PERNIKAHAN ALA SITI NURBAYA
Meskipun dikenal istilah haqq al ijbaar atau hak paksa
seorang wali (Ayah atau Kakek) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa perlu izin
dari pihak anak, namun ditilik dari Hak asasi manusia, aturan ini praktis
bernuansa diskriminatif dan bertentangan dengan semangat kebebasan yang Islam
datang untuk menghapus segala bentuk penindasan dan tradisi-tradisi ala Siti
Nurbaya.
Memang ada Hadits yang memberikan legitimasi kepada
orang tua (wali) untuk menjodohkan putri gadisnya tanpa harus melalui
kesepakatannya terlebih dahulu, dalam sebuah Riwayat Rasulullah SAW bersabda :
“Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya sedangkan
anak gadis yang menikahkan adalah bapaknya"(HR. Ad-Daruquthny)
Redaksi hadits ini menegaskan bahwa hak nikah seorang
anak gadis berada ditangan ayahnya (wali mujbir) namun bisa terealisasinya
hadits ini dengan ketentuan syarat yang amat memberatkan pada pihak ayah,
diantaranya sebagai berikut :
1. Tidak ada kebencian nyata antara ayah dan anak
gadisnya
2. Tidak ada kebencian nyata antara calon suami dan
anak gadis
3. Menjodohkan dengan laki-laki yang selevel (kufu')
dengan anak gadis
4. Memilih calon suami yang sanggup memenuhi kewajiban
membayar mahar (mas kawin)
5. Menikahkan dengan mahar standar (mitsli)
6. Mahar harus dibayar kontan
Dari ketentuan-ketentuan syarat diatas untuk empat
syarat yang pertama apabila tidak dapat terpenuhi salah satunya maka prosesi
akad pernikahannya dianggap tidak sah kecuali sebelumnya ada kerelaan dan
perizinan oleh pihak gadis sedangkan dua syarat terakhir apabila tidak
terpenuhi tidak sampai mempengaruhi keabsahan pernikahan.
Imam al-Bukhari berkata: Mu’adz bin Fadhalah
memberitahu kami, ia berkata: Hisyam memberitahu kepada kami, dari Yahya dari
Abu Salamah bahwa Abu Hurairah ra pernah menyampaikan hadits kepada mereka
bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Tidaklah seorang janda dinikahkan sehingga
diminta pertimbangannya dan tidak pula seorang gadis dinikahkan sehingga
diminta izinnya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana
pengizinan seorang gadis itu?” Beliau menjawab, “Yaitu, dia diam.”
Dari ‘Aisyah ra, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada
Rasulullah saw mengenai seorang gadis yang akan dinikahkan oleh keluarganya,
apakah perlu dimintai pertimbangannya?” Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya,
“Ya, dimintai pertimbangannya.” Lalu ‘Aisyah berkata, maka aku katakan kepada
beliau, “Dia malu.” Rasulullah saw pun berkata, “Demikianlah pengizinannya,
jika ia diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi saw bersabda: “Seorang
janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya. Sedangkan seorang
gadis dimintai izin dan pengizinannya adalah sikap diamnya.” (HR. Muslim)
Dari ‘Aisyah raa dari Nabi Saw, beliau bersabda:
“Mintalah izin kepada wanita dalam pernikahannya.” Dikatakan kepada beliau,
“Sesungguhnya seorang gadis akan merasa malu dan diam.” Beliau bersabda, “Itulah
izinnya.” (HR. An-Nasa-i dengan sanad yang shahih)
Imam al-Bukhari rahimahullah telah membuat bab
tersendiri: “Bab Idzaa Zawwaja Ibnatahu wahiya Kaarihah fanikaahuhaa Marduudun
(Bab Jika Seorang Bapak Menikahkan Anaknya, Lalu Menolak, Maka Nikahnya Batal).”
Imam al-Bukhari berkata, Isma’il memberitahu kami, dia
berkata, Malik memberitahuku, dari ‘Abdurrahman bin al-Qasim dari ayahnya dari
‘Abdurrahman dan Mujammi’, dua putera Yazid bin Jariyah, dari Khansa’ bin
Khidam al-Anshariyah bahwa ayahnya pernah menikahkannya sementara dia adalah
seorang janda, lalu dia tidak menyukai hal itu, kemudian dia mendatangi
Rasulullah saw, maka beliau pun mmbatalkan nikahnya.
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, dia berkata, “Pernah
datang seorang remaja puteri kepada Nabi saw seraya berucap, “Sesungguhnya
ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk meninggikan derajatnya.”
Lebih lanjut, dia berkata, “Maka Nabi saw menyerahkan masalah tersebut kepada
wanita itu, maka wanita itu pun berkata, ‘Aku tidak keberatan atas tindakan
ayahku, tetapi aku ingin agar kaum wanita mengetahui bahwa para orang tua tidak
memiliki hak apa-apa dalam masalah ini.’”(HR Ibnu Majah dengan sanad yang
shahih)
Kesimpulan : Sesungguhnya pengertian wali mujbir dari
Hadits diatas bukan berarti dia berhak memaksa anak gadisnya untuk menikah
sesuai keinginan walinya, Musyawarah antara keduanya akan sangat dibutuhkan
ketimbang semuanya berlangsung dengan penyesalan, bagaimanapun pernikahan dalam
seumur hanya diinginkan sekali dan diharapkan semuanya menuju kearah rumah
tangga SAKINAH MAWADDAH wa RAHMAH. Wallaahu A'lam bi Asshowaab...
REFERENSI : Syarh Shohih Bukhori Vol 7 Hal 257, Fath
al-Bari Vol 1 Hal 230, Mughni al-Muhtaj Vol 4 hal 248, al-Madzaahib al-Arba'ah
Vol 4 Hal 35.
0 Komentar:
Posting Komentar