksian sakral
sudah ia ucapkan maka pantang baginya untuk surut menegakkan kalimat Allah
dalam kalbunya. Sudah pasti orang tuanya
menentang keinginannya, Evi pun harus hijrah ke tempat kost agar ibadahnya
lancar ia kerjakan.
Belum lagi beres masalah dengan orang
tuanya lantaran ia masuk Islam, Evi harus menghadapi masalah di tempat
kerjanya. Gadis berusia 27 tahun bekerja di sebuah biro perjalanan yang
mayoritas karyawannya beragama non muslim. Profesionalisme juga tidak
dijalankan di sana
karena sikap sebagian besar karyawannya masih memakai sentimen agama.
Hasilnya Evi jadi bulan-bulanan para atasan
karena dianggap tidak sejalan dengan pola pikir mereka. Ada acara rutin tiap dua pekan sekali yang
wajib diikuti oleh karyawan bagian Evi bertugas. Acara yang sarat dengan unsur
maksiat itu adalah mengunjungi bar-bar dan bersenang-senang hingga mabuk.
Dulu ia tidak pernah lewatkan acara itu
tapi sejak ia masuk Islam jelas acara model itu ia tolak mentah-mentah. Segala alasan ia cari agar ia bisa terbebas dari dosa
itu. Sampai akhirnya atasannya jenuh dan tidak akan mengajak Evi hura-hura
lagi. Beres dengan yang satu itu muncullah masalah lain yang tak kalah
menyakitkan
Ketika seorang
kawannya pulang dari tugas ke eropa, ia membawa oleh-oleh yang dibagikan ke
rekan-rekannya kantornya tak terkecualiEvi. Oleh-oleh berupa kue itu tak
disangka mengandung daging babi. Lantaran Evi tidak tahu ia makan segigit kue
itu lalu kawannya punberkata,"Evi itu kan ada babinya kok dimakan
juga"
Mendengar hal itu
Evi pun lari ke kamar mandi dan memuntahkan sebisa-bisa makanan dalam mulutnya sambil
beristighfar tak henti-henti. Kawannya pun ia tegur, tidak keras tapi tegas. Si
kawan merasa tidak salah dan berkelit. Evi menghentikan debatitu dan coba
menyabarkan dirinya.
Yang diingatnya
hanya kekuatan Allah agar bisa memberinya kekuatan untuk dapat bertahan dari
cobaan ini. Sejak itulah kebencian mulai tumbuh subur di antara rekan
sejawatnya. Menanggapi hal tersebut atasannya segera memindahkannya ke bagian
lain.
Lagi-lagi di bagian
yang baru Evi dihujam oleh fitnah yang bertubi tubi. Manajernya yang baru
justru yang menjadi momok lahirnya fitnahan tersebut. Cobaan demi cobaan itu
dipuncaki dengan dipanggilnya ia oleh pihak SDM.
Ia jelaskan bahwa
ia harus menjalankan kewajibannya sebagai muslim yaitu shalat dan berusaha
menghindari kemaksiatan sekeras mungkin.Jalan keluar tidak ketemu dan PHK jadi
solusi yang terbaik.Evi terima dengan ikhlas,"rejekiku sudah diatur
olehNya," gumam Evi mantap sambil keluar kantor dengan perasaan lega.
Semoga Allah Swt
memberikan kekuatan lahir bathin buat sdri. Evi yang telah mendapatkan Hidayah
di jalan Allah. Amin
Penulis Amma
Pada suatu hari Ibrahim bin Adham didatangi
oleh seorang lelaki yang gemar melakukan maksiat. Lelaki tersebut bernama
Jahdar bin Rabi'ah. Ia meminta nasehat kepada Ibrahim agar ia dapat
menghentikan perbuatan maksiatnya.
Ia berkata, "Ya Aba Ishak, aku ini
seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan aku cara yang
ampuh untuk menghentikannya!"
Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata,
"Jika kau mampu melaksanakan lima
syarat yang kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa."
Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu
yang besar Jahdar balik bertanya, "Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba
Ishak?"
"Syarat pertama, jika engkau
melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan rezeki Allah," ucap
Ibrahim.
Jahdar mengernyitkan dahinya lalu berkata,
"Lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini
adalah rezeki Allah?"
"Benar," jawab Ibrahim dengan
tegas. "Bila engkau telah mengetahuinya, masih pantaskah engkau memakan
rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan maksiat dan melanggar
perintah-perintahnya?"
"Baiklah," jawab Jahdar tampak
menyerah. "Kemudian apa syarat yang kedua?"
"Kalau kau bermaksiat kepada Allah,
janganlah kau tinggal di bumi-Nya," kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua membuat Jahdar lebih kaget
lagi. "Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus
tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?"
"Benar wahai
hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas memakan
rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat maksiat?"
tanya Ibrahim.
"Kau benar Aba
Ishak," ucap Jahdar kemudian. "Lalu apa syarat ketiga?" tanya
Jahdar dengan penasaran.
"Kalau kau masih
bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan tinggal di
bumi-Nya, maka carilah tempar bersembunyi dari-Nya."
Syarat ini membuat
lelaki itu terkesima. "Ya Aba Ishak,
nasihat macam apa semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?"
"Bagus! Kalau
kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-Nya,
tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah kau
melakukan semua itu?" tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak
bingung dan terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi'ah tidak
berkutik dan membenarkannya.
"Baiklah, ya
Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat keempat?"
"Jika malaikat
maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati
sebelum bertaubat dan melakukan amal saleh."
Jahdar termenung.
Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya selama ini. Ia
kemudian berkata, "Tidak mungkin... tidak mungkin semua itu aku
lakukan."
"Wahai hamba
Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara
apa kau dapat menghindari murka Allah?"
Tanpa banyak
komentar lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir.
Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
"Yang
terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat
nanti, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!"
Lelaki itu
nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh
penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata, "Cukup…cukup ya Aba
Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku
berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada
Allah."
Jahdar memang
menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar
berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan
baik dan khusyu'.
Ibrahim bin Adham
yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu mendengar
bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah terjadi
pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi karena
ulah gubernur yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.
Selanjutny, Ibrahim
bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi'ah untuk menghadap. Setelah ia menghadap,
Ibrahim pun berkata, "Wahai Jahdar, kini engkau telah bertaubat. Alangkah
mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk itu, aku ingin
memerintahkan engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di salah satu
wilayah kekuasaanku."
Mendengar perkataan
Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, "Wahai Aba Ishak, sungguh
suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang terbaik
untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap kemampuan
yang diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah gerangan
kezaliman itu terjadi?"
Ibrahim bin Adham
menjawab, "Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat
memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana."
Betapa kagetnya
Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata, "Ya
Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah adalah
sebuah wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku lakukan
dengan gerombolanku. Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan keadilan.
Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya."
Kemudian,
berangkatlah Jahdar bin Rabi'ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas
mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan.
Pada akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah
yang taat hingga akhir hayatnya.
Al-Islam - Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang
menyeleweng memang perlu keberanian yang tinggi, sebab resikonya besar.
Bisa-bisa akan kehilangan kebebasan, mendekam dalam penjara, bahkan lebih jauh
lagi dari itu, nyawa bisa melayang. Karena itu, tidaklah mengherankan ketika
pada suatu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya oleh seorang
sahabat perihal perjuangan apa yang paling utama, maka Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pun menjawab, "Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang
menyeleweng."
Demikian sabda Tasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam sebagaimana yang dikisahkan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i, Abu Daud, dan Tirmidzi, berdasarkan penuturan
Abu Sa'id al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, dan Abu Abdillah Thariq bin Syihab
al-Bajily al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali orang yang berani
melakukannya, yakni mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.
Di antara yang sedikit itu (orang yang
pemberani) terdapatlah nama Thawus al-Yamani. Ia adalah seorang tabi'in, yakni
generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka. Dikisahkan, suatu ketika Hisyam
bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melakukan perjalanan ke
Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau meminta agar
dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang hidup. Namun sayang, ternyata ketika itu tak seorang pun sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih hidup. Semua sudah wafat.
Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar dipertemukan dengan seorang tabi'in.
Datanglah Thawus al-Yamani menghadap
sebagai wakil dari para tabi'in. Ketika menghadap, Thawus al-Yamani
menanggalkan alas kakinya persis ketika akan menginjak permadani yang
dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudia ia langsung saja nyelonong masuk ke
dalam tanpa mengucapkan salam perhormatan pada khalifah yang tengah duduk
menanti kedatangannya. Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja,
"Assalamu'alaikum," langsung duduk di samping khalifah seraya bertanya,
"Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?"
Melihat perilaku Thawus seperti itu,
khalifah merasa tersinggung. Beliau murka bukan main. Hampir saja beliau
memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membunuh Thawus. Melihat gelagat
yang demikian, buru-buru Thawus berkata, "Ingat, Anda berada dalam wilayah
haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah dan tanah suci Rasul-Nya).
Karena itu, demi tempat yang mulia ini, Anda tidak diperkenankan melakukan
perbuatan buruk seperti itu!"
"Lalu apa maksudmu melakukakan semua
ini?" tanya khalifah.
"Apa yang aku lakukan?" Thawus
balik bertanya.
Dengan geram khalifah pun berkata,
"Kamu tanggalkan alas kaki persis di depan permadaniku. Kamu masuk tanpa
mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai khalifah, dan juga tidak
mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa
gelar dan kun-yahku. Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku
tanpa seizinku. Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?"
"Wahai Hisyam!" jawab Thawus,
"Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap
Tuhanku, Allah 'Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran
itu."
"Aku tidak mencium tanganmu lantaran
kudengar Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu pernah berkata bahwa seorang
tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali tangan istrinya karena syahwat
atau tangan anak-anaknya karena kasih sayang."
"Aku tidak mengucapkan salam
penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata amiirul mukminin lantaran
tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; karenanya aku enggan untuk
berbohong."
"Aku tidak memanggilmu dengan sebutan
gelar kebesaran dan kun-yah lantaran Allah memanggil para kekasih-Nya di dalam
Alquran hanya dengan sebutan nama semata, seperti ya Daud, ya Yahya, ya 'Isa;
dan memanggil musuh-musuh-Nya dengan sebutan kun-yah seperti Abu
Lahab...."
"Aku duduk persis di sampingmu
lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu pernah berkata bila
kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah orang yang duduk
sementara orang di sekitarnya tegak berdiri."
Mendengar jawaban Thawus yang panjang lebar
itu, dan juga kebenaran yang terkandung di dalamnya, khalifah pun tafakkur
karenanya. Lalu ia berkata, "Benar sekali apa yang Anda katakan itu. Nah,
sekarang berilah aku nasehat sehubungan dengan kedudukan ini!"
"Kudengar Amiirul Mukminin Ali
Radhiyallahu 'anhu berkata dalam sebuah nasehatnya," jawab Thawus,
"Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular-ular berbisa dan kalajengking
raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap
rakyatnya."
Mendengar jawaban dan nasehat Thawus
seperti itu, khalifah hanya terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia
menyadari bahwa menjadi seorang pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana
serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Setelah berbincang-bincang beberapa lamanya perihal masalah-masalah yang
penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri.
Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan
nasehat-nasehatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia
Seketika itu juga Abu Nawas menyadari apa
yang terjadi. Ia lalu menjelaskan kejadian yang sebenarnya dari awal hingga
akhir. Orang-orang pun percaya pada penuturan Abu Nawas. Sebab, selama ini Abu
Nawas dikenal sebagai orang yang jujur dan berbudi pekerti baik.
Setelah orang kampung meninggalkan
rumahnya, Abu Nawas pun bermaksud untuk mengembalikan terompah ajaib itu kepada
pedagangnya di pasar. Setelah berpamitan pada istrinya, ia segera pergi ke
pasar untuk menemui si pedagang terompah tersebut. Tak lama kemudian, sampailah
ia di pasar dan menemukan pedagang tersebut.
"Assalamu'alaikum!, ucap Abu Nawas
memberi salam.
"Wa'alaikumussalam," jawab si
pedagang, "Ternyata Engkau Tuan, bagaimana kabar Anda?"
"Kabar jelek. Aku selalu ditimpa
kemalangan," jawab Abu Nawas.
"Ditimpa kemalangan bagaimana?"
tanya pedagang itu penasaran.
"Gara-gara terompah ini, aku
terus-menerus ditimpa kemalangan. Padahal, dulu Engkau mengatakan bahwa
terompah ini bisa mendatangkan keberuntungan. Aku bisa menjadi orang terkenal
dan kaya, tetapi mana buktinya? Malah aku sering kena marah orang kampung
karena terompah ini."
Kemudian ia
menceritakan beberapa kejadian yang menimpanya.
"Seingat saya,
saya tidak pernah mengatakan seperti itu tuan?" sergah si pedagang tua
itu. "Saya mengatakan bahwa bila Tuan mulanya orang yang tidak punya, maka
dengan membelinya, Tuan akan menjadi orang yang punya. Buktinya sekarang Tuan
telah mempunyai terompah ini dan dikenal oleh orang banyak karena
memilikinya."
Mendengar penuturan
pedagang itu, Abu Nawas hanya bisa diam saja. Ia menyadari bahwa dirinya telah
salah tafsir. "Tapi…tapi…mengapa terompah ini Engkau katakan terompah
ajaib?" tanya Abu Nawas kemudian.
"Oh,
itu?" pedagang tersebut menjawab, "Sebab merek terompah itu adalah
Ajaib, sebagaimana dinamakan oleh pembuatnya. Jadi, pantaslah bila saya
menyebutnya terompah ajaib, sebagaimana kita menyebut ikan ikan mas. Sebab ikan
itu berwarna keemasan."
Sekali lagi Abu
Nawas tidak bisa berkata apa-apa mendengar penuturan pedagang itu. Lantas ia
mohon diri begitu saja. "Tapi, tunggu tuan!" cegah pedagang itu
ketika melihat Abu Nawas bergegas akan pergi.
"Saya ingin
mengatakan sesuatu kepada tuan."Tuan ada sedikit pun rasa percaya bahwa
sesuatu selain Allah itu bisa mendatangkan kekayaan atau keberuntungan atau
yang lainnya. Sebab, percaya pada sesuatu selain Allah itu bisa membuat kita
syirik dan mendapatkan kesusahan baik di dunia maupun di akhirat kelak,
buktinya sebagaiman tuan alami. Oleh karena itu, segeralah bertaubat kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala sebelum semuanya terlambat. Sebab, bagaimana pun juga
syirik seperti ini jarang sekali bisa kita sadari, kecuali hanya hamba-hamba
Allah yang selalu berserah diri kepada-Nya."
Mendengar penuturan
seperti itu, Abu Nawas baru menyadari kesalahannya. Ternyata banyak sekali
hal-hal yang bisa membawa kepada perbuatan yang dimurkai Allah. Mulai saat
itulah ia sangat berhati-hati kepada hal-hal yang (kadang-kadang tanpa
disadari) akan menjerumuskan kita pada perbuatan syirik terhadap Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Al-Islam - Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Pada zaman pemerintahan Umar bin Khaththab
hiduplah seorang janda miskin bersama seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua
di pinggiran kota
Mekah. Keduanya sangat rajin beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi, selesai salat subuh, keduanya memerah
susu kambing di kandang. Penduduk kota
Mekah banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.
Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani
pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari dekat keadaan hidup dan
kesejahteraan rakyatnya. Setelah beberapa saat berkeliling, sampailah khalifah
di pinggiran kota
Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil dengan cahaya yang masih
tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum tidur. Khalifah
turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu. Samar-samar telinganya mendengar
percakapan seorang wanita dengan anaknya.
"Anakku, malam ini kambing kita hanya
mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan
pelanggan kita besok pagi," keluh wanita itu kepada anaknya.
Dengan tersenyum, anak gadisnya yang
beranjak dewasa itu menghibur, "Ibu, tidak usah disesali. Inilah rezeki
yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga besok kambing kita
mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi."
"Tapi, aku khawatir para pelanggan
kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi. Bagaimana kalau susu itu kita
campur air supaya kelihatan banyak?"
"Jangan, Bu!" gadis itu melarang.
"Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat curang. Lebih baik kita katakan
dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu hari ini hanya sedikit. Mereka
tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh
Khalifah Umar. Percayalah, ketidakjujuran itu akan menyiksa hati."
Dari luar gubuk itu, Khalifah Umar semakin
penasaran ingin terus mendengar kelanjutan percakapan antara janda dan anak
gadisnya itu.
"Bagaimana mungkin khalifah Umar
tahu!" kata janda itu kepada anaknya. "Saat ini beliau sedang
tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami kesulitan seperti
kita ini?"
Melihat ibunya masih tetap bersikeras
dengan alasannya, gadis remaja itu tersenyum dengan lembut dan berkata,
"Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang kita lakukan sekarang. Tapi
Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan
sampai kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah."
Dari luar gubuk, khalifah tersenyum
mendengar ucapan gadis itu. Beliau benar-benar kagum dengan kejujurannya.
Ternyata kemiskinan dan himpitan keadaan tidak membuatnya terpengaruh untuk
berbuat curang. Setelah itu khalifah mengajak pengawalnya pulang.
Keesokan harinya, Umar memerintahkan
beberapa orang untuk menjemput wanita pemerah susu dan anak gadisnya untuk
menghadap kepadanya. Beliau ternyata bermaksud menikahkan putranya dengan gadis
jujur itu.
Sungguh sebuah teladan bagi kita semua,
bahwa kejujuran karena takut kepada Allah adalah suatu harta yang tak ternilai
harganya. Mungkin ini yang sulit kita dapatkan sekarang.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia
Seorang lelaki yang dicurigai menyimpan
harta titipan milik dinasti Bani Umayyah dilaporkan kepada Khalifah al-Manshur.
Ia segera ditangkap dan dihadapkan kepada sang Khalifah.
"Kami dengar laporan, kamu menyimpan
harta titipan milik Bani Umayyah. Sekarang serahkan kepada kami," kata
Khalifah.
"Amirul Mukminin, apakah Tuan pewaris
Bani Umayyah?" tanyanya.
"Tidak,''jawab sang Khalifah.
"Atau, mereka sudah memberi wasiat kepada
Anda?"
"Juga tidak."
"Lalu mengapa Tuan meminta aku
menyerahkan harta yang ada di tanganku?"
Sejenak Khalifah al-Manshur menunduk tanda
ia sedang berpikir. Kemudian sambil mengangkat kepala ia beujar:
"Sesungguhnya para pemimpin dinasti
Bani Umayyah suka berlaku zaiim kepada kaum muslimin waktu itu. Selaku
khalifah, kami berhak mengurus hak mereka. Jadi, kami bermaksud mengambil hak
mereka, lalu kami simpan ke dalam kas negara."
"Tuan perlu mengajukan bukti yang adil
bahwa harta milik Bani Umayyah yang ada padaku adalah milik kaum muslimin yang
dirampas secara tidak sah. Sebab, boleh jadi ini adalah mumi milik mereka
sendiri."
"Kamu benar. Kamu memang berhak atas harta itu," kata sang Khalifah.
"Terima kasih
atas pengertian Tuan, Amirul Mukminin."
"Sekarang apa
keperluanmu?"
"Aku ingin Tuan
berkenan mempertemukan aku dengan orang yang melaporkan masalah ini kepadamu.
Aku merasa penasaran ingin mengetahuinya."
Permintaan tersebut
dikabulkan oleh Khalifah al-Manshur. Begitu dipertemukan, akhirnya jelas bahwa
orang yang melaporkan itu adalah budak lelakinya sendiri yang telah cukup lama
menghilang, tetapi ia masih ingat dan mengenalinya.
"Dia ini budakku,
Amirul Mukminin," katanya, "Setelah mencuri uangku tiga ribu dinar,
ia minggat. Dan, mungkin karena takut aku mencarinya, ia kemudian melaporkan
aku kepada tuan yang bukan-bukan."
Setelah dimintai
penjelasan dan ditakut-takuti oleh Khalifah al-Manshur, akhirnya budak itu
mengakui semua perbuatannya yang tercela tersebut.
"Kami minta kamu
memaafkannya," kata Khalifah.
"Sudah aku
maafkan. Bahkan, aku memerdekakan dia. Selain mengikhlaskan uang tiga ribu
dinar yang telah ia curi, aku juga ingin memberinya tiga ribu dinar lagi,"
katanya sambil menyerahkan sebuah bungkusan. Kemudian ia pun beranjak pergi.
Khalifah al-Manshur
merasa kagum atas sikap warganya itu seraya berkata,
"Sungguh luar
biasa dia!"
Sumber: al-Mustajad
min Fa'alat al-Ajwad, at-Tanukhi
Al-Islam - Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Sumiyah, ibunda Ziyad,
adalah seorang wanita pelacur. Abu Sufyan bin Harb mengaku bahwa dirinya
satu-satunya lelaki yang menghamili wanita itu. Jadi dia ayah Ziyad.
Suatu hari Khalifah
Mu'awiyah naik ke atas mimbar, dan menyuruh Ziyad untuk berdiri di sampingnya.
"Saudara-saudara
sekalian, sungguh aku sudah mengenal siapa Ziyad ini. Tetapi, siapa di antara
kalian yang memiliki bukti, silakan ajukan!" kata Mu'awiyah kepada para
hadirin.
Semua yang hadir
berdiri seraya memberikan kesaksian bahwa Ziyad adalah putera Abu Sufyan. Oleh
Mu'awiyah ia lalu diangkat sebagai penguasa Kufah merangkap Bashrah.
Pada hari penobatan
Ziyad sebagai penguasa kedua wilayah tersebut diadakan upacara arak-arakan yang
cukup meriah. Seorang lelaki buta dari suku Bani Makhzum yang biasa dipanggil
Abul Urban ikut menonton di pinggir jalan.
"Siapa yang
diangkat sebagai penguasa kali ini?" tanya Abul Urban kepada seseorang di
sebelahnya.
"Ziyad bin Abu
Sufyan," jawabnya.
"Apa? Setahuku
Abu Sufyan tidak punya putera bernama Ziyad," kata Abul Urban.
"Jadi, Ziyad
siapa?" tanya orang itu.
"Sungguh banyak
hal yang telah dirusak Allah, banyak rumah yang telah dirobohkan-Nya, dan
banyak budak yang telah dikembalikan-Nya kepada tuan-tuannya," jawab Abul
Urban.
Seorang mata-mata
kerajaan kebetulan mendengar ucapan Abul Urban tersebut. Ia lalu melaporkannya
kepada Mu'awiyah. Khalifah ini segera mengirim seorang kurir membawa sepucuk
surat berisi:
"Celaka kamu oleh
ibumu. Setibanya suratku ini potonglah lidah laki-laki buta dan suku Bani
Makhzum itu jika ia berani mengatakan lagi kalau kamu bukan putera Abu
Sufyan."
Ketika si kurir hendak
mohon diri, Ziyad menitipkan uang sebanyak seribu dinar untuk Khalifah
Mu'awiyah, seraya berpesan:
"Sampaikan
salamku kepadanya. Katakan kepadanya, aku baru bisa mengirim uang sejumlah ini.
Gunakan lebih dahulu! Kali lain aku akan mengiriminya lagi."
Dengan ditemani
seorang pengawal, esoknya Ziyad menemui laki-laki tunanetra dari Bani Makhzum itu.
Setelah mengucapkan
salam, pengawal bertanya:
"Siapa orang
yang bersamaku ini?"
"Dia pasti
Ziyad bin Abu Sufyan," jawabnya dengan tegas.
Sepeninggal kedua
tamunya, laki-laki tunanetra dari suku Bani Makhzum itu menangis seraya
berkata,
"Demi Allah,
aku mengenal persis siapa Abu Sufyan."
Sumber: Muhadharat
al-Asibba, al-Raghib al-Ashfahani
Al-Islam - Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Di Kufah, Abu Hanifah
mempunyai tetangga tukang sepatu. Sepanjang hari bekerja, menjelang malam ia
baru pulang ke rumah. Biasanya ia membawa oleh-oleh berupa daging untuk dimasak
atau seekor ikan besar untuk dibakar. Selesai makan, ia terus minum tiada
henti-hentinya sambil bemyanyi, dan baru berhenti jauh malam setelah ia merasa
mengantuk sekali, kemudian tidur pulas.
Abu Hanifah yang sudah
terbiasa melaksanakan salat sepanjang malam, tentu saja merasa terganggu oleh
suara nyanyian si tukang sepatu tersebut. Tetapi, ia diamkan saja. Pada suatu
malam, Abu Hanifah tidak mendengar tetangganya itu bernyanyi-nyanyi seperti
biasanya. Sesaat ia keluar untuk mencari kabarnya. Ternyata menurut keterangan
tetangga lain, ia baru saja ditangkap polisi dan ditahan.
Selesai salat subuh,
ketika hari masih pagi, Abu Hanifah naik bighalnya ke istana. Ia ingin menemui
Amir Kufah. Ia disambut dengan penuh khidmat dan hormat. Sang Amir sendiri yang
berkenan menemuinya.
"Ada yang bisa
aku bantu?" tanya sang Amir.
"Tetanggaku
tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia dari tahanan, Amir,
" jawab Abu Hanifah.
"Baikiah,"
kata sang Amir yang segera menyuruh seorang polisi penjara untuk melepaskan
tetangga Abu Hanifah yang baru ditangkap kemarin petang.
Abu Hanifah pulang
dengan naik bighalnya pelan-pelan. Sementara, si tukang sepatu berjalan kaki di
belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu Hanifah turun dan menoleh kepada
tetangganya itu seraya berkata,
"Bagaimana? Aku
tidak mengecewakanmu kan?"
"Tidak, bahkan
sebaliknya." Ia menambahkan, "Terima kasih. Semoga Allah memberimu
balasan kebajikan."
Sejak itu ia tidak
lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah dapat merasa lebih khusyu'
dalam ibadahnya setiap malam.
Sumber: Al-Thabaqat
al-Saniyyat fi Tajarun al-Hanafiyat, Taqiyyuddin bin Abdul Qadir al-Tammii
Al-Islam - Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Ketika hendak melepas
pasukan yang akan terjun ke dalam medan pertempuran, seorang jenderal yang
dipercaya sebagai komandan menghadap Khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Setelah
menanyakan tentang keadaan serta persiapan pasukan, Khalifah Mu'awiyah mengajak
si jenderal berbincang-bincang sejenak. Namun tiba-tiba si jenderal
mengeluarkan suara kentut. Seketika itu ia terdiam malu.
"Ayo, mulailah
bicara. Demi Allah, aku lebih sering mendengar suara itu dari orang lain
daripada diriku sendiri," kata Khalifah Mu'awiyah.
Sumber: Ansab
al-Asyraf, al-Baladziri
Al-Islam - Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Sari al-Suqthi,
seorang ulama ahli ilmu tauhid yang sangat wara' berkata, "Sudah tiga
puluh tahun lamanya aku selalu membaca istighfar, dan baru sekali ini aku
membaca alhamdulillah."
"Bagaimana
ceritanya?" tanya seorang sahabatnya.
"Pada waktu
terjadi peristiwa kebakaran di pasar Baghdad, seseorang dengan tergopoh-gopoh
datang menemuiku seraya memberitahukan bahwa kedaiku selamat. Spontan aku
berucap 'Alhamdulillah!' Tetapi, lantas aku menyesal, karena mensyukuri
keberuntunganku sendiri di atas penderitaan orang banyak."jawabnya.
Sumber: Al-Wafi bi
al-Wafyat, al- Shafadi
Al-Islam - Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Suatu hari al-Hajjaj
berbekam. Ketika baru saja memulai pekerjaannya, si tukang bekam berkata,
"Senang sekali seandainya Tuan mau menceritakan kepadaku tentang ceritamu
dengan Ibnu al-Asy'ats. Maksudku mengapa ia sampai berani menentangmu?"
"Selesaikan
dahulu pekerjaanmu ini. Nanti pasti akan aku ceritakan padamu," jawab
al-Hajjaj.
Berkali-kali tukang
bekam itu mengulangi permintaannya. Dan, berkali-kali pula al-Hajjaj meyakinkan
bahwa ia akan memenuhinya setelah selesai berbekam. Begitu selesai berbekam dan
membereskan segala sesuatunya, termasuk membersihkan darah, al-Hajjaj
memerintahkan supaya memanggil si tukang bekam.
"Aku tadi sudah
berjanji kepadamu akan mengungkapkan ceritaku dengan Ibnu al-Asy'ats. Bahkan,
aku telah bersumpah segala." "Baiklah, sekarang akan aku
penuhi," kata al-Hajjaj.
"Terima kasih,
Tuan masih ingat," kata si tukang bekam.
Tiba-tiba al-Hajjaj
berteriak memanggil pelayan agar mengambil cambuk. Tidak lama kemudian si
pelayan muncul dengan membawa cambuk. Si tukang bekam disuruh telanjang.
Setelah panjang lebar mengungkapkan cerita dirinya dengan Ibnu al-Asy'ats,
al-Hajjaj lalu
menghajar si tukang
bekam dengan cambuk sebanyak lima ratus kali, sehingga tubuhnya babak belur dan
hampir mati.
"Aku telah penuhi
janjiku kepadamu. Lain kali jika kamu memintaku menceritakan pengalamanku
dengan selain Ibnu al-Asy'ats tentu akan aku penuhi lagi, asal dengan syarat
seperti ini," kata al-Hajjaj.
Sumber: al-Wuzara,
Hilal bin Muhsin al-Shabi'i
Al-Islam - Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Alkisah, hiduplah pada
zaman dahulu seorang yang terkenal dengan kesalehannya, bernama al-Balkhi. Ia
mempunyai sahabat karib yang bernama Ibrahim bin Adham yang terkenal sangat
zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim bin Adham dengan panggilan Abu Ishak.
Pada suatu hari,
al-Balkhi berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat, tidak
ketinggalan ia berpamitan kepada sahabatnya itu. Namun belum lama al-Balkhi
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia datang lagi. Sahabatnya menjadi heran,
mengapa ia pulang begitu cepat dari yang direncanakannya. Padahal negeri yang
ditujunya sangat jauh lokasinya. Ibrahim bin Adham yang saat itu berada di
masjid langsung bertanya kepada al-Balkhi, sahabatnya. "Wahai al-Balkhi
sahabatku, mengapa engkau pulang begitu cepat?"
"Dalam
perjalanan", jawab al-Balkhi, "aku melihat suatu keanehan, sehingga
aku memutuskan untuk segera membatalkan perjalanan".
"Keanehan apa
yang kamu maksud?" tanya Ibrahim bin Adham penasaran.
"Ketika aku
sedang beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak", jawab al-Balkhi
menceritakan, "aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan buta. Aku
pun kemudian bertanya-tanya dalam hati. "Bagaimana burung ini bisa
bertahan hidup, padahal ia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya,
matanya tidak bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa".
"Tidak lama
kemudian", lanjut al-Balkhi, "ada seekor burung lain yang dengan
susah payah menghampirinya sambil membawa makanan untuknya. Seharian penuh aku
terus memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata ia tak pernah kekurangan
makanan, karena ia berulangkali diberi makanan oleh temannya yang sehat".
"Lantas apa
hubungannya dengan kepulanganmu?" tanya Ibrahim bin Adham yang belum
mengerti maksud kepulangan sahabat karibnya itu dengan segera.
"Maka aku pun
berkesimpulan", jawab al-Balkhi seraya bergumam, "bahwa Sang Pemberi
Rizki telah memberi rizki yang cukup kepada seekor burung yang pincang lagi
buta dan jauh dari teman-temannya. Kalau begitu, Allah Maha Pemberi, tentu akan
pula mencukupkan rizkiku sekali pun aku tidak bekerja". Oleh karena itu,
aku pun akhirnya memutuskan untuk segera pulang saat itu juga".
Mendengar penuturan
sahabatnya itu, Ibrahim bin Adham berkata, "wahai al-Balkhi sahabatku,
mengapa engkau memiliki pemikiran serendah itu? Mengapa engkau rela
mensejajarkan derajatmu dengan seekor burung pincang lagi buta itu? Mengapa
kamu mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup dari belas kasihan dan bantuan
orang lain? Mengapa kamu tidak berpikiran sehat untuk mencoba perilaku burung
yang satunya lagi? Ia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan
kebutuhan hidup sahabatnya yang memang tidak mampu bekerja? Apakah kamu tidak tahu,
bahwa tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah?"
Al-Balkhi pun langsung
menyadari kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa dirinya salah dalam mengambil
pelajaran dari kedua burung tersebut. Saat itu pulalah ia langsung bangkit dan
mohon diri kepada Ibrahim bin Adham seraya berkata, "wahai Abu Ishak,
ternyata engkaulah guru kami yang baik". Lalu berangkatlah ia melanjutkan
perjalanan dagangnya yang sempat tertunda.
Dari kisah ini,
mengingatkan kita semua pada hadits yang diriwayatkan dari Miqdam bin
Ma'dikarib radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda, yang artinya: "Tidak ada sama sekali cara yang
lebih baik bagi seseorang untuk makan selain dari memakan hasil karya tangannya
sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud 'alaihis salam makan dari hasil jerih
payahnya sendiri" (HR. Bukhari).
Suatu hari Utbah bin
an-Nahhas al-Ajali berpidato sebagai berikut.
"Bagus sekali apa
yang difirmankan Allah dalam Kitab-Nya, "Tidaklah kekal orang yang hidup
di atas angan-angan...."
Serta merta Hisyam bin
al-Kalbi menyanggahnya seraya berkata:
"Allah Yang Maha
Mulia lagi Maha Agung tidak pernah berfirman seperti itu. Itu ucapan penyair
Ady bin Zaid."
"Subhanallah! Aku
kira itu firman Allah. Bagus sekali ucapan Ady itu," kata Utbah sambil
turun dari mimbar.
Pada hari yang lain,
seorang wanita dari golongan kaum Khawarij dihadapkan pada Utbah.
"Hai perempuan
musuh Allah! Mengapa kamu menentang Amirul Mukminin? Tidakkah kamu pemah
mendengar firman Allah yang berbunyi, 'Diwajibkan perang.' Dan perang bagi kita
serta bagi penyanyi-penyanyi perempuan adalah semudah menarik ekor?"
katanya sok tahu.
"Yang membuatku
menentang Amirul Mukminin adalah sikap sok tahumu terhadap kitab Allah,"
jawab wanita Khawarij tersebut.
Sumber: al-Fihrasat,
Ibnu Nadim
Al-Islam - Pusat
informasi dan Komunikasi islam Indonesia
Seorang lelaki
mendatangi dokter mengeluhkan isterinya yang sudah lama belum juga bisa
memberinya keturunan.
Setelah memeriksa
denyut jantung si isteri, dokter berkata:
"Kamu tidak
memerlukan obat penyubur. Sebab, berdasarkan pemeriksaan denyut jantung, empat
puluh hari lagi engkau bakal meninggal."
Si isteri merasa
ketakutan sekali mendengar keterangan dokter itu. Ia putus asa menjalani sisa
kehidupan yang tinggal sebentar lagi. Akibatnya, ia tidak berselera makan dan
minum.
Tetapi, sampai batas
waktu empat puluh hari yang dikatakan dokter, ternyata ia masih hidup. Merasa
penasaran, suaminya lalu menemui dokter untuk menanyakannya.
"Dokter, isteriku
belum meninggal," katanya.
"Aku tahu
itu,"jawab dokter. "Bahkan, insya Allah sebentar lagi ia akan
mengandung."
Sang suami yang
sebenarnya sudah pasrah atas suratan takdir Allah itu menjadi tidak habis pikir
dengan keterangan dokter.
"Apa maksud
dokter? Bagaimana itu bisa terjadi?" tanyanya penasaran.
"Begini,"
kata dokter, "Dulu aku lihat istrimu kegemukan, banyak lemak yang
mengganggu pada bibir rahimnya. Aku sengaja menakutinya dengan kematian supaya
ia bisa kurus. Dan temyata berhasil, sehingga sesuatu yang menyebabkan ia tidak
bisa melahirkan menjadi hilang."
Sumber: al lhya' Ulum
al Din, Imam al Ghazali
Al-Islam - Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam indonesia
Shuhaib al-Madani akan
dijatuhi hukuman cambuk karena tertangkap basah meminum mmuman keras. Tubuh
Shuhaib tinggi besar, sementara tubuh si algojo kurus pendek.
"Ayo
membungkuk, supaya aku bisa mencambukmu," pinta algojo.
"Hai tolol!
Emangye Lu mau ngajak aku makan manisan?" jawab Shuhaib.
Sumber: al-Basha'ir
wa al-Dzakha'ir, Abu Hayyan al-Tauhidi
Al-Islam - Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Rasyid bin Zubair
adalah seorang yang mempunyai kharisma yang tinggi. Ia dari keturunan ningrat
dan menguasai berbagai ilmu. Namun, sayangnya ia berwajah jelek, kulitnya
hitam, bibir tebal, hidung pesek, dan bertubuh pendek.
Suatu ketika ia
menceritakan pengalamannya di kota Kairo sebagai berikut:
"Suatu hari aku
berjalan-jalan di kota Kairo. Aku bertemu seorang wanita berwajah cantik.
Begitu melihatku, aku merasa ia terpesona padaku. Demikian pula dengan aku,
sehingga aku lupa diri. Matanya memandang ke arahku, dan itu membuat sekujur
tubuhku semakin gemetar terasa panas dingin."
"Aku ikuti ia
yang masuk keluar gang. Akhirnya, ia berhenti di depan sebuah rumah. Sebelum
masuk, ia sempat memberiku isyarat mata sambil menyingkapkan kain cadarnya. Aku
semakin terlena melihat kecantikan wajahnya yang bagaikan bulan pumama."
Selanjutnya ia
bertepuk tangan seraya memanggil nama, 'Ayo Halimah, kemarilah!' Seorang anak
kecil perempuan berjalan menuju kearahnya. 'Kalau kamu ngompol lagi, biar
dikremes tuan Qadii nanti!' ancamnya pada anak kecil itu.
Selanjutnya ia menoleh
padaku dan berkata, "Oh, kamu. Mudah-mudahan Allah membalas kebaikanmu
karena telah mengantarku."
Dengan rasa malu aku
membalikkan badan, dan segera melangkah entah menuju ke mana.
Sumber: Mu' jam al
Adibba', Yaqut
Al-Islam - Pusat
Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Abdullah bin Syekh
Hasan al Jibrati menikah dengan Fatimah binti Ramadhan Jalabi. Fatimah ini
figur isteri yang baik dan berbakti. Di antara kebaikannya, ia biasa membelikan
suaminya pakaian yang bagus-bagus dengan uangnya sendiri, demikian pula untuk
membelikan pakaian serta perhiasannya sendiri.
Ia tidak pernah
meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja keluarga. Begitu
baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa cemburu melihat suaminya
suka membeli budak perempuan. Kesetiaannya tidak menjadi luntur; sama sekali tidak
terpengaruh. Atas semua itu ia berharap beroleh balasan pahala yang berlipat
ganda dari Allah.
Pada tahun 1156
Hijriyah, Abdullah pergi haji. Di Mekah ia berkenalan dengan orang bemama Umar
al Halbi. Ia dipesan untuk membeli seorang budak perempuan berkulit putih,
masih perawan, dan bertubuh langsing. Pulang dari ibadah haji, ia mencari budak
perempuan dengan ciri-ciri tersebut, dan cukup lama ia baru mendapatkannya.
Abdullah
memperkenalkan budak perempuan yang baru dibelinya itu kepada isterinya. Tetapi
sang istri sama sekali tidak tersinggung. Ia bahkan menganggapnya sebagai
puterinya sendiri. Lama-kelamaan keduanya saling mencintai, dan tidak mau
berpisah selamanya.
"Jadi bagaimana
ini?" tanya Abdullah kepada isterinya.
"Begini
saja,"jawab sang isteri, "Aku ganti uangnya, lalu kamu belikan budak
yang lain."
"Baiklah,"
kata Abdullah setuju.
Oleh Fatimah, budak
perempuan yang baru dibelinya itu dimerdekakan, dan dinikahkan dengan suaminya.
Bahkan, ia menyediakan kamar tersendiri untuk madunya tersebut.
Pada tahun 1165
Abdullah memboyong isteri keduanya ini ke rumah sendiri. Tetapi, istri pertama
tetap merasa berat untuk berpisah barang sesaat pun, meski ia telah memiliki
beberapa orang anak.
Pada tahun 1182 isteri
kedua jatuh sakit, lalu disusul oleh isteri pertama. Kian lama sakit keduanya
kian parah. Tengah hari, isteri kedua memaksakan diri bangun dari pembaringan.
Ia menangis melihat isteri pertama dalam keadaan pingsan. Ia berdoa,
"Tuhan, jika Engkau takdirkan ia meninggal, jangan ia mendahuluiku."
Benar... Malamnya,
isteri kedua itu meninggal dunia. Ia disemayamkan di
samping isteri pertama. Saat menjelang subuh, ia siuman. Sambil meraba-raba ia
membangunkan madunya. Namun, ia menjadi lunglai ketika diberitahu bahwa madunya
sudah meninggal. Ia menangis melolong-lolong hingga tengah hari. Setelah ikut
menyaksikan madunya dimandikan, ia pun kembali ke pembaringannya. Petang hari
ia meninggal dunia, dan jenazahnya dimakamkan pada hari berikutnya.
Sumber: 'Aja'ib al
Atsar, al Jibrati
Al-Islam - Pusat Informasi
dan Komunikasi Islam Indonesia
Musa as: "Oh
Tuhan, ajarilah kami sesuatu yang dapat kami gunakan untuk berzikir dan berdoa
kepada Engkau."
Tuhan: "Ucapkan
Laa Ilaaha Illallaah hai Musa!"
Musa as: "Oh
Tuhan, semua hamba-Mu telah mengucapkan kalimat itu."
Tuhan: "Hai Musa,
andaikan langit yang tujuh beserta seluruh penghuninya selain Aku, dan bumi
yang tujuh ditimbang dengan Laa Ilaaha Illallaah, niscaya masih berat Laa
Ilaaha Illallaah."
Sumber : 1001
Kisah-Kisah Nyata, Ahmad Sunarto
Seorang laki-laki
mengaku sebagai penyair, tetapi masyarakat menanggapinya dengan dingin.
"Kalian bersikap dingin kepadaku karena iri," katanya.
"Di tengah-tengah
kita ada Basyar Al-Uqaili, penyair hebat. Sebaiknya biar dia yang
mengujimu," kata mereka.
Selesai mendengar
puisi-puisi karya orang itu, Basyar bilang:
"Kamu termasuk
anggota keluarga Nabi."
"Maksudmu?"
tanya laki-laki itu.
"Sebab, Allah
berfirman, "Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya, dan bersyair itu
tidak layak baginya," jawab Basyar.
Sumber: Al-Aqdal-Faridoleh,
lbnu Abdi Rabih
Dalam suatu pertemuan
penting, Muhammad bin Mubasyir, menteri urusan perang, diprotes oleh Mundzir
bin Abduirahman, seorang ulama ahli ilmu nahwu, karena sang menteri pernah
menyerukan kaum wanita ikut perang.
"Bagaimana engkau
menyuruh kaum wanita ikut berperang bersama-sama laki-laki?"
Dengan pura-pura tidak
paham, sang menteri memutarkan protes tersebut dan menjawab lain:
"Seumur hidup,
baru kali ini aku mendengar saran yang begitu kejam. Allah saja menyuruh wanita
supaya tetap tinggal di rumah, tetapi kenapa kamu malah menganjurkan supaya
ikut berperang?"
Sumber: Thabaqat
Al-Nahwiyyin wa Al-Lughawiyyin, Az-Zubaidi Al-Andalusi
Mekah menggelegak
terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka di
Perang Badr dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan mereka saat
itu. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas. Bahkan
karenanya Quraisy melarang semua penduduk Mekah meratapi para korban di Badr dan
tidak perlu terburu-buru menebus para tawanan, agar orang-orang Muslim tidak
merasa diatas angin karena tahu kegundahan dan kesedihan hati mereka.
Hingga tibalah saatnya
Perang Uhud. Di antara pahlawan perang yang bertempur tanpa mengenal rasa takut
pada waktu itu adalah Hanzhalah bin Abu Amir. Ayahnya adalah seorang tabib yang
disebut si Fasik.
Hanzhalah baru saja
melangsungkan pernikahan. Saat mendengar gemuruh pertempuran, yang saat itu dia
masih berada dalam pelukan istrinya, maka dia segera melepaskan pelukan
istrinya dan langsung beranjak untuk berjihad. Saat sudah terjun kekancah
pertempuran berhadapan dengan pasukan musyrikin, dia menyibak barisan hingga
dapat berhadapan langsung dengan komandan pasukan musuh, Abu Sufyan bin Harb.
Pada saat itu dia sudah dapat menundukan Abu Sufyan, namun hal itu diketahui
oleh Syaddad bin Al-Aswad yang kemudian menikamnya hingga meninggal dunia
sebagai syahid.
Tatkala perang usai
dimana kaum muslimin menghimpun jasad para syuhada dan akan menguburkannya,
mereka kehilangan usungan mayat Hanzhalah. Setelah mencari kesana kemari,
mereka mendapatkannya di sebuah gundukan tanah yang masih menyisakan guyuran
air disana.
Rasulullah shallallahu
'alaihi wassalam mengabarkan kepada para shahabatnya bahwa malaikat sedang
memandikan jasadnya. Lalu beliau bersabda, "Tanyakan kepada keluarganya,
ada apa dengan dirinya?"
Lalu mereka bertanya
kepada istrinya, dan dikabarkan tentang keadaannya sedang junub saat berangkat
perang. Dari kejadian ini Hanzhalah mendapatkan julukan Ghasilul Malaikat
(Orang yang dimandikan malaikat). Wallahu ta'ala 'alam
Sumber: Sirah
Nabawiyah, Syeikh Shafiyyur Rahman Al Mubarakfury
Oleh: Abu Rumaysa Iwan
Sutedi
Diceritakan, Ummul
Banin Abdul Aziz bin Marwan, isteri Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, pernah
jatuh cinta kepada seorang penyair Yaman, bernama Wadlah yang berwajah cukup
tampan.
Atas undangan rahasia
Ummul Banin, penyair Yaman itu datang menemuinya di rumah; saat itu Khalifah
Al-Walid sedang bepergian. Merasa takut ketahuan, ia menyembunyikan Wadlah di
dalam sebuah peti lalu menutupnya rapat-rapat. Namun, mendadak seorang pelayan
masuk dan sempat melihat ada seorang laki-laki dalam sebuah peti; Ia pura-pura
tidak tahu.
Kebetulan Khalifah Al
Walid tiba; pelayan itu langsung melaporkan apa yang baru saja dilihatnya;
semula sang Khalifah tidak percaya.
"Tuan Amirul
Mukminin, buktikan sendiri," kata pelayan.
Khalifah Al-Walid masuk
ke kamar dan mendapati isterinya sedang menyisir rambut sambil duduk di atas
sebuah peti.
"Isteriku, aku
ingin memeriksa peti-peti di kamar ini," kata khalifah.
"Silakan,
peti-peti ini memang milikmu, Amirul Mukminin," jawab isterinya.
Khalifah menimpali,
"Tetapi aku hanya ingin satu peti saja."
"Silakan, mana
yang engkau inginkan - ambillah."
"Peti yang kamu
duduki itu, " sahut khalifah.
Ummul Banin
terperangah mendengarnya; sekujur tubuhnya terasa gemetar; perasaannya kalut.
Namun, ia mencoba untuk menutupi semua itu.
"Yang lainnya
malah lebih baik. Lagi pula, di peti yang satu ini ada barang-barang
keperluanku, " tutur isterinya.
Khalifah menjawab,
"Aku menginginkan yang satu ini saja."
Dengan rasa putus asa,
isterinya menjawab, "Ambillah, kalau begitu."
Khalifah Al-Walid
segera memerintahkan seorang pelayan untuk mengangkat peti tersebut ke halaman
belakang istana, dan meletakkannya di bibir sumur tua. Ummul Banin, isteri
khalifah, menatap sedih sambil menangis dari kejauhan; ia tidak berani
mendekat. Ia tidak tahu nasib apa yang akan menimpa laki-laki simpanannya itu;
hatinya gundah gulana.
Pelan-pelan, Khalifah
Al-Walid menghampiri peti tersebut (sebenarnya ia sangat marah, namun ia
berusaha menahannya).
"Hai orang yang
ada dibdalam peti, kalau berita yang kami dengar adanya, berarti kami
menguburmu, berikut kenangan manismu untuk selamanya. Tetapi, jika kabar itu
bohong, berarti kami hanya mengubur kayu," kata Khalifah sambil
melemparkan peti ke dasar sumur.
Setelah menyuruh
menimbunnya dengan pasir sampai rata dengan tanah, Khalifah masuk ke istana.
Sejak itu, penyair Yaman bernama Wadlah tidak pernah tampak. Ummul Banin tidak
melihat ada kemarahan pada wajah suaminya, hingga kematian memisahkan mereka
berdua.
Sumber: Wafyat
Al-A'yan, Ibnu Khalkan
Seorang pemuda tiba di Baghdad dalam perjalanannya menunaikan ibadah
haji ke tanah suci. Ia membawa seuntai kalung senilai seribu dinar. Ia sudah
berusaha keras untuk menjualnya, namun tidak seorang pun yang mau membelinya.
Akhirnya ia menemui seorang penjual minyak wangi yang terkenal baik, kemudian
menitipkan kalungnya. Selanjutnya ia meneruskan perjalanannya.
Selesai menunaikan ibadah haji ia mampir di
Baghdad untuk
mengambil kembali kalungnya. Sebagai ucapan terima kasih ia membawa hadiah
untuk penjual minyak wangi itu.
"Saya ingin mengambil kembali kalung
yang saya titipkan, dan ini sekedar hadiah buat Anda," katanya.
"Siapa kamu? Dan hadiah apa
ini?," tanya penjual minyak wangi.
"Aku pemilik kalung yang dititipkan
pada Anda," jawabnya mengingatkan.
Tanpa banyak bicara, penjual minyak wangi
menendangnya dengan kasar, sehingga ia hampir jatuh terjerembab dari teras
kios, seraya berkata, "Sembarangan saja kamu menuduhku seperti itu."
Tidak lama kemudian orang-orang berdatangan
mengerumuni pemuda yang malang
itu. Tanpa tahu persoalan yang sebenarnya, mereka ikut menyalahkannya dan
membela penjual minyak wangi. "Baru kali ada yang berani menuduh yang
bukan-bukan kepada orang sebaik dia," kata mereka.
Laki-laki itu bingung. Ia mencoba
memberikan penjelasan yang sebenarnya. Tetapi mereka tidak mau mendengar,
bahkan mereka mencaci maki dan memukulinya sampai babak belur dan jatuh
pingsan.
Begitu siuman, ia melihat seorang berada di
dekatnya. "Sebaiknya kamu temui saja Sultan Buwaihi yang adil; ceritakan
masalahmu apa adanya. Saya yakin ia akan menolongmu," kata orang yang baik
itu.
Dengan langkah tertatih-tatih pemuda malang ini menuju
kediaman Sultan Buwaihi. Ia ingin meminta keadilan. Ia menceritakan dengan
jujur semua yang telah terjadi.
"Baiklah, besok pagi-pagi sekali
pergilah kamu menemui penjual minyak wangi itu di tokonya. Ajak ia bicara
baik-baik. Jika ia tidak mau, duduk saja di depan tokonya sepanjang hari dan
jangan bicara apa-apa dengannya. Lakukan itu sampai tiga hari. Sesudah itu aku
akan menyusulmu. Sambut kedatanganku biasa-biasa saja. Kamu tidak perlu memberi
hormat padaku kecuali menjawab salam serta pertanyaan-pertanyaanku," kata
Sultan Buwaihi.
Pagi-pagi buta pemuda itu sudah tiba di
toko penjual minyak wangi. Ia minta izin ingin bicara, tetapi ditolak. Maka
seperti saran Sultan Buwaihi, ia lalu duduk di depan toko selama tiga hari, dan
tutup mulut.
Pada hari keempat, Sultan datang dengan
rombongan pasukan cukup besar. "Assalamu'alaikum," kata Sultan.
"Wa'alaikum salam," jawab pemuda
acuh tanpa gerak.
"Kawan, rupanya kamu sudah tiba di
Baghdad. Kenapa Anda tidak singgah di tempat kami? Kami pasti akan
memenuhi semua kebutuhan Anda," kata Sultan.
"Terima
kasih," jawab pemuda itu acuh, dan tetap tidak bergerak.
Saat Sultan terus
menanyai pemuda ini, rombongan pasukan yang berjumlah besar itu maju merangsak.
Karena takut dan gemetar melihatnya, si penjual minyak wangi jatuh pingsan.
Begitu siuman, keadaan di sekitarnya sudah lengang. Yang ada hanya sang pemuda,
yang masih tetap duduk tenang di depan toko. Penjual minyak wangi
menghampirinya dan berkata:
"Sialan! Kapan
kamu titipkan kalung itu kepadanya? Kamu bungkus dengan apa barang tersebut?
Tolong bantu aku mengingatnya."
Si Pemuda tetap diam
saja. Ia seolah tidak mendengar semuanya. Penjual minyak
wangi sibuk mondar-mandir kesana kemari mencarinya. Sewaktu ia mengangkat dan
dan membalikkan sebuah guci, tiba-tiba jatuh seuntai kalung.
"Ini
kalungnya. Aku benar-benar lupa. Untung kamu mengingatkan aku," katanya.
Sumber: Akhbar
Adzkiya, Ibn Al-Jauzi
Abdurrahman bin
Al-Hakam, Amir Andalusia, mengundang sejumlah ahli fiqih di kediamannya. Ia
sedang menghadapi masalah pelik. Pada siang hari bulan Ramadhan telah melakukan
hubungan seksual dengan budak perempuannya. Saat itu ia benar-benar tidak
sanggup menahan hasrat birahinya. Ia ingin bertanya kepada para ulama ahli
fiqih bagaimana cara bertaubat dan membayar kafarat.
"Selain
bertaubat kepada Allah dengan sungguh-sunguh, Engkau harus berpuasa dua bulan
berturut-turut," kata seorang ulama bernama Yahya bin Yahya Al-Laitsi.
Ulama-ulama yang
lain diam saja: tak seorang pun menyanggahnya, mendengar jawaban Yahya
tersebut. Tetapi, begitu keluar dari kediaman sang Amir, beberapa ulama
menghampiri Yahya dan bertanya, "Mengapa engkau tadi tidak memberikan
fatwa berdasarkan Imam Malik? Sehingga ia bisa memilih tiga saksi secara
berurutan: memerdekakan budak, atau memberikan makan sejumlah orang miskin,
baru berpuasa selama dua bulan berturut-turut."
"Kalau itu
yang aku sampaikan, keenakan dia, mungkin setiap hari akan mengulangi
perbuatannya itu karena baginya memerdekakan budak itu masalah yang ringan. Aku
sengaja pilihkan yang paling berat, supaya tidak mengulanginya lagi."
jawab Yahya.
Sumber: Wafyat Al-A'yan, Ibnu Khalkan
Halo Setiap Satu, nama saya wanita Jane alice dari Indonesia, dan saya bekerja dengan bersatu bangsa kompensasi, dan kami telah mendengar dan juga membuat pinjaman dari perusahaan pinjaman, saya cepat ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan seluruh Indonesia yang mencari pinjaman di internet sangat berhati-hati untuk tidak jatuh di tangan scammers dan fraudstars, ada banyak lender kredit palsu di sini di internet dan beberapa dari mereka adalah asli dan nyata, aku ingin meluncur kesaksian tentang bagaimana Tuhan menuntun saya untuk pemberi pinjaman dan Pinjaman nyata genue telah mengubah hidup saya dari rumput rahmat, setelah saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman kredit di sini di internt, saya kehilangan banyak uang untuk membayar biaya pendaftaran, isurance, pajak, dan setelah pembayaran saya masih tidak mendapatkan saya pinjaman. Setelah berbulan-bulan mencoba untuk mendapatkan pinjaman di internet dan jumlah scammed kali uang tanpa mendapatkan pinjaman dari perusahaan mereka sehingga saya menjadi begitu putus asa dalam mendapatkan pinjaman dari online genue kredit pemberi pinjaman yang tidak akan meningkatkan rasa sakit saya, jadi saya memutuskan untuk menghubungi seorang teman saya yang baru-baru mendapat pinjaman online, kita membahas kesimpulan kita tentang masalah dan dia bercerita tentang seorang wanita yang disebut Mr Dangote yang merupakan CEO dari Dangote Pinjaman Perusahaan. Jadi saya diterapkan untuk jumlah pinjaman (Rp400,000,000) dengan tingkat bunga rendah 1,5%, tidak merawat usia saya, karena saya mengatakan kepadanya apa yang saya ingin menggunakan uang itu untuk membangun bisnis dan pinjaman saya disetujui dengan mudah tanpa stres dan semua persiapan dilakukan pada transfer kredit dan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pendaftaran pinjaman, sudah disimpan ke bank dan mimpi saya datang melalui. Jadi saya ingin saran yang membutuhkan genue panggilan pinjaman cepat sekarang email di Dangotegrouploandepartment@gmail.com. dia tidak tahu bahwa aku melakukan ini. Saya berdoa agar Tuhan memberkati dia untuk hal-hal baik yang telah dilakukan dalam hidup saya. Anda juga dapat menghubungi saya di ladyjanealice@gmail.com hari yang indah lebih info..
BalasHapus